Ingatan demi ingatan tentang Louis telah menenggelamkan Amira ke dalam himpitan rasa rindu bergulung - gulung. Dan bersamaan dengan itu hembusan nafas lelah telah menjadi saksi bisu betapa Amira sangat merindukan lelaki tersebut.
Dengan segera diraihnya ponsel kesayangan, dan tujuan utamanya adalah ruang pesan, berharap ada pesan masuk dari Louis yang bisa mengobati kerinduannya. Sialnya, Amira harus berbesar hati membuang harapannya tersebut. Louis, sama sekali tidak berkirim pesan. Jangankan berkirim pesan, pesan yang Amira kirimkan tadi pagi pun belum dibaca.
Oh, sesibuk itukah kamu dengan kekasih mu, Louis? Dasar menyebalkan! Dia ini tidak tahu apa kalau saat ini aku sangat membutuhkannya. Dasar tidak peka! Seenaknya sendiri. Umpat Amira, dan tanpa sadar melempar bolpoint ke sembarang arah. Ya, inilah kebiasaan buruk seorang Amira Anindita Tanzel. Selalu saja melempar barang - barang kecil ketika sedang terhimpit ke dalam rasa sesak.
Kini, wajahnya mengeras berpadukan dengan bibir mengetat. "Baru kembali ke Negaranya aja udah sok sibuk. Mending kalau sibuk kerja. Nah, ini dia malah sibuk kencan. Kesal Amira.
Belum juga pulih dari himpitan rasa kesal, ponselnya kembali berdering. Dan tanpa melihat lebih dulu siapa si penelepon dia pun langsung mengangkat dengan suara meninggi hingga seseorang diseberang sana terpaksa menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak.
Satu hal yang Amira yakini bahwa si penelepon ini adalah Nail. Sialnya, anggapannya itu salah besar karena seseorang diseberang sana bukan Nail melainkan calon suami pura - puranya, Louis Leigh Osbert.
"Hai, Amira. Ini aku, Louis. Oh, sungguh aku tidak percaya bahwa kau bisa bicara seperti ini padaku. Dan beginikah caramu berbicara dengan calon Suami-mu, hum?"
Amira tersentak bahwa seseorang yang sedang berada diseberang sana adalah Louis. Tadinya dia pikir bahwa orang tersebut adalah Nail - tangan kanan Amira - yang baru saja membuatnya kesal. Seketika hatinya dirundung penyesalan mendalam karena sudah membentak lelaki yang sangat dirindukannya ini.
"Amira, kenapa diam, huh?" Tanyanya dengan suara lembut. Namun, Amira tidak menjawab. Louis pun menghembus nafas lelah. "Amira, apa kau sedang sibuk?"
Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga satu menit tak juga mendapati jawaban dari suara merdu yang selalu menyiksanya ke dalam kerinduan mendalam.
Suasana pun menjadi hening seketika. Ekor mata Louis melirik pada layar ponsel untuk memastikan bahwa panggilannya masih tersambung dengan wanita yang sangat dirindukannya ini. "Hallo, Amira." Namun, sekali lagi Amira masih saja bungkam dengan menutup rapat bibirnya.
"Baiklah, sepertinya kau memang sedang sibuk. Kalau gitu aku tutup telepo-"
"Jangan." Potong Amira cepat.
Dari seberang sana Louis tampak mengulas senyum bahagia. "Okay." Singkat padat jelas itulah satu kata yang meluncur dari bibir kokoh.
Okay ... hanya bilang okay. Dasar! Gumam Amira sembari mencibirkan bibirnya yang tipis merona.
"Ada apa?" Tanya Louis dengan gayanya yang cool.
"Hai, kau ini amnesia ya. Kan kamu yang telepon, bukan aku. Seharusnya pertanyaan itu untuk mu." Kesal Amira hingga tanpa sadar suaranya pun sedikit meninggi.
"Amira, jangan salah paham. Kan kamu yang tadi berkirim pesan supaya aku menelepon mu. Jadi, wajar kan kalau aku bertanya."
Oh My God, gimana bisa aku berkirim pesan seperti itu. Dasar bodoh, bodoh, bodoh! Maki Amira dalam hati.
"Kenapa diam, Amira? Aku tahu kamu pasti kangen kan dengerin suara calon Suami pura - pura mu ini."
"Ih, apaan sih. Jangan kepedean deh."
Louis terkekeh kecil. "Sudahlah, Amira. Hayo ngaku aja, kamu rindu kan." Karena aku juga sama, Amira. Aku juga sangat merindukan mu. Ingin rasanya aku memeluk mu, mencium mu dan ...
Dan entah sudah berapa lama larut ke dalam lamunan yang dipenuhi dengan bayang akan Amira, yang jelas suara dari seberang sana telah menyentak kesadarannya. "Em, i-ya Amira." Jawab Louis berpadukan dengan suara yang terdengar sedikit gelagapan.
"Dengar ya, Louis. Aku meminta mu untuk menghubungiku bukan tanpa alasan."
"Kalau gitu katakan!"
Amira tampak bingung pasalnya dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia meminta Louis untuk menghubunginya kan tanpa kesengajaan. Uh, kalau sudah seperti ini Amira harus bagaimana?
Tidak tahu apa yang harus dikatakan akhirnya Amira memilih beralaskan pada Tanzel. Dan hal itupun langsung membuat Louis sedikit panik. "Apa terjadi sesuatu dengan, Tuan Tanzel?"
"Tidak, Louis. Opa, baik - baik saja hanya saja-"
"Apa? Cepat katakan, Amira!" Potong Louis.
Amira tersenyum bercampur rasa geli akan perhatian yang Louis tunjukkan pada Opa nya. Jika terhadap Opa nya saja Louis sudah sangat perhatian seperti ini lalu, bagaimana jika dengan wanita yang sangat dia cinta?
Sayang sekali, Louis sudah memiliki kekasih. Seandainya saja Louis ini calon suami sesungguhnya. Uh, betapa bahagianya hati seorang Amira Anindita Tanzel.
"Amira, kenapa diam saja? Please, katakan sesuatu!"
Amira tersenyum miris. "Opa, baik - baik saja hanya saja rindu sama kamu."
"Really?" Tanya Louis tak percaya.
"Hhh mmm."
"Okay, kalau gitu biar nanti ku hubungi, Tuan Tanzel."
"Jangan!"
Louis mengernyit. "Kenapa?"
"Em, karena Opa sedang ada rekan bisnisnya. Sampai seminggu ke depan Opa sangat sibuk jadi, jangan kau hubungi dulu."
Louis tampak memutar bola matanya coba meresapi ucapan Amira yang terdengar tidak masuk akal tapi, dia mencoba untuk tetap percaya. Bagi Louis, bisa berkomunikasi seperti ini dengan Amira nya menjadikannya sangat bahagia dan dia tidak mau jika kebahagiaannya ini hancur dengan keegoisannya yang akan meruncing pada pertengkaran.
"Oh, iya Amira. Apa kamu sudah makan siang?"
"Sudah."
"Sudah sholat?"
"Sudah."
"Sudah ... "
"Sudah apalagi?"
"Sudah membayangkan ku belum?" Tanyanya sembari mengulum senyum geli hingga Amira pun dibuat sedikit kesal. Sialnya, dia tidak marah akan tetapi malah suka dengan pertanyaan yang terdengar sangat konyol ini.
"Gimana sudah belum?" Goda Louis lagi hingga pipi Amira pun merona karena malu.
"Amira, jawab dunk sayang."
"Ih, apaan sih ga jelas banget. Panggil sayang lagi." Bersamaan dengan itu langsung memutus sambungan telepon.
Tanpa dapat terelakkan kini, bibir kokoh terus saja menyungging senyum bahagia hingga sang ibu memergoki. Namun, Louis enggan menjelaskan, dia lebih memilih masuk ke dalam ruangan untuk melihat sang ayah tercinta. Sementara Amira tak henti - hentinya menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Meskipun dia sedang sendirian namun, rasa malu yang menyergapnya tak dapat tertepis begitu saja.
Uh, seperti inikah rasanya jatuh cinta? Hati terasa bernunga - bunga hingga kupu - kupu pun saling berterbangan meneriakkan nama Louis, Louis, Louis.
Eits, tapi kan Amira tidak sedang jatuh cinta. Amira tidak mau mengenal apa itu cinta. Amira tidak mau mempercayakan hatinya pada seseorang yang nantinya hanya akan meninggalkan luka dan air mata. Amira tidak siap untuk merasakan itu semua. Lalu, bagaimana dengan perasaan yang saat ini bersarang didalam hati mu, Amira? Tanya Dewi didalam hatinya.
Tidak ada perasaan apapun. Yang ku rasakan pada Louis hanyalah rasa rindu sebagai seorang teman. Ya, hanya sebatas itu. Ga lebih. Bantah Amira.
🍁🍁🍁
Next chapter ...
Hallo, kalian masih setia nunggu? Terima kasih ya! Selalu dukung aku dengan memberikan power stone dan saran supaya cerita ini lebih baik. Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!