Aku Kitara, seorang Istri sekaligus seorang Ibu yang paling bahagia seharusnya.
Angga, seorang suami yang tidak banyak bicara, namun selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku . Nyaris tak pernah menuntut apapun.
Tanisha, putri kecil kami. Pelengkap kebahagiaan Rumah Tangga yang tiada gantinya.
Lima tahun menjalani kehidupan pernikahan, membuat ku mulai merasakan bosan. Hidup sebagai Ibu Rumah Tangga, dengan gelar sarjana yang aku miliki, tiba-tiba saja, aku ingin bisa bekerja seperti kawan-kawan yang lain. Namun, aku tak mungkin mengutarakan keinginanku kepada Angga, karena hidup yang diberikan olehnya sudah sangat berkecukupan. Kebosanan itu pun semakin menyesakkan bagiku. Aku gagal memanfaatkan kecukupan dari Tuhan menjadi sebuah kebahagiaan.
Ya, memang aku gagal merasakan kebahagiaan yang seharusnya aku rasakan dari rasa bersyukur. Aku gagal mendefinisikan sebuah kebahagiaan di dalam hubungan rumah tangga. Dan aku malah mencoba menjerumuskan diriku.
13 Januari 2015, pukul 10.15 Wita, Angga Darmawan Aksara mengusapkan kedua belah tangannya ke wajah, sebagai tanda syukur bahwa dia telah selesai mengakadku. Seketika itu aku menjadi bagian dari dirinya dan Angga adalah bagian dari diriku. Kedua keluarga menitikkan air mata tanda kebahagiaan yang tak terkira, sekaligus tersiratkan harapan agar kedua mempelai dapat hidup bahagia selamanya hingga maut memisahkan.
17 November 2016, Tanisha Mulya Dewita, putri cantik kami terlahir menjadi pelengkap kebahagiaan yang nyaris sempurna. Dia menyempurnakan definisi kebahagiaan itu. Sebagai cucu pertama bagi kedua orang tuaku dan kedua orang tua Angga.
Angga Darmawan Aksara, seorang yang romantis. Dia tak pernah melewatkan hari ulang tahun ku tanpa sebuah kejutan. Kejutan yang terindah itu menjadi momen yang tak bisa aku lupakan, ketika Angga secara resmi melamarku untuk menjadi istrinya. Telat di bawah kembang api raksasa yang indah menyala di langit pada malam tahun baru 2015 di Kota kelahiranku di Samarinda.
"Aku akan menjadikanmu istri dan Ibu bagi anak-anakku, maukah kamu Dewi Kitara, menjadi istriku", Angga memohon dengan berlutut sambil menyematkan sebuah cincin emas di jari manisku.
Aku tidak menyangka akan dilamar oleh Angga dengan seromantis itu. Aku merasa begitu terharu dan mataku berkaca-kaca. Hanya saja, aku merasa sedikit tidak percaya, Angga akan serius melamar untuk menjadikan aku sebagai istrinya, karena aku hanya berasal dari keluarga yang sederhana. Sedangkan Angga tampak seperti tidak pernah kekurangan sesuatu apa pun bagiku.
"Kesederhanaanmu Kitara, aku suka caramu bicara, gayamu berpakaian, bulu matamu yang panjang, dan badanmu yang mungil" begitulah kata-kata manis Angga menyampaikan rasa sukanya padaku dulu di Perpustakaan.
Kami saling kenal dari seorang teman. Kebetulan kami satu kampus di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tetapi berbeda jurusan. Aku dan sahabatku Wina jurusan Administrasi sedangkan Angga di jurusan Hubungan Internasional.
Saat itu, aku dan Wina sedang makan siang di kantin kampus tempat kami memperoleh gelar Sarjana, tiba-tiba Wina memanggil Angga dan temannya yang sedang sibuk mencari meja kosong untuk mengisi perut mereka yang mulai keroncongan. Melihat dua orang laki-laki mendekat ke arah meja kami, aku pun memperbaiki gaya duduk dan poniku.
"Kenalin nih temen satu kelasku, namanya Kitara" Wina sambil meraih tanganku untuk bersalaman dengan Angga yang tampak agak sedikit malu. Aku pun menyalami Angga dan teman yang ada di sampingnya, Febrian.
"Kitara" kataku sambil memberikan senyum termanis.
Ternyata Wina dan Angga sudah berteman semenjak SMA sewaktu di Semarang. Alumni mereka juga sering mengadakan reuni agar tidak saling melupakan kawan sejawat satu sama lain. Begitu sekilas Wina bercerita padaku.
Sambil menunggu pesanan masing-masing datang, Febrianlah satu-satunya orang di meja kami yang paling banyak bicara, sesuai dengan jurusannya Hubungan Internasional, mungkin baginya menjaga hubungan di meja makan sama pentingnya seperti menjaga hubungan antar negara, Dia terus mengoceh soal Raditya Dika sambil sedikit menirukan gaya komika terkenal itu. Berbeda dengan Angga yang sedari tadi hanya diam dan seperti sedang tidak nyaman karena menahan sesuatu.
Selain romantis, Angga suami yang sangat pengertian. Sejak awal menikah dengannya, semua kebutuhanku terpenuhi. Mulai dari tempat tinggal, kami tidak perlu menyewa seperti kebanyakan pasangan yang baru menikah. Orang Tua Angga membelikan kami rumah tipe 58 sebagai hadiah pernikahan. Angga juga tidak pernah menuntutku menjadi seorang istri yang jago masak dan sebagainya. Dia malah membayar seorang asisten Rumah Tangga untuk bekerja di rumah sekaligus menemaniku ketika Dia harus ke luar kota untuk bekerja. Bahkan sampai Tanisha berumur 3 tahun Angga masih memperkerjakan seorang pengasuh, padahal aku bisa saja mengasuh Tanisha.
20 Mei 2020...
"Selamat pagi sayang", suara lembut Angga membangunkanku yang masih tertidur pulas. Aku pun terbangun dan terkejut dengan tingkah Angga yang memelukku.
Sambil memeluk, Angga mengatakan sesuatu "Hari ini, ulang tahun pernikahan kita, gimana kalo kita ajak Tanisha ke Semarang".
Aku yang masih setengah sadar pun agak terkejut, karena selama ini hanya orang tua Anggalah yang sering mengunjungi kami di Samarinda. Pernah suatu hari, aku mengajak Angga untuk mengunjungi orang tuanya di Semarang, namun Angga menolak dan terlihat agak kesal, dia beralasan bahwa pekerjaannya di Samarinda tidak dapat ditinggalkan. Semenjak itu, aku tidak pernah lagi membahas soal itu.
"Kamu yakin," balasku padanya meyakinkan.
"Iya dong sayang, ya udah, kamu sekarang siap-siap, aku ke kantor dulu, besok kita berangkat".
Aku pun tidak mau ambil pusing dengan masalah sepele seperti itu. Aku merasa senang karena akhirnya, untuk pertama kali aku dan Tanisha bisa jalan-jalan keluar kota, walau hanya mengunjungi mertua. Aku segera bergegas menyiapkan segala keperluan untuk ke Semarang. Aku tidak ingin Angga tiba-tiba berubah pikiran hanya karena aku belum bersiap-siap.
Aku pun langsung menghubungi Wina untuk bertemu dengannya kalau aku sudah berada di Semarang.
"Halo Ra..." terdengar suara Wina dari ujung telepon menjawab.
"Win, aku berangkat ke Semarang besok ma Angga, ama Tanisha juga, kita ketemuan yuk pas disana".
"Iya, kamu tenang aja, aku udah siapin tempat kok".
"Hah, kamu udah siapin tempat", tanyaku bingung, karena Wina seperti sudah mengetahui bahwa aku akan ke semarang.
"Hehe, iya dong, kan kamu sahabatku, ada kontak batin beb", jawab Wina sambil terkekeh.
Aku pun menutup telepon sambil mengatakan "sampai ketemu disana ya".
tiba-tiba saja Tanisha kecil memanggilku, "Bun...da",
"Hei, anak bunda yang cantik, besok kita mau ke tempat nenek di Semarang, Tanisha seneng nggak",
"Yeee".
"Tapi, Tanisha berani nggak naik pesawat".
"Belani dong, nanti Tanisha, peluk ayah sama bunda, Tanisha melem", jawab Tanisha sambil memperagakan bahwa dia sedang ketakutan dan memejamkan matanya.
Aku pun tertawa mendengar perkataan dan melihat tingkah Tanisha, sambil mencium pipinya.