Enam tahun yang lalu, di kediaman keluarga He yang dingin dan sunyi, tidak ada tawa maupun kebersamaan.
Meskipun para pelayan telah menyiapkan kue atas perintah He Jiwei dan Lü Zhishu, He Yu tidak memakannya. Itu adalah hari ulang tahunnya, tetapi orang tuanya tidak ada di sana—mereka berada di Yanzhou bersama adiknya. Mereka mengatakan harus bertemu klien penting hari itu dan hanya bisa pulang jika pertemuan selesai tepat waktu. He Yu juga tidak memiliki banyak teman, karena ia selalu bersikap ramah tetapi menjaga jarak dengan teman sekelasnya. Akan terasa canggung jika ia mengundang mereka ke pesta ulang tahunnya.
Hari itu, Xie Qingcheng juga tidak berada di Huzhou; ia sedang dalam perjalanan dinas seperti yang disebutkan dalam pesan Xie Xue, menghadiri sebuah konferensi.
Bahkan langit pun tidak bersahabat hari itu; hujan turun dengan deras disertai angin kencang. He Yu berdiri di ruang tamu, menatap jendela besar bergaya Eropa yang tampak seperti lukisan tinta yang beriak, membingkai derasnya hujan di luar.
Lonceng berdentang satu kali—dua kali—tiga kali—
Jam besar di kediaman itu berbunyi setiap jam, dengan tepat mengumumkan waktu yang tertera di permukaannya.
Dari siang, ke sore, hingga malam.
"Tuan Muda… jangan menunggu lagi. Tuan Eksekutif He dan Nyonya Eksekutif Lü mengatakan mereka tidak bisa pulang hari ini…" Tak tahan lagi, kepala pelayan itu melangkah maju dengan hati-hati dan menyampirkan jaket ke bahu He Yu. "Sebaiknya Anda beristirahat."
"Tidak apa-apa. Ini bukan hari libur resmi atau semacamnya." Saat He Yu menoleh, ia masih tersenyum tak terduga. "Lakukan saja pekerjaanmu. Aku akan menonton hujan sebentar lagi, lalu segera beristirahat."
Kepala pelayan itu menghela napas pelan dan pergi.
Benarkah tidak apa-apa? Benarkah itu tidak masalah?
Tentu saja tidak. Ia hanya sedang menunggu.
Ia berpikir bahwa pasti ada seseorang di dunia ini yang akan mengingatnya, yang akan merindukannya, yang akan menerjang angin dan hujan demi menemaninya dalam kegelapan. Ia bukan orang seburuk itu hingga pantas dihukum dengan kesepian seperti ini, bukan?
Ia menunggu.
Dan terus menunggu…
"He Yu! He Yu!"
Setelah entah berapa lama—tampaknya tepat sebelum lonceng jam berdentang tengah malam—ia mendengar seseorang mengetuk pintu, diiringi suara perempuan yang terdengar begitu samar di antara hujan dan angin, seakan hanya ilusi.
Mata He Yu sedikit membesar, dan ia buru-buru berlari membuka pintu.
Di luar, berdiri dengan napas tersengal, adalah Xie Xue—satu-satunya gadis yang dekat dengannya. Satu-satunya teman yang tetap bersamanya selama bertahun-tahun. Ia mengenakan jas hujan, dan wajahnya yang basah kuyup tampak sedingin es. Namun ketika menatap He Yu, sorot matanya terasa hangat.
Dengan isakan kecil, Xie Xue melepas jas hujannya sambil tersenyum, memperlihatkan kue ulang tahun yang telah ia sembunyikan dengan hati-hati di bawahnya.
"Aku datang tepat waktu, bukan?"
"Kenapa kau kemari…"
"Aku tidak ingin kau merayakan ulang tahun sendirian. Betapa menyedihkannya itu?" Xie Xue mengusap air yang menetes dari rambutnya dan berkata, "Aku membuatkan kue cokelat favoritmu. Astaga, aku hampir hanyut di luar sana. Hujannya deras sekali, sungguh…"
Saat itu, kebencian dalam hati He Yu seolah sirna, dan kekosongan yang ia rasakan perlahan terisi. Ia menggenggam tangan Xie Xue yang sedingin es dan menariknya masuk. Suaranya terdengar serak saat berkata, "Aku juga tidak ingin sendirian…"
"Bagaimana mungkin? Mana mungkin kau sendirian? Kau masih punya aku. Aku akan selalu bersamamu."
He Yu tidak mengatakan apa pun.
"Selamat ulang tahun yang ketiga belas, He Yu." Gadis itu tersenyum cerah, menjadi sinar mentari paling terang di rumah yang kelam.
Itu terjadi begitu lama hingga He Yu nyaris tidak mengingat apa yang terjadi setelahnya. Yang ia ingat hanyalah, saat ia membuka lemari es untuk mencari sepotong kue cokelat yang belum habis, kue itu sudah tidak ada.
Tentu saja, kue-kue lain yang dibuat pengasuh untuknya—yang tak pernah ia sentuh—juga sudah lenyap bersama kue itu.
Melihat ekspresi kecewanya, sang pengasuh buru-buru menjelaskan sebelum He Yu sempat marah, "Makanan itu sudah tidak segar lagi—tidak baik untukmu, jadi kami membuangnya… Jika kau mau, kami bisa membuatnya lagi malam ini."
Namun, meskipun mereka membuatnya kembali, itu tetap bukan kue yang dibawa Xie Xue pada malam hujan itu.
He Yu hanya berkata, "Tidak perlu, lupakan saja."
Kini, He Yu menatap proyeksi di hadapannya, perasaannya jatuh ke dalam jurang kedinginan. Ia ingat dengan jelas bahwa Xie Xue datang ke rumahnya hari itu.
Hari itu… ia tidak sendiri. Seseorang telah mengingatnya…
Namun, isi rekaman di hadapannya tidak mungkin palsu. Ia sendiri yang mengumpulkan informasi itu dari cadangan penyimpanan awan.
Xie Xue: Gege, Bibi Li sakit. Aku pergi bersamanya untuk mengambil infus. Kapan kau akan kembali dari perjalanan kerja? Prosedur rumah sakit ini sangat membingungkan, kepalaku sakit, aku berharap kau ada di sini ...
Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin?!
He Yu menarik laptopnya, jari-jarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa. Ekspresinya terpelintir, matanya hampir gila—seolah-olah ia hendak menggali kuburan informasi, membuka peti mati, dan mengungkap mayat yang telah terkubur sekian lama demi mencari kebenaran yang telah lama terpendam.
Dengan cepat, ia menelusuri kembali pesan-pesan dari tanggal tersebut.
Xie Xue, Xie Qingcheng, He Jiwei, Lü Zhishu.
Kebenaran itu seperti mayat yang tak membusuk, dan dari dalam basis data penyimpanan awan, ia menyeringai dingin dengan aura yang menyeramkan.
Kebohongan…
Kebohongan…
Kebohongan!
Karena waktu yang telah berlalu begitu lama, sebagian besar riwayat percakapan tidak lagi dapat dipulihkan. Namun, pesan-pesan yang berhasil ia temukan sudah cukup untuk membuktikan bahwa, pada malam itu—malam ketika ia paling membutuhkan Xie Xue—dia… sama sekali tidak datang.
He Yu bahkan melihat pesan yang Xie Xue kirimkan kepada Xie Qingcheng keesokan harinya.
Xie Xue: Ge, He Yu bertanya kepadaku apakah aku bisa pergi ke rumahnya untuk bermain dan menghabiskan hari ulang tahunnya bersamanya, tetapi Bibi Li sangat sakit kemarin dan aku sangat sibuk sehingga aku lupa menanggapinya. Aku merasa sangat malu. Bisakah kau meminta maaf kepadanya untukku? Aku tidak punya keberanian untuk menjelaskan kepadanya ...
Xie Qingcheng: Tidak perlu bagimu untuk begitu dekat dengannya.
He Yu terus mencari.
Garis waktu bergerak maju…
Dan semakin mengejutkan.
Ia menemukan sebuah riwayat percakapan.
Itu adalah percakapan antara Xie Qingcheng dan He Jiwei.
He Jiwei: He Yu tampaknya menciptakan semacam delusi ketika dia berada dalam keadaan paling tak berdaya, dan objek delusinya adalah adik perempuan Anda. Baru-baru ini, saya secara tidak sengaja menemukan bahwa beberapa hal yang dia ceritakan kepada saya sebenarnya tidak pernah terjadi. Dokter Xie, situasi seperti ini…
Xie Qingcheng: Itu sangat normal baginya. Saya sudah mengetahui perilaku ini sejak awal.
He Jiwei: Bagaimana mungkin…
Xie Qingcheng: He Yu membutuhkan seorang teman sebaya, tetapi dia tidak mau membuka hatinya kepada siapa pun di lingkungannya. Pola pikirnya unik dan terlalu dewasa untuk usianya, sehingga sebagian besar anak seusianya tidak benar-benar memahami dia. Karena isolasi jangka panjang yang dialaminya, dia memerlukan sarana untuk melampiaskan emosinya. Dalam kondisi seperti ini, teman sebaya terdekatnya dapat dengan mudah menjadi bayangan dirinya sendiri.
He Jiwei: Bayangan dirinya sendiri?
Xie Qingcheng: Ya. Beberapa anak dengan autisme atau kondisi psikologis lainnya akan menciptakan teman khayalan saat mereka tumbuh dewasa. Dengan teman itu, mereka bisa berbagi perasaan tanpa keraguan. Teman tersebut mungkin tidak pernah ada sama sekali, atau mungkin hanya ada sebagian. Para pasien menciptakannya untuk memenuhi kerinduan mendalam di hati mereka.
Xie Qingcheng mengirim pesan penjelasan lain kepada He Jiwei.
Xie Qingcheng: Sebenarnya, bukan hanya anak-anak dengan gangguan mental. Anak-anak normal juga bisa mengembangkan delusi ketika mereka merasa kesepian. Misalnya, jika mereka dikucilkan di kelas dan tidak memiliki teman, mereka mungkin menciptakan seorang teman khayalan dan percaya bahwa hanya mereka yang bisa melihat serta berkomunikasi dengannya. Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis alami pada anak-anak.
Xie Qingcheng: Namun, orang yang tidak mengalami gangguan mental mampu membedakan imajinasi dari kenyataan dan menyadari bahwa itu hanyalah ilusi. Mereka tahu bahwa teman khayalan itu lahir dari kebutuhan mereka akan kenyamanan. Tetapi bagi anak seperti He Yu, sulit baginya untuk mengenali batas antara realitas dan delusi—terutama karena delusinya hanya sebagian bersifat imajiner.
He Jiwei: Maksud Anda dengan "hanya sebagian imajiner"…?
Xie Qingcheng: Xie Xue memang ada—dia adalah adik saya, dan dia memang teman terdekat He Yu yang sangat baik padanya. Namun, saya sangat mengenal adik saya. Dia selalu bersikap hangat kepada semua orang, dan meskipun He Yu adalah teman baiknya, mereka sebenarnya belum mencapai tingkat kedekatan yang luar biasa. Ada beberapa hal yang tidak akan dia lakukan untuk He Yu.
Xie Qingcheng: Namun, bagi He Yu, pikirannya membutuhkan sandaran. Hal-hal yang ia harapkan dilakukan oleh Xie Xue tetapi tidak terjadi di dunia nyata, akhirnya diisi oleh imajinasinya sendiri. Dia hanya memiliki satu teman, dan dia tidak ingin kecewa pada satu-satunya orang yang dia anggap dekat. Karena itu, alam bawah sadarnya terus meyakinkannya bahwa kejadian-kejadian itu benar-benar terjadi di masa lalu—bahwa Xie Xue benar-benar melakukan semua hal itu untuknya.
He Jiwei: Tapi ini begitu membingungkan, sulit bagi saya untuk mempercayainya.
Xie Qingcheng: Ini sama sekali tidak membingungkan. Otak manusia adalah instrumen yang sangat kompleks dan presisi; fenomena seperti ini bisa terjadi jika ada kesalahan dalam ingatan seseorang dan kesalahan itu terus-menerus diperkuat.
Xie Qingcheng: Ini mirip dengan bagaimana beberapa orang sulit membedakan mimpi dari kenyataan, atau fenomena yang disebut sebagai efek Mandela.
He Jiwei: Efek Mandela?
Xie Qingcheng: Ini bukan konsep akademis yang ketat, tetapi cukup berguna sebagai penjelasan. Tuan He, Anda bisa memahami ini sebagai fenomena di mana sekelompok orang berbagi kesalahan dalam ingatan mereka. Jika Anda mencarinya di internet, Anda akan menemukan banyak contohnya. Misalnya, apakah Mickey Mouse mengenakan overall?
Kali ini, He Jiwei butuh beberapa saat untuk merespons, seolah-olah ia terkejut hingga kehilangan akal ketika Xie Qingcheng mengajukan pertanyaan sekonyol itu di tengah percakapan yang begitu serius.
He Jiwei: Saya rasa begitu.
Xie Qingcheng: Sebenarnya tidak. Tapi banyak orang percaya bahwa dia selalu memakai overall—itulah yang disebut efek Mandela. Ini adalah kesalahan ingatan yang terus-menerus ditegaskan oleh otak manusia, hingga akhirnya membentuk kesan yang keliru.
Xie Qingcheng: Tuan He, Anda bisa mengibaratkan Mickey Mouse sebagai adik saya—dia memang ada, tetapi sebenarnya dia tidak pernah mengenakan overall. Namun, He Yu menggunakan imajinasinya sendiri untuk menambahkan dua tali overall yang tidak pernah ada, lalu dengan yakin mempercayai bahwa itulah kenyataan yang sesungguhnya.
He Jiwei: Kalau begitu, apakah ini bisa dianggap sebagai gangguan delusi?
Xie Qingcheng: Tidak bisa disebut seperti itu. Bagi He Yu, ini adalah caranya untuk melindungi, menghibur, dan menyelamatkan dirinya sendiri.
Waktu yang lama berlalu antara pesan ini dan pesan berikutnya.
Xie Qingcheng: Tuan He, dengan segala hormat, Anda dan Nyonya Lü tidak cukup meluangkan waktu untuknya. Bahkan anak-anak dengan kondisi mental yang sehat pun sulit bertahan dalam pengabaian seperti ini, apalagi dia yang memiliki gangguan mental.
Xie Qingcheng: Dia tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian, tetapi dia juga keras kepala dalam menolak menunjukkan kelemahannya. Mungkin "keras kepala" bukan kata yang tepat, tetapi dia tahu bahwa menangis atau memohon tidak akan menghasilkan apa pun, karena tidak ada yang akan memberinya respons yang dia harapkan. Karena itu, dia sudah terbiasa menginternalisasi segalanya dan melindungi dirinya sendiri. Xie Xue yang dia bayangkan sebenarnya adalah bayangan dirinya sendiri selama ini; hatinya sendirilah yang menghiburnya, menggunakan sosok Xie Xue untuk mengatakan hal-hal yang ingin dia dengar.
Membaca pesan-pesan lama itu, He Yu memikirkan harapan-harapan yang telah lama terkubur di dalam hatinya…
Misalnya, Aku akan selalu bersamamu.
Misalnya, kata-kata yang tak pernah ia dengar secara langsung: Selamat Ulang Tahun.
Bukankah selama ini ia sangat menginginkan seseorang memberikannya kata-kata itu?
Tapi ia tak pernah benar-benar mendengarnya…
Xie Qingcheng: Karena tidak ada yang mengatakannya kepadanya, dan karena dia adalah seseorang dengan harga diri yang kuat, dia tidak akan pernah mengucapkan kata-kata itu kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, otaknya secara tidak sadar mengandalkan sebagian imajinasi untuk memenuhi keinginannya, sekaligus mempertahankan martabatnya. Ini adalah salah satu mekanisme pertahanan psikologis yang dimiliki manusia, jadi Anda tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya.
He Jiwei: Anda sudah mengetahui ini sejak lama?
Xie Qingcheng: Saya sudah mengamatinya sejak beberapa waktu lalu. Saya tidak bisa memberitahunya secara langsung, karena dampaknya akan terlalu besar baginya. Namun, saya selalu meminta Xie Xue untuk menjaga jarak darinya. Xie Xue tidak seharusnya menjadi orang yang dia jadikan sandaran emosional. Kita berdua juga tidak seharusnya, Tuan He. Cepat atau lambat, kita akan pergi.
Xie Qingcheng: Saya adalah seorang dokter, bukan keluarga He Yu. Saya tidak bisa menghabiskan seluruh hidup saya hanya untuk satu kasus medis, dan Xie Xue bahkan lebih tidak mungkin melakukannya. Saya hanya bisa memberinya bimbingan, bukan cinta yang tidak pernah ia dapatkan dan sangat ia rindukan. Hal yang sama berlaku untuk adik saya.
He Yu tidak melanjutkan membaca pesan-pesan berikutnya; semuanya sudah tidak lagi penting.
Mengetahui hal ini saja sudah cukup.
Lebih dari cukup.
Xie Qingcheng telah menipunya selama ini, dan Xie Xue pun ternyata tidak nyata. Dari keduanya, yang satu adalah orang yang pernah memberinya dorongan terbesar melalui keyakinannya, membuatnya percaya bahwa suatu hari nanti ia bisa kembali ke masyarakat seperti orang biasa, sementara yang lain adalah sosok yang memberinya kehangatan paling tulus—seseorang yang selalu datang tepat waktu di saat ia berada dalam keputusasaan terdalam.
Sama seperti pada malam hujan badai itu, ketika dia mengetuk pintunya sambil memanggil namanya, melepaskan jas hujannya, dan menyodorkan kue cokelat yang selama ini ia inginkan.
Dia tidak pernah membayangkan bahwa mungkin saja kue itu, dan Xie Xue… tidak pernah ada sama sekali.
Sementara itu, Xie Qingcheng telah menyaksikan betapa menyedihkan dan hinanya cara ia menghibur dirinya sendiri; pria itu telah melihat semuanya dan mengetahuinya dengan sangat baik.
Tidak pernah ada seorang pun yang benar-benar mencintainya.
Semua ini adalah kebodohannya sendiri! Dia terlalu dungu, terlalu tolol, terlalu putus asa dalam kerinduannya untuk berjalan di antara kehangatan orang banyak. Demi menjadi seseorang yang normal, demi menyembunyikan wajahnya yang menyeramkan dan buruk rupa, ia menempa secercah cahaya dari tengkoraknya yang berlumuran darah.
Xie Qingcheng telah melihatnya, tetapi dia berkata, "Saya tidak bisa menghabiskan seluruh hidup saya hanya untuk satu kasus medis, dan Xie Xue bahkan lebih tidak mungkin melakukannya. Saya hanya bisa memberinya bimbingan, bukan cinta yang tidak pernah ia dapatkan dan sangat ia rindukan. Hal yang sama berlaku untuk adik saya."
Tetapi jika seseorang memang memiliki cinta sejak awal, mengapa ia harus berbohong bahkan kepada dirinya sendiri? Jenis pembohong seperti apa yang menipu seluruh dunia, namun pada akhirnya justru paling menipu dirinya sendiri? Hanya pembohong yang paling miskin dan paling sengsara.
Apa yang ia miliki terlalu sedikit, tetapi air mata yang ia tumpahkan terlalu banyak. Bahkan sekadar ucapan "Selamat Ulang Tahun" hanya bisa ia dapatkan melalui imajinasinya sendiri. Jika ia tidak berbohong kepada dirinya sendiri, lalu apa lagi yang bisa ia andalkan untuk tetap hidup dengan senyuman?
Maka, bahkan di hadapan dirinya sendiri, ia tetap mengenakan topeng senyuman yang terpasang erat di wajahnya—topeng yang enggan ia lepaskan. Ia akan berbohong, bahkan kepada dirinya sendiri.
Xie Qingcheng benar. Dia memang memiliki harga diri. Dia tidak ingin dipandang sebagai seorang pasien, sebagai orang gila. Dia tahu bahwa dengan status keluarga He, banyak orang yang menunggu saat kejatuhannya, ingin melihatnya dipermalukan, ingin menyaksikan jasadnya tergeletak dan bersorak atas darahnya. Karena itu, ia semakin berusaha keras membuktikan dirinya; ia tidak ingin menerima belas kasihan siapa pun dengan menunjukkan luka-lukanya.
He Yu berdiri di ruang tamu yang kosong untuk waktu yang sangat lama.
Ia berdiri begitu lama hingga waktu terasa samar. Tatapannya yang tajam terus menyapu gelombang pesan-pesan dingin di hadapannya, berulang kali, hingga akhirnya ketajaman itu seolah terkikis oleh arus waktu, menjadi buyar dan kehilangan fokus.
Perlahan, ia menutup matanya.
Topeng itu telah menyatu dengan kulitnya, tetapi Xie Qingcheng dengan kejam telah merobeknya. Ia mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya sendiri dalam diam.
Sakit.
Sakit sekali…
Sakitnya begitu dalam hingga membuat jantung dan seluruh tubuhnya gemetar.
Rasanya seolah ia telah kehilangan segalanya dalam semalam.
Keyakinan yang dulu diberikan Xie Qingcheng adalah kebohongan, kehangatan yang diberikan Xie Xue juga kebohongan; penghiburan yang ia berikan kepada dirinya sendiri hanyalah ilusi, dan pada akhirnya, bahkan harga dirinya, bahkan cangkang keras yang selama ini ia gunakan untuk melindungi dirinya sendiri—topeng itu—telah dihancurkan hingga berkeping-keping.
Baru sekarang ia menyadari bahwa wajahnya yang konyol, penuh kebodohan seperti badut, ternyata telah lama terlihat jelas di mata Xie Qingcheng.
Jadi, untuk apa sebenarnya ia bertahan selama ini? Dan mengapa ia harus sebodoh ini?!
Mempertaruhkan nyawanya demi menemani orang itu, hanya untuk mendapatkan satu kata pengakuan sebagai balasan, atau untuk membalas secercah harapan yang pernah diberikan Xie Qingcheng kepadanya…
Dia telah mengabaikan nyawanya sendiri demi mencari pengakuan dari seorang pembohong, demi sebuah kebohongan yang menyelubungi segalanya!
He Yu mulai tertawa pelan. Ia membungkuk, bersandar pada dinding, sementara tawanya semakin keras, semakin gila—seperti arwah pendendam yang bergemuruh di dalam kuburnya. Bayangan kelam dalam hatinya melayang keluar dengan jubah mereka yang berkibar; ia menekan dahinya dengan satu tangan, tawanya berubah menjadi histeris—terdengar penuh amarah dan kebencian, begitu menyedihkan namun gila, sementara air matanya mengalir tanpa henti…
Sakitnya benar-benar tak tertahankan.
Ia melihat Xie Qingcheng mengulurkan tangan kepadanya, tetapi yang tergeletak di telapak tangan pria itu hanyalah sebilah pisau bedah yang dingin. Itulah kenyataan yang sebenarnya.
Ia melihat Xie Xue menyodorkan sepotong cokelat dengan senyum hangat, tetapi ketika ia berkedip, gadis itu hanya menatapnya dari kejauhan.
Itulah kenyataan yang sebenarnya…
Dan kemudian ia melihat… Ia melihat dirinya berdiri di depan jendela besar yang menjulang dari lantai hingga langit-langit. Badai mengamuk di luar. Jam antik di kediaman lamanya berdentang dua belas kali—tengah malam, dan ia dikelilingi oleh kegelapan yang tiada akhir.
Namun tidak ada yang mengetuk pintu.
Tidak pernah ada seorang pun yang mengetuk pintu.
Ia menunggu dalam gelap hingga fajar tiba. Badai telah reda, malam yang panjang telah berakhir, tetapi ia tetap tidak mendapatkan satu pun ucapan "Selamat Ulang Tahun" yang tulus.
Itulah kenyataan yang sebenarnya.
Lalu, ia melihat dirinya sendiri terikat di tempat tidur, mulutnya disumpal, sementara jarum-jarum suntik menusuk kulitnya. Ia meronta dan meraung seperti binatang yang sekarat, tetapi ia tidak bisa memanggil siapa pun.
Ia adalah sebuah pulau yang terasing.
Tidak ada jembatan.
Itulah kenyataan yang sebenarnya! Itulah kebenaran!
Seorang anak yang ditolak kasih sayang. Demi melawan iblis di dalam benaknya, demi terus bertahan hidup, ia telah berbohong kepada semua orang—bahkan kepada dirinya sendiri—selama bertahun-tahun…
He Yu bersandar pada dinding. Dengan penuh amarah, ia telah merobek perbannya, membiarkan lukanya menganga kembali. Darahnya mengalir ke mana-mana. Hanya bau anyirnya yang bisa menenangkannya, membawanya kembali ke realitas, membuatnya merasa bahwa ia masih hidup! Bahwa ia memiliki tubuh. Bahwa darah yang ia tumpahkan masih hangat. Bahwa ia adalah manusia. Bahwa ia masih hidup… Ia masih hidup…
Ia meremas rambutnya, buku-buku jarinya memutih, urat-urat di tangannya mencuat. Ia seperti seekor naga buta yang cakarnya telah dicabut. Setelah kehilangan semua harta yang ia sayangi, setelah terusir dari tempat perlindungannya, ia kini dipaksa berdiri di bawah sinar matahari, di langit terbuka, dengan setiap luka dan boroknya terbuka untuk ditertawakan oleh siapa saja yang melihat.
Akhirnya, ia telah terbangun dari mimpinya.
Ia telah berjuang selama hampir dua puluh tahun, tetapi pada akhirnya, ia tetaplah seorang yang gila.
Tak seorang pun pernah mencintainya, tak seorang pun pernah peduli padanya.
Ia tidak memiliki apa-apa selain kebohongan yang kikuk.
Ia tak pernah benar-benar berhasil mendapatkan apa pun.