Baixar aplicativo
20% Domestic Girl: Antibody of The End World / Chapter 3: Chapter 3: Mengingat dan Mengenang

Capítulo 3: Chapter 3: Mengingat dan Mengenang

"Yeah, jadi, ngomong ngomong, Ayah tak perlu khawatir bukan, jika Ayah ingin sangat pergi ke militer lagi, ini baik baik saja" Kata ku, seketika menghentikan kunyahan nya yang terdiam menatap. "Apa, maksud mu?"

"Maksudku, aku tahu Ayah ingin kembali ke militer, tapi tidak bisa karena harus menjagaku, aku sudah bisa mandiri sendiri, aku baik baik saja, tak apa jika Ayah harus pergi, aku tahu Ayah sangat ingin kembali menjadi militer, apalagi mengingat pangkat mu..." Yeah, Ayahku dulu berpangkat jendral bintang 2 dan itu pekerjaan yang sangat penting, tapi dia sekarang malah menjadi pekerja kantoran biasa yang gajinya bahkan pas pasan.

Tapi Ayah menjawab. "Aku tak butuh itu"

Hal itu membuatku langsung menatapnya. Bukankah kau sangat ingin kembali ke militer, aku berpikir seperti itu hingga sampai dia menambah perkataan nya. "Jika di pikir pikir lagi, sekarang di kemiliteran hanyalah akan menjadi sebuah robot yang harus patuh pada perintah atasan, mereka akan melakukan semuanya dengan perintah atasan, termasuk membunuh orang tak bersalah sekalipun, mereka sangat berbahaya dan tidak akan mudah di percaya"

"Apa...?! Aku tidak pernah tahu akan hal itu" Ternyata militer punya sisi yang sangat buruknya juga.

"Tapi jangan khawatir, selama mereka mengenalimu bahwa kau adalah putriku, mereka tak akan berani membunuh mu" Tambahnya.

Tapi aku melirik tak percaya. "He... Memang nya kenapa jika aku putri Ayah, apakah itu sebuah masalah, mereka pasti juga tidak akan tahu Ayah yang sekarang" Aku menatap meremehkan membuat Ayah tertawa kecil. "Haha... Kau benar benar harus mencobanya kalau begitu... Lagipula sudah banyak dari bawahan Ayah di militer mengetahui mu, mereka sangat senang jika mendengar ceritaku tentang mu"

"Apa?! Kenapa Ayah melakukan itu!" Aku langsung berwajah malu, bagaimana bisa dia menggunakan topik obrolan pada rekan militernya tentang aku, benar benar aneh. Tapi mungkin itu adalah sebuah perasaan yang senang membuat Ayah bercerita pada mereka dengan antusias.

Setelah selesai sarapan bersama, aku mencuci piring dan merasakan Ayah berjalan ke pintu akan pergi bekerja, sebelumnya dia menatap ke arahku. "Kau tidak sekolah?"

"Aku libur..."

"Habiskan waktumu di rumah, jangan keluar keluyuran, kau mengerti?" Dia menatap tegas.

"Yeah, aku mengerti, sekarang pergilah sebelum gajimu terpotong karena sebentar lagi terlambat"

"Baiklah, aku akan pulang nanti sore, jangan lupa buatkan makanan lagi!" Kata Ayah yang berjalan pergi, menggunakan mobilnya yang sederhana dan pergi meninggalkan ku sendirian sekarang. "Dasar, mentang mentang aku sudah memasak, dia malah meminta aku memasak lagi, tapi tak apa..." Gumamku sambil memercikkan air dari pergelangan tangan ku dari air sabun kemudian beristirahat sebentar dengan duduk di sofa.

"Ha... Rupanya menjadi ibu itu sangat melelahkan..."

Terlalu sulit jika aku harus melakukan ini setiap hari, apalagi mengingat kalau dulu kehidupan yang biasa ini tidak pernah menjadi seperti ini juga. Ibu dulu selalu ada dan Ayah selalu menuruti semua perkataan ibu, itu karena dia menyayangi ibu, berhubung sudah tak ada, dia jadi banyak murung dan banyak menyembunyikan kesedihan nya. "Ha... Aku harap ini tidak menjadi kehidupan yang biasa dan penuh kekosongan..." Gumam ku sekali lagi sambil menatap langit langit dengan menyenderkan kepala di sofa, kemudian menjadi terlelap dan menutup mata.

Tapi tiba tiba aku teringat sesuatu yang membuatku langsung membuka mata, bahkan langsung bangun. Aku ingat bahwa aku harus menulis naskah. "Ha.... Benar benar deh, aku harus menulis naskah...." Aku memegang keningku sambil menggeleng kemudian berdiri mengambil sesuatu di kamar yakni sebuah laptop, aku mengerjakan naskah dengan sebuah laptop dan lebih enak jika mengerjakan nya di luar kamar seperti di ruang tamu tadi, duduk di bawah sofa dan meletakan laptopku di meja, kemudian mulai mengetik naskah.

Ini cukup menyenangkan bagiku, dari pada bermain di luar dengan orang orang tak jelas. Ayah selalu berpesan padaku bahwa di luar sana banyak sekali orang yang jahat, aku tak boleh sembarang keluyuran begitu saja, jadi aku lebih memilih mendengarkan nya dan semua kekosongan pikiran ku selama ini, telah aku lampiaskan di ketikan jari yang terus menempel di keyboard laptop.

Karena mulai merasa bosan dan lelah mengetik, aku meregangkan tubuh dan menyalakan televisi, siapa tahu dengan melihat sekilas televisi, aku bisa semangat mengetik lagi.

Tapi hal yang paling anehnya, ketika aku menyalakan televisi yang ada jauh di depan ku itu, rupanya langsung memunculkan sebuah berita.

Di sana ada berita yang sangat menakutkan. "Tikus tikus hitam yang sangat ganas telah berkembang biak dengan sangat cepat, di sekitar pertanian maupun hutan yang sangat mereka sukai sekali"

"Tunggu? Apa?!" Aku terkejut dan langsung memfokuskan pandangan ku ke televisi, benar benar terpaku begitu saja melihat hal itu. Mau bagaimana lagi, apakah itu semacam hama, sepertinya orang orang yang melihatnya juga berpikir itu hanyalah berita hama, tapi di pandangan ku itu seperti tikus tikus yang mirip dalam sejarah dunia penyakit virus, yakni Black Death, jika tidak tahu, cari saja di internet, penyakit itu berasal dari tikus, mereka memakan manusia beserta bangkainya dan jumlahnya sangat besar, virus itu hanya bisa di sembuhkan oleh obat yang telah di campurkan antibodi, aku sangat tahu hal itu karena aku sangat hebat dalam hal sejarah, lagipula sejarah ada di materi sekolah, tapi banyak yang tak mau mempelajarinya, kebanyakan mereka akan bilang. "Sejarah itu membosankan"

Mungkin kalian bertanya tanya, kenapa di setiap materi, dalam bab sejarah, pasti yang di terakhir kan, itu karena sejarah memang membosankan dan tanggapan mereka sepenuhnya benar, tapi tidak untuk ku, yang membosankan hanyalah matematika, tapi sejarah itu sangat seru, kita jadi tahu apa apa dan sesuatu berasal dari mana.

Ok, cukup bahas sejarahnya, sekarang aku mungkin harus mematikan televisi kemudian melanjutkan mengetik naskahku. Bukankah jika aku membuat novel tentang Black Death itu akan bagus, jadi nanti alurnya ada MC dan adiknya, MC itu yang harus melindungi adiknya yang merupakan antibodi dari pencampuran obat yang dapat mengendalikan virus itu, ada berbagai rintangan di antara mereka, tapi sepertinya membuat naskah seperti itu memang agak susah karena berkaitan dengan sejarah, nanti mereka yang membacanya malah berkomentar. "Salah, bukan seperti itu, tapi seperti ini"

Yah, terserahlah, yang penting aku melanjutkan naskah ku yang ini dulu, hingga siang menjelang sore pun tiba.

Tak di sangka aku ketiduran di keyboard laptopku membuatku membuka mata perlahan dan langsung terkejut baru sadar, bahkan langsung melihat jam di dinding, laptop ku habis baterainya karena aku ketiduran ketika baterainya sudah mencapai ujung.

"Astaga... Kenapa harus ketiduran...." Aku menghela napas panjang lalu berdiri dan membawa laptop itu ke kamar untuk di cas.

Tapi begitu menyadari ini sudah hampir jam Ayah kembali, aku langsung berjalan ke dapur dan memasak. "Tadi dia bilang masih ada yang agak asin dan hambar, aku akan mencoba lagi" Gumam ku dengan penuh tekad hingga tak lama kemudian Ayah membuka pintu dan menatap ke arahku yang sudah hampir selesai menyiapkan makanan.

"Oh, hei Ayah" Aku menyapa seperti biasa. "Bagaimana hari ini?"

Tapi kali ini dia tersenyum kecil dan mendekat, dia langsung duduk. "Tidak seperti biasa" Balasnya sambil melepas jas setelan yang selalu dia pakai untuk menjaga kerapian bajunya.

"Eh, kenapa?" Bukankah dia selalu membalas dengan nada lesu dan menganggap kehidupan kantornya membosankan.

"Entahlah, mungkin karena menunggu saat saat ini" Dia langsung mengambil piring dan makan duluan membuat ku tertawa kecil. "Haha... Astaga, jadi kau terus memikirkan masakan di rumah? Dasar"

"Kenapa? Bukankah ini juga makanan" Ayah tampak memakan dengan menikmatinya, lalu aku duduk di hadapan nya ikut makan. Jam makan kami memang teratur, pagi hari sebelum berangkat aktivitas. Kemudian di jam 3 dimana kami pulang bersama dan terkadang ada makan malam, itu karena terkadang Ayah juga pulang sampai malam, tapi aku senang jika dia hari ini pulang cepat.

"Apakah makanan nya enak?" Aku menatap penasaran.

"Lebih enak dari kemarin, kau sudah belajar dengan baik ya" Tatapnya memuji membuatku sangat senang.

Tapi kemudian pandangan ku kebetulan menatap ke arah jendela yang memperlihatkan halaman luas dengan pohon lebat. "Ayah..." Aku memulai panggilan membuatnya menatapku dengan pipi yang terlihat masih mengunyah makanan.

"Bukankah kita sudah lama tidak, menikmati alam" Tatapku. Sedikit pemberitaan, jadi rumah kami itu ada di tengah hutan yang luas, bisa dikatakan mungkin letaknya agak tinggi, jika mencapai kota itu hanya sekitar 17 kilometer saja, itu pun sudah kami anggap dekat, di bagian depan rumah, itu hanyalah ada hutan kecil dengan melingkari rumah kami, setelah keluar dari gerbang hutan itu, sudah ada jalanan raya, kemudian di belakang rumah, itu baru hutan yang sangat luas dan begitu liar, Ayah memutuskan untuk tinggal di sana karena tempatnya sangat sesuai jika dia ingin berolahraga dengan bebas.

Aku ingat ketika aku masih berumur 8 tahun ke atas, dia selalu membawaku, bahkan kami menyusuri hutan dengan memetik buah, menebang pohon bersama, menyebrangi maupun berenang dan menangkap ikan juga di sungai, balapan bersama hingga akhirnya aku selalu kalah, dan Ayah menyangkut kan aku di batang pohon, itu adalah bercandaan paling lucu jika bersamanya. Andai saja aku bisa mengulangi hal itu, sangat seru jika bermain dengan nya di alam bebas, tentu saja orang tua memiliki caranya sendiri demi anak anak mereka tertawa dan tidak kesepian.

Ketika mendengar perkataan ku tadi, dia tak menjawab apapun. Bahkan sekarang dia terdiam mendengar kalimat ku tadi, bahkan belum menyelesaikan mengunyahnya, kemudian menatap ke arah yang sama dengan ku.

"Bukankah Ayah suka berolahraga, kenapa tidak melakukan nya lagi" Tambahku.

". . . Ayah keluar di hutan hanya untuk menebang pohon untuk kayu yang di bakar ketika musim dingin, ini belum musim dingin jadi belum waktunya"

"Apakah itu alasan mu tidak keluar di hutan?" Aku langsung menyela. Membuat suasana diam, aku tak bermaksud begitu. "Hanya saja, aku sangat rindu masa masa dimana Ayah bisa bahagia, menikmati kehidupan yang sempurna meskipun hanya aku yang ada di sini"


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C3
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login