Baixar aplicativo
2.85% Ex-Husband After Divorce / Chapter 2: Apresiasi

Capítulo 2: Apresiasi

Beberapa jam sebelum kejadian malam itu.

“Eh? Gimana Bu?” tanya Lydia dengan mata membesar.

Lydia baru saja mendapat telepon interkom dari atasannya yang katanya baru saja selesai rapat dengan bos besar. Dan apa yang didengarnya saat ini membuatnya syok.

“Pak Reino katanya ingin ketemu kamu, Lyd. Dia pengen apresiasi kamu soal kebocoran dana tahun lalu dan anggaran produk baru kita.”

Ucapan manajernya itu makin membuat mata Lydia membesar. Kenapa bisa tiba-tiba Reino yang pelit itu mau memberi apresiasi? Dan itu untuk kejadian tahun lalu pula. Ditambah dengan hal yang sudah seharusnya dia lakukan untuk produk baru beberapa bulan lalu.

“Gak salah, Bu?” tanya Lydia sangat yakin kalau manajernya salah dengar. Tidak mungkin dia dapat apresiasi hanya kerena hal seperti itu.

“Gak salah kok, Lyd. Mending kamu sekarang ke ruangan di lantai paling atas deh. Jarang-jarang loh pegawai biasa seperti kita bisa melihat wajah tampan bos Reino.”

‘Tampan my ass,’ teriak Lydia dalam hati.

Dengan gerakan sangat malas, mau tidak mau Lydia dengan amat sangat terpaksa melangkah keluar dari ruangannya. Dia bisa mendengar seruan iri dari beberapa rekan kerja perempuannya, tapi Lydia sama sekali tidak merasa senang atau bangga karenanya.

Yang ada sekarang dia merasa amat sangat tertekan. Bertemu dengan mantan suami pura-puranya tentu tidak membuatnya senang. Apalagi jika pria itu sedingin kutub utara.

Polar Bear alias Beruang Kutub, aslinya mungkin terlihat ‘agak’ menggemaskan. Tapi sesungguhnya dia pemangsa yang mengerikan.

“Dasar Polar Bear sialan. Kenapa juga sih aku masih harus ketemu dia,” geram Lydia dengan nada rendah. Dia sama sekali lupa kalau mereka berdua sekantor.

Wajah cemberut Lydia segera berubah menjadi senyum profesional, ketika sampai di depan meja sekretaris Reino yang seksi itu. Dia berani jamin, Reino pasti sering memakai sekretarisnya ini.

“Istrinya gak pernah disentuh, tapi perempuan lain sering,” gerutu Lydia dalam hati.

Lydia tentu tidak pernah menggerutu seperti itu di depan Reino. Di depan orang tuanya saja tidak pernah, apalagi di depan orang lain. Yah, kecuali dengan para sahabatnya sih.

Dan hei. Bukannya Lydia ingin diapa-apaiin sama pria dingin itu. Dia Cuma merasa heran kenapa Reino sering sekali ‘main’ di luar.

“Nah, ini dia anaknya.” Seorang wanita gempal langsung melambaikan tangan meminta Lydia mendekat, ketika melihatnya memasuki ruangan.

Lydia mendekat dengan sopan dan senyum profesionalnya yang tak pernah tanggal. Dia juga tidak duduk di sofa, tapi berdiri di dekat manajernya tadi.

“Namanya Lydia, Pak. Dia masih pegawai kontrak, tapi pekerjaannya sangat bagus. Cocok banget sih jadi tim audit, tapi jangan dipindah Pak ya.”

Reino menatap Lydia dengan tatapan yang sama sekali tidak hangat seperti biasanya. Dan demi kesopanan Lydia hanya bisa membungkuk sedikit, kemudian tersenyum seadanya.

***

Tidak ada yang menarik dari wanita muda yang berdiri di depan Reino itu. Dia adalah karyawan potensial, sekaligus mantan istri yang baru saja diceraikannya sekitar sebulan lalu. Dan Reino baru tahu kalau Lydia yang menemukan kesalahan pada anggaran keuangan tahun lalu dan yang membuat anggaran untuk launching produk baru mereka.

Sudah. Itu saja.

Tapi karena perempuan di depannya ini berjasa untuk persahaan, Reino merasa perlu memberi apresiasi. Apalagi dia juga sudah membantu Reino mengambil alih perusahaan dari tangan ayahnya sendiri.

“Terima kasih karena sudah membuat perusahaan kita tidak mengalami kerugian terlalu banyak,” seru Reino tanpa ada perubahan ekspresi.

“Saya tidak bekerja sendiri, Pak. Ada teman-teman lain yang membantu,” jawab Lydia merendah.

“Beritahu HRD untuk memberikan bonus untuknya,” perintah Reino pada sekretarisnya yang seksi tadi.

Lydia membulatkan mata mendengar itu. Perusahaan memang memberi gaji, tunjangan dan bonus yang bagus untuk karyawannya. Tapi mendengar Reino memberi bonus tambahan? Itu terdengar sedikit aneh bagi Lydia, terutama karena selama jadi istri Reino, dia tidak pernah dinafkahi.

“Boro-boro dinafkahi. Tinggal serumah aja gak. Dasar pelit,” batin Lydia kesal. Lupa dengan uang milyaran yang diterimanya sebulan lalu.

“Terima kasih atas apresiasinya, Pak. Tapi sekali lagi, saya tidak bekerja sendirian,” jawab Lydia sopan.

Reino bisa menangkap maksud Lydia, tapi dia tidak bersedia mengeluarkan uang sebanyak itu untuk divisi keuangan. Rata-rata dari mereka tidak bekerja sebaik Lydia.

“Berikan mereka kartu kredit perusahaan,” pinta Reino sebelum beranjak untuk duduk kembali di kursi kebesarannya.

Itu pertanda kalau diskusi tidak penting ini sudah berakhir. Dan Lydia serta para wanita yang lain segera pamit keluar.

***

“Haruskah kita ke sini?” protes Lydia untuk yang kesekian kalinya sejak sore tadi.

“Sudahlah, Lyd. Pasrah saja, mereka semua sedang butuh healing,” jawab manajer Lydia dengan santai.

Setelah mendapat kartu sakti dari pak bos dengan kalimat ‘silakan pakai sesuka hati’ mengikuti, para manusia dari divisi keuangan langsung sibuk menentukan tempat untuk menghabiskan limit kartu itu. Dan club malam paling tersohor se-Jakarta raya lah yang jadi pemenangnya.

Lydia juga tidak tahu siapa yang duluan mengusulkan tempat ini, tapi pada akhirnya di sinilah mereka saat ini. Dan demi kenyamanan bersama, mereka memesan VIP room paling besar, untuk bisa menampung 15 orang.

Yang jadi masalah sekarang adalah, Lydia sangat tidak suka tempat yang terlalu ramai dan berisik. Apalagi dengan teman-teman satu ruangannya yang dari awal memang sangat ribut.

“Untuk Lydia yang jadi pahlawan kita hari ini,” teriak salah seorang rekan kerja lelakinya. Dan semua orang pun mengangkat gelasnya tinggi-tinggi sambil berteriak keras.

Lydia hanya bisa meringis, mendengar keributan itu. Belum lagi dengan dentuman musik keras dari luar. Yang paling parah, teman-temannya terus-terusan memaksa Lydia untuk minum alkohol. Dan setelah nyaris semua memintanya, Lydia terpaksa minum segelas wine.

“Hm. Rupanya ini enak,” gumam Lydia yang baru pertama kali mencoba red wine dengan sedikit rasa ceri.

Merasa kadar alkohol dalam wine yang diminumnya tidak begitu tinggi dan rasanya juga enak, Lydia dengan senang hati minum beberapa gelas lagi. Toh yang dituang ke gelasnya hanya sedikit saja dan Lydia yakin dia tidak akan mabuk.

Bahkan ketika Lydia bangkit untuk pergi ke toilet, dia merasa baik-baik saja. Padahal langkahnya sudah oleng.

“Astaga. Kenapa toiletnya jauh sekali sih?” protes Lydia kesal. Padahal dia baru 5 langkah dari ruangannya.

Disaat yang bersamaan, pintu ruangan VIP room di sebelah Lydia terbuka. Dan seorang lelaki yang terlihat familiar keluar dari sana.

***

Reino mengutuk pelan ketika mengetahui ada yang menuang minuman beralkohol di gelasnya. Dan dia tidak bisa menolak karena yang ditemaninya saat ini adalah salah satu pemasok bahan baku yang diincarnya.

Dari awal ketika rapat selesai dan dia ajak ke club, Reino sudah ingin menolak. Tapi ketika semua orang membujukmu, tentu susah untuk menolak. Apalagi mereka semua adalah rekan kerja yang penting.

“Maaf, saya rasa saya perlu ke toilet,” Reino segera pamit ketika merasa pandangannya mulai buram. Padahal baru segelas wine yang dihabiskan. Dia memang punya kadar toleransi yang sangat rendah.

“Kamu?” gumam Reino ketika dia membuka pintu dan melihat Lydia.

“Pak Reino? Ngapain di sini?”

“Saya yang harusnya tanya. Kamu ngapain mabuk di tempat seperti ini?” tanya Reino dengan satu alis terangkat.

“Menghabiskan limit kartu Pak Reino tentunya. Dan saya tidak mabuk,” kilah Lydia tidak sadar tentunya.

Reino hanya menggeleng pelan. Dia yang merasa perlu segera pergi dari tempat ini tidak mau peduli. Tapi Lydia yang berjalan saja susah malah menabrak dirinya dan tidak sengaja menyentuh benda yang tidak seharusnya wanita itu pegang.

“Astaga. Apa yang kamu sentuh?” geram Reino marah.

“Hm? Memangnya apa yang kusentuh?” Lydia yang tidak sadar malah benar-benar menyentuh area di antara paha Reino.

Pria itu menggeram rendah dan segera mendorong Lydia menjauh. Tapi bukannya segera pergi, Reino malah terpaku pada wajah Lydia yang sebenarnya cantik itu.

Wanita di depannya itu, entah bagaimana malah membuat ekspresi yang seksi. Terutama dengan bibir basah yang sedikit terbuka, membuat Reino yang tadi sudah sedikit ‘tersentil’ dan dalam pengaruh alkohol, langsung bereaksi.

“Sialan. Ikut denganku.” Reino menarik tangan Lydia dengan kasar.

***To Be Continued***


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C2
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login