Dua Bulan sebelum Upacara Penerimaan Murid SMA Elite Tokyo.
Shin berjalan di malam hari setelah menghadiri Acara Pertunjukkan Game di suatu tempat. Dia mengenakan jaket lumayan tebal dan Syal biru yang diikat di lehernya, ditangannya ada kopi hangat yang baru dia beli. Kemudian, dia duduk di kursi taman, sendirian tanpa ada seorangpun di sana.
Dia menyukai ini.
Shin duduk di sana sambil meminum kopi selama kurang lebih 30 menit, dan ada seorang gadis yang sedang duduk di ayunan. Entah dia baru sadar atau apa, tapi sepertinya gadis itu sudah agak lama duduk di ayunan.
Dia tak berniat menyapanya, mungkin dia akan dituduh sebagai orang cabul.
Gadis itu berdiri dan berjalan ke arah … dimana ada seorang anak kecil yang menangis kecil, sepertinya sedang tersesat. Gadis itu ingin menolong anak kecil tersebut, namun tampaknya gadis itu kesulitan menanganinya.
Shin berniat menolongnya, tapi dia tidak tahu cara menghibur seorang anak kecil. Pada saat itulah dia mengingat bahwa dia memiliki Topeng yang diberikan oleh seseorang di Acara Pertunjukkan Game sebelumnya.
Dia mengenakan Topeng itu dan berlari ke arah anak kecil itu. Kakinya melompat dan mendarat dengan sempurna di depan mereka berdua.
"Namaku adalah Pahlawan Bertopeng! Kekuatan dari Bulan! Siap menyelamatkan kalian!" Shin bergaya seperti seorang Chuunibyou. Meski malu, tapi wajahnya saat ini tertutupi oleh Topengnya.
"Pahlawan Bertopeng?!"
"Ya! Aku di sini! Apa kamu tersesat, Nak?!"
"Ya, Pahlawan Bertopeng! Bisakah kamu menolong menemukan Ibuku?"
"Tentu saja! Karena aku adalah Pahlawan Bertopeng!" 'Aku ingin mati! Ini sangat memalukan.' "Kalau begitu, ikuti aku, Nak!"
"Ya!"
Shin dan gadis itu bekerja sama membawa anak itu ke kantor polisi terdekat agar Ibu dari si Anak bisa dihubungi. Perlu menunggu puluhan menit sebelum si Ibu datang dan membawa kembali Anaknya, mereka juga berterima kasih kepada Shin dan gadis itu.
"Terima kasih, karena telah membantuku." Ucap gadis itu.
"Tidak apa-apa, karena aku adalah Pahlawan Bertopeng!"
"Fufufu … Hentikan saja dialog itu. Aku tahu itu memalukan." Gadis itu tersenyum kecil sambil menyembunyikan mulutnya yang tertawa.
"Ugh. Baiklah. Dan ini .." Shin melepaskan Syal di lehernya dan memberikannya ke gadis itu.
"Tidak. In—"
"Aku adalah Pahlawan Bertopeng. Aku kuat dan tugasku adalah melindungi semua orang. Terima lah ini agar bisa melindungimu dari kedinginan."
"..." Gadis itu menerimanya dan memakai Syal milik Shin di lehernya. Kini, gadis itu merasa hangat. Bagaimanapun juga, gadis itu hanya mengenakan seragam dengan rok pendek, sudah jelas kedinginan di malam hari begini.
"Terima kasih, Pahlawan Bertopeng."
"Sama-sama! Dan, selamat tinggal!"
Shin berlari sekuat tenaga, kecepatannya bahkan mengejutkan gadis itu. Dalam sekejap sosok Shin sudah menghilang di jalanan yang gelap. Tapi, gadis itu akan mengingat hari ini kapanpun.
Sementara itu, Shin melepaskan Topengnya dan terlihatlah wajahnya yang berekspresi meringis.
"Sial. Tadi itu memalukan. Aku juga melupakan kopiku."
Shin berjalan ke arah Apartemennya dengan wajah lesu, tanpa dia sadari ada seseorang yang menabraknya, dan orang itu jatuh di depannya. Saat itu dia menyadari kalau yang dia tabrak adalah seorang gadis … lagi.
"Oi, apa kau baik-baik saja?"
***
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Hmm .." Gadis itu mendongak ke atas, bertemu tatapan Shin yang bertanya kepadanya. Dengan santai dia menjawab. "Aku kehilangan kunci rumahku."
Gadis itu memiliki rambut karamel yang halus dan panjang, tubuhnya seperti gadis SMA pada umumnya, tidak tinggi ataupun pendek, intinya pas. Dia mengenakan seragam yang sama dengan Shin, karena mereka berdua bersekolah di SMA yang sama.
"..." Shin entah kenapa bisa menormalkan hal ini, bagaimanapun juga melupakan sesuatu wajar bagi Manusia. Tapi yang dia tak bisa normalkan adalah kenyataan kalau setiap masalah yang dia temui, mengapa harus seorang gadis cantik?
"Mau ke Apartemenku dulu? Aku akan membuatkan coklat hangat untukmu. Suhu di sini juga sudah mulai dingin."
"Hmm." Tatapan gadis itu menajam ke arah Shin seolah-olah bisa membunuhnya, karena saat ini dia merasa agak waspada dan curiga pada Shin.
"Aku tidak akan melakukan apapun. Kalau tidak percaya, nih." Shin mengeluarkan pulpen dari dalam tasnya dan memberikannya ke gadis itu. Tatapan gadis itu bertanya-tanya untuk apa pulpen itu, jadi Shin menjawabnya. "Kalau aku berbuat mesum padamu, tusuk saja mataku dengan itu."
"!!" Gadis itu kaget dengan jawaban Shin, tapi berkat ini dia sedikit percaya dengan Shin dan kewaspadaannya sedikit mengurang. Jika Shin berbuat jahat kepadanya, dia akan melawannya balik.
"Ayo."
"Permisi."
Shin membuka pintu Apartemennya, memperlihatkan ruangan tamu yang agak berantakan. Sampah makanan ada dimana-mana, bahkan ada tumpukan plastik isi sampah yang belum dibuang sama sekali. Untung saja ada pengharum ruangan di sini, jadi bau dari sampah tidak tercium sama sekali.
"Ini mengerikan. Betapa buruknya kamu hidup sehat dan bersih." Ucap gadis itu secara terang-terangan.
"Itu menyakiti perasaanku, tahu. Yah, walaupun aku tidak sepenuhnya menyangkalnya." Shin melepaskan sepatunya dan berjalan sambil mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan.
"Apa kamu tidak jijik dengan semua sampah ini?" Tanya gadis itu dengan polos.
"Aku sudah lama tidak ke sini, jadi yah … intinya aku lupa membersihkannya."
"Tidak ke sini? Lalu, sebelumnya kamu tidur di mana?"
"Aku mempunyai Apartemen satu lagi. Di sana ada teman-temanku yang biasanya main, aku tidak ingin mendengar kebisingan dulu untuk sementara, jadi aku ke sini. Lalu yahh … Seperti itulah."
Gadis itu sepertinya sedikit memahami kondisi Shin, tapi tetap saja kesan Shin di matanya saat ini agak buruk, berpikir kalau Shin adalah orang yang kurang cinta kebersihan. Kemudian, dia melepaskan sepatunya sebelum masuk ke dalam.
"Aku akan membersihkannya. Tunggu saja sebentar."
"Aku merasa tidak enak. Aku juga akan membantumu membersihkan." Gadis itu meletakkan tasnya dan menggulung lengan bajunya yang panjang, memperlihatkan tangan seputih susu dan sehalus kain sutra.
"Biar aku saja."
"Aku menolaknya."
"Aku menolak tolakanmu."
"Aku juga menolak tolakanmu yang menolakku."
Shin menghela nafas sebentar dan mengangguk sebagai jawabannya, menyerah kepada keinginan gadis itu.
Mereka mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan di ruangan tamu, lalu menyapu kamar dan dapur. Tampaknya dapur lumayan bersih daripada ruangan yang lain, menandakan kalau Shin dulunya sangat jarang sekali menggunakan dapur.
Semua sampah di masukkan ke dalam plastik hitam dan Shin membawa semua plastik itu ke bawah Apartemen, lebih tepatnya dikumpulkan di Tong sampah yang besar, nanti pagi juga sampah-sampah ini akan menghilang.
Kira-kira, Shin bolak-balik naik lift sebanyak lima kali hanya untuk membawa plastik berisi sampah itu.
"Selesai juga." Meskipun begitu, Shin tidak terlihat seperti orang kelelahan. Bahkan dia hanya mengeluarkan sedikit keringat saja, tangannya pun masih bertenaga, begitu juga dengan kakinya.
Shin masuk ke dalam Apartemennya yang sangat-sangat berbeda dari sebelumnya. Semuanya bersih, di tengah ruangan terlihat gadis itu yang sedang menggunakan Penyedot Debu agar ruangan semakin bersih lagi.
Sambil menunggunya selesai, Shin berniat membuatkan coklat hangat untuk mereka berdua.
***
"Akhirnya selesai juga." Gadis itu duduk dengan kelelahan. Sudah wajar, karena gadis itu membersihkan ruangan sampai benar-benar bersih hingga membuat Shin kagum akan ketelatenannya.
"Nih." Shin duduk di sebelah gadis itu dan meletakkan coklat hangat di meja di depan mereka. Lalu dia melirik ke arah gadis itu. "Terima kasih. Berkatmu, Apartemenku menjadi sangat bersih sekali."
"Tidak apa-apa. Asalkan kamu berjanji tidak akan mengotorinya separah tadi."
"Aku janji."
Gadis itu meminum coklat panas dengan wajah menenangkan, diikuti oleh Shin. Sesaat Shin memikirkan sesuatu …
'Benar juga. Kami belum mengenal nama satu sama lain.' Shin baru saja sadar akan sesuatu yang sangat penting. Dia menatap gadis itu dan berkata. "Ngomong-ngomong, namaku Sasaki Shin. Salam kenal."
"Ah, benar juga. Kita belum memperkenalkan diri. Namaku Shiina Mahiru. Salam kenal juga, Sasaki-san."
Shin mengangguk sebelum tangannya mengambil remote TV dan menyalakan Televisi yang ukurannya besar dan menempelkan pada dinding. TV menyala, menyiarkan berita tentang kejadian terkini seputar Jepang.
"Boleh aku bertanya, Sasaki-san?"
"Ya ..?"
"Kenapa banyak sekali obat-obatan di kamarmu. Apa kamu sakit atau semacamnya ..?" Shiina tentu saja penasaran dengan hal itu, apalagi jumlah obatnya sangat banyak.
"Eummm."
"T - Tentu saja, aku tidak memaksamu menjawab pertanyaanku. Maafkan aku." Shiina merasa tidak sopan, jadi dia segera meminta maaf.
"Tidak apa-apa. Sejujurnya itu juga bukan masalah yang harus kusembunyikan, kok." Shin meminum coklat panasnya lagi, sambil berpikir kalau Shiina bukanlah gadis buruk yang patut diwaspadai.
Meskipun agak terdengar menjijikkan, tapi Shin selama ini selalu memerhatikan gerak-gerik Shiina, bahkan sebelum Shiina memasuki Apartemennya. Mulai dari gerakan tubuhnya hingga perubahan raut wajahnya sampai ke suasana hatinya.
Jadi bisa dibilang, Shiina 'bersih' dari kecurigaan Shin.
"Shiina-san, pasti kamu berpikir kalau aku adalah anak dari keluarga kaya setelah melihat Apartemenku."
"Yah, memang begitu. Banyak sekali barang yang terlihat mahal di sini, lalu ada banyak Mainan yang sepertinya bukan barang murah."
"Seperti itulah. Aku memang anak dari keluarga kaya, tentu saja dulu sangat sulit untuk berkomunikasi dengan seseorang, karena mereka memandangku tinggi jauh di atas mereka."
Mata Shiina sedikit melebar karena terkejut, tapi dia memahami perasaan itu. Dia cantik, bukan berarti dia sombong, tapi kecantikannya ini membuatnya tak bisa mendekatkan diri kepada teman-temannya, karena mereka semua memandangnya tinggi. Bahkan dia dipanggil "Tenshi-sama" (Malaikat).
"Pasti rasanya tidak enak."
"Betul. Lalu aku bertemu dengan seorang teman yang menjadi teman baikku. Kami berteman untuk beberapa tahun sebelum ada masalah yang memisahkan kami." Shin meminum coklatnya kembali sebelum melanjutkannya.
"Masalah itu semakin serius dan parah, di sebabkan oleh Ayahku. Dia adalah sosok yang kukagumi dan yang kubenci. Gara-gara masalah itu, mengakibatkan temanku mati … di depan mataku sendiri."
"..." Shiina terdiam dan menatap Shin dengan terkejut, tapi tidak ada perubahan ekspresi di wajah Shin.
"L - Lalu …"
"Ya, begitulah. Aku stress dan meminum obat-obatan agar menenangkan pikiranku. Bahkan aku sampai meminum alkohol."
"I - Itu berbahaya! Bagimu dan tubuhmu!"
"Y - Ya, tapi aku sudah menghentikannya."
"Kalau begitu, mulai sekarang aku akan mengawasimu agar kamu bisa hidup sehat!"
"Itu me—"
"Ini adalah balas budiku."
"Tidak. Tadi kamu baru saja membantuku. Anggap saja impas."
"Aku menolaknya."
"Hah?" Shin tidak tahu harus berbuat apa dengan perubahan mendadak ini, tapi tiba-tiba sosok bayangan Ibunya terlihat sebentar di sosok Shiina yang mengomel kepadanya.
"Mengerti?!"
"Ya. Tapi kalau itu membebanimu, lebih baik hentikan."
"Baik." Shiina yang sudah mulai merasa tenang, duduk kembali sambil meminum coklat panasnya.
Shin cuma bisa terdiam, tapi dia pikir ini bukan lah hal yang buruk. Bagaimanapun juga, ada seorang gadis cantik yang mau secara gratis merawatnya. Ketika dia memikirkannya kembali, dia baru sadar kalau dia memang beruntung.
'Aku harus bermain Game Simulasi Kencan lagi. Mungkin biar Ishigami yang membelikannya agar aku bisa sedikit memahami seorang gadis.'