Baixar aplicativo
18.75% The Gladiol / Chapter 30: Deja Vu World

Capítulo 30: Deja Vu World

Arvy dan Dio menikmati kopi di cafetaria rumah sakit. Dio datang terlambat, ia berlari dengan masih mengenakan jas dokter.

"Sepertinya kau sibuk," sapa Arvy.

"Aku ada jadwal operasi mendadak, meskipun bukan aku dokter utamanya."

Arvy melihat Dio yang tersenyum lebar meskipun dia masih anak magang.

"Kau menikmatinya?"

"Apanya?"

"Dokter. Kau menyukai pekerjaanmu?"

"Tentu saja. Aku bisa menolong orang lain. Mungkin suatu saat nanti aku bisa menyelamatkan banyak nyawa."

"Cih, kau berencana diskusi tentang mimpimu?"

"Ha ha, tidak tidak. Oh ya, kenapa kau tidak di bar?"

"Ya begitulah."

"Kak Arvy," panggil Dio pelan.

Arvy memperhatikan gesture-nya yang terlihat serius.

"Apa?"

"Tentang Amy kemarin…apa dia melakukan sesuatu di bar-mu?"

"Ha? Kau serius tanya itu?"

Dio mengangguk.

Arvy mengingat kembali bagaimana keadaan Amy yang mabuk kemarin bahkan hampir menawarkan dirinya sendiri menjadi gadis malam. Meskipun itu semua ulah fyber, Arvy tidak mungkin mengatakannya.

"Tidak ada yang terjadi."

"Benarkah?"

"Kecuali dia yang memecahkan banyak gelas sehabis minum. Dia membuangnya ke lantai hingga pecahannya dimana-mana. Ada yang terlempar ke bawah meja pelanggan lain."

"Apa?! Astaga, aku minta maaf ya."

"Kenapa kau seserius ini? Tidak usah dipikirkan. Itu gelas murah, pelanggan juga tidak ada yang terluka, ya meskipun membuat mereka tidak nyaman. Tapi itu bisa dimaklumi. Tapi kenapa kau minta maaf? Malah membuatku tidak nyaman."

Dio menunduk menghela napas, mendecakkan lidah, ekspresinya terlihat merasa bersalah.

"Berhenti memasang muka tidak enak seperti itu."

"Tetap saja…"

"Oh ya, apa yang kau lakukan di perusahaan kemarin?"

"Aku mengunjungi kakek, tidak sengaja bertemu Paman."

"Kau bertemu ayahku?"

"Em, dia mengajakku minum kopi."

"Kau kan dokter, kenapa tidak di rumah sakit saja. Kau mencari perhatian ayahku?

"Apa?" Dio tertawa tidak percaya. "Cara bicaramu masih sama seperti dulu."

Arvy tersenyum simpul.

"Apa yang dilakukan adikmu akhir-akhir ini sih? Dia sepertinya tidak punya pekerjaan dan tidak punya kesibukan. Dia selalu saja membuatku naik darah tiap mampir ke bar."

"Ah itu…" Dio melirik ke arah kiri. "Dia bekerja paruh waktu di minimarket."

"Kenapa?"

"Entahlah. Dia bilang ingin bebas setelah lulus sekolah. Ayah membiarkannya tinggal terpisah. Padahal ayah dan kakek tetap mengiriminya uang, tapi ia tidak pernah menggunakannya. Tidak ada catatan pengeluaran, uangnya masih utuh. Aku juga heran bagaimana dia bisa hidup akhir-akhir ini."

"Sepertinya adikmu lebih suka jadi miskin."

Dio tertawa mengira Arvy melempar guyonan.

"Maksudku bukan Amy, mungkin mereka suka melihat Amy menderita, termasuk jadi miskin."

Dio terbatuk saat meminum kopinya. Anehnya ia tidak pernah memikirkan kemungkinan ini sebelumnya.

"Kau berbohong kan tentang pekerjaannya adikmu."

"Eh?" Dio bingung harus menjawab apa.

"Apa yang dia sibukkan sekarang?"

***

"Kau tahu kan kalau kita sangat sibuk?! Kenapa malah main-main?!"

Alfa berkacak pinggang.

"Kita akan menyelesaikannya hari ini," sahut Amy sembari membunyikan -jari tangan dan memutar lehernya.

"Kenapa kau jadi bersemangat hari ini?" Alfa mengoloknya namun ia senang melihat antusiasnya untuk kasus kali ini.

"Kau tahu apa yang paling ujung dari sebuah misteri?"

"Ha?"

"Ketidaktahuan."

"Apa cuma aku yang tidak paham di sini?"

"Orang-orang takut karena mereka tidak tahu siapa musuh yang ada di depannya. Karena mengetahui musuh dengan baik, kita harus mengubah posisi. Aku tidak akan bertahan, karena aku buldosernya."

"Maksudmu, kita sedang melawan musuh yang sebanding, kan?"

"Siapa yang bilang kita sebanding? Bukannya kau bilang aku anak indigo yang paling kuat di bumi?"

"Kapan aku bilang begitu? Bukannya itu keterlaluan?"

"Empat tahun yang lalu. Aku jadi merasa deja vu."

***

Satu minggu setelah kejadian penusukan Rataka oleh Alfa di UKS, Alfa akhirnya kembali ke sekolah, namun ia menghindari Amy. Namun Amy tak membiarkan itu terjadi. Ia terus menempel pada Alfa sejak masuk kelas.

"Alfa, kau kemana seminggu ini?"

Alfa mengubah posisi duduknya dengan membelakangi Amy. Ia memutar duduknya 180 derajat. Namun Amy keukeuh.

"Kau sakit?"

Amy melihat pergelangan tangan Alfa yang dibalut perban dan beberapa plester di wajahnya.

"Kau pergi kemana? Rumah sakit?"

"Kenapa kau bisa terluka seperti ini?"

Amy menyentuh sudut bibir Alfa namun ditepisnya dengan pelan. Amy kecewa.

"Apa kau kecelakaan lalu lupa ingatan? Baru kemarin kau bersikap manis, sekarang kau pahit sekali."

"Pergilah. Aku mau sendirian."

Alfa tetap memalingkan mukanya, namun Amy tak berhenti menyerangnya dengan ratusan pertanyaan.

"Ah ya, kau masih di panti asuhan? Sejak kemarin aku mau tanya tapi aku ragu."

"Apa kau masih tinggal di sana?"

"Aku bingung saat mau menjengukmu."

Alfa menggeleng sembari memejamkan mata tidak tahan.

"Sampai kapan kau akan terus bertanya. Aduhhh.." jeritan hati Alfa.

Amy tersenyum mendengarnya.

"Sampai kau menjawabku."

"Apa? Kau mendengarnya?" Alfa sontak menoleh.

"Begitu baru kau lihat aku."

"Kuakui kau memang anak indigo yang paling kuat di bumi ini," sahut Alfa setengah hati.

"Di bumi? Bukankah itu keterlaluan. Tapi tidak apa-apa deh, hehe." Amy mengengeh.

Tidak hanya di ruang kelas, Amy terus mengganggunya di kantin, di lapangan sekolah, di depan kamar mandi laki-laki. Amy menempel padanya dan melempar pertanyaan yang sama namun ditanggapi dengan cara yang sama oleh Alfa.

Begitu juga saat pulang sekolah. Dio telah menunggu dengan mobil di depan, kali ini tanpa supir. Ia telah mendapatkan surat izin mengemudinya. Dari dalam mobil ia melihat Amy berdiri berdampingan dengan seorang siswa laki-laki. Dari sudut pandangnya nampaknya adiknya tertarik dengan siswa itu, namun siswa itu membuang muka dan tidak mau menatap Amy. Ia sedikit khawatir.

"Kenapa dia mendekati orang yang tidak menyukainya? Jelas-jelas sudah ditolak. Adikku yang malang."

Dio mulai sebal melihat siswa itu menghindari Amy, ia memutuskan turun dari mobil dan menghampirinya.

"Ayo pulang," ujar Dio yang tiba-tiba muncul di hadapan Amy dan Alfa.

"Kak Dio?!"

"Amanda punya kakak sekarang?" batin Alfa. Ia memperbaiki gesture dan sikapnya.

"Pacarmu?" tanya Dio, lebih mirip investigasi.

"B..bukan kok, Kak," sangkal Alfa gugup.

"Ha?" Amy terkejut. Ia dengan cepat menggandeng lengan Alfa, mereka berdua menempel satu sama lain.

"Kita pacaran kok."

"Ha?! Sejak kapan?" Dio segera menutup mulutnya ketika Dio memicing ke arahnya. "Kami tidak pacaran kok, Kak."

Emosi Dio semakin membuncah. Ia menarik Amy agar menjauh dari Alfa.

"Aku mau pulang sama Alfa."

"Siapa yang mengizinkanmu?"

"Aku sendiri."

"Bocah ini benar-benar."

Para siswi perempuan yang keluar kelas dan berjalan di koridor melihat Dio yang sebelumnya sudah populer, histeris melihatnya. Ia semakin populer diantara gadis-gadis.

"Bukannya itu Dio yang lulusan kemarin itu?"

"Wah dia benar-benar tampan."

"Jadi Amy benar-benar adiknya, ya? Beruntung sekali."

"Aku juga mau dijemput kakak tampan dan pintar sepertinya."

Dio memperhatikan pandangan siswa siswi di sana. Ia menarik Amy dan segera masuk ke mobil. Mereka berdua meninggalkan sekolah.

Alfa tercengang, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Ketika mengingat kejadian Rataka kemarin ia ingin memberi jeda terlebih dahulu. Ia memandangi mobil Dio yang mulai menjauh dan tak terlihat.

"Kali ini aku hanya akan mengawasinya dari jauh. Aku masih belum menuntasakan kemarin."


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C30
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login