Baixar aplicativo
60% Mendekap Rasa / Chapter 12: Mengunci Hati

Capítulo 12: Mengunci Hati

"Jangan coba-coba bermain hati, Kak! Aku takutnya Kakak malah akan jatuh cinta pada laki-laki itu."

"Nggak--nggak akan pernah, karena di hati Kakak hanya ada Nathan." Tegas Fiona.

"Nah, apalagi kalau Kak Nathan sampai tau, kan kasihan."

"Jangan! Nathan juga jangan sampai tahu!"

Devan menghela nafas, ia tidak menyangka kalau sang kakak mendekati anak dari suami barunya Mama Iren. Devan hanya takut Fiona mendapatkan karma atas apa yang ia perbuat, karena setiap perbuatan baik ataupun buruk pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Namun Fiona memang masih di dera rasa dendam, ia tak peduli dengan perkataan Devan. Ia hanya berusaha untuk mengunci hatinya dengan kebencian, agar Filio takkan pernah bisa masuk ke dalam.

Setelah selesai makan malam, Fiona beranjak ke ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu ia menunaikan sholat isya di dalam kamarnya. Setelah selesai sholat, Fiona naik ke atas ranjangnya, lalu ia mulai memejamkan mata.

Mata Fiona lelah tapi pikirannya masih berkelana, belum bisa diajak untuk beristirahat. Fiona pun kembali bangun, ia meraih ponsel yang berada di atas ranjangnya, ia membuka ponselnya itu, lalu menelepon Nathan.

[Hallo.]

[Hallo Nathan.]

Nathan diam saja, karena ia masih marah dengan Fiona.

[Nathan, maafin aku!]

[Udah dong, kamu jangan marah!]

[Semudah itu kamu minta maaf?]

[Terus aku harus gimana untuk menebus kesalahan aku?]

[Nggak tau, kamu pikir aja sendiri!]

[Oke, besok kita ketemuan ya!]

[Untuk apa?]

[Aku kangen sama kamu. Selama di Jakarta, kita kan belum bertemu.]

[Memangnya kamu masih menganggap aku sebagai kekasih kamu?]

[Iyalah, kita kan nggak putus. Kamu masih jadi pacar aku.]

[Tapi, aku kok kayak udah nggak di anggap ya. Kamu seperti sedang menutup-nutupi sesuatu.]

[Nggak ada yang sedang aku tutup-tutupi! Kamu percaya dong sama aku!]

[Lagian kamu aneh aja, pergi nggak bilang sama aku. Udah gitu, bohong sama Papa kamu, bilangnya mau bertemu sama aku padahal bukan. Terus, aku telepon nggal dijawab, kamu seperti sedang berselingkuh!]

[Ya ampun, aku nggak selingkuh. Hati aku memang milik kamu.]

[Aku benar-benar kecewa sama kamu, tau nggak?]

[Makanya, besok kita ketemuan ya! Besok kamu jemput aku, kita jalan ke Mall.]

[Kamu janji, nggak akan seperti kemarin lagi?]

[Iya, aku janji. Aku akan bilang kemanapun aku pergi. Aku juga akan selalu menerima telepon dari kamu.]

[Oke.]

[Oke, besok kita ketemu ya, jam sebelas siang.]

[Iya.]

[Nah gitu dong! Aku sampai nggak tidur tau nggak, karena kamu belum maafin aku.]

[Yaudah, sekarang tidur sana!]

[Iya. Sampai ketemu besok!]

[Iya.]

[Bye.]

[Bye.]

Fiona menutup teleponnya, kini ia sudah merasa lega karena kekasih hatinya itu sudah memaafkannya. Fiona menarik selimutnya, lalu ia mulai memejamkan kedua matanya.

Alarm pada ponsel Filio sudah berbunyi, ia pun membuka kedua matanya, lalu bangun dan mematikan alarm pada ponselnya itu. Filio bangkit dari tempat tidurnya, ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, lalu ia melaksanakan sholat dua rakaat. Setelah selesai sholat, Filio beranjak turun ke lantai bawah, ia beranjak ke ruang makan.

"Kak, antar aku sekolah yuk!" Ucap Renata pada Filio.

"Lho, biasanya bareng sama Papa?"

"Papa buru-buru, karena ada meeting pagi ini." Ucap Papa Rizal.

"Oh yaudah, yuk Kakak antar!"

Jika Filio sedang berada di rumah, ia memang sering disuruh mengantar adiknya ke sekolah. Filio tidak merasa keberatan, ia justru malah senang karena ada kegiatan saat liburan kuliah.

Setelah selesai sarapan, Filio mengeluarkan mobilnya, lalu Renata dan Maura masuk ke mobil milik Kakaknya itu. Kedua adik Filio kebetulan sekolah di tempat yang sama, jadi mereka selalu berangkat bersama.

Di waktu yang sama, Fiona sedang sarapan pagi bersama Devan. Tadi ia membuatkan nasi goreng untuk adik satu-satunya itu yang akan berangkat ke sekolah.

"Enak nggak nasi goreng buatan Kakak?" Tanya Fiona.

"Lumayan. Tiap hari dong bikinin buat aku sarapan." Jawab Devan sambil memakan nasi goreng buatan sang kakak.

"Iya, selama Kakak masih disini sih bisa, tapi kalau Kakak udah balik ke Bandung, kamu bikin sarapan sendiri."

"Ya paling mie instant."

"Jangan makan mie instant terus, nggak baik juga untuk kesehatan kamu!"

"Makanya aku berharap Papa nikah lagi, biar ada yang membuatkan aku sarapan pagi, masakin aku makan siang dan makan malam."

"Tapi kan belum tentu ibu tiri sebaik yang ada dalam bayangan kamu."

"Papa kan nggak sembarang pilih calon istri, Kak. Pastinya harus baik dong!"

Fiona tak pernah membayangkan kalau ia tinggal bersama seorang ibu tiri di rumahnya, karena yang ia dengar dari teman-temannya yang mempunyai ibu tiri, mereka tidak akur, selalu ada saja masalah antara anak dan ibu tirinya.

"Assalamualaikum." Salam Papa Febri yang baru pulang.

"Waalaikumsalam." Jawab Fiona dan Devan.

Papa Febri terlihat lelah setelah pulang mencari nafkah, ia menghampiri kedua anaknya. Setelah itu Fiona dan Devan bersalaman dengannya, lalu Devan berpamitan ingin pergi ke sekolah, sedangkan Fiona melanjutkan pekerjaan rumah. Fiona beranjak ke belakang lalu mencuci piring.

"Kamu tadi masak apa?" Tanya sang papa.

"Nasi goreng. Masih ada tuh nasinya untuk Papa."

"Iya."

Papa Febri mendekati Fiona yang masih mencuci piring. "Papa senang deh kamu seperti ini, latihan untuk nanti saat kamu sudah menjadi istri."

Fiona menghela nafas, "tapi nanti kalau aku udah balik ke bandung, siapa yang menyiapkan sarapan? Siapa yang mengerjakan pekerjaan rumah?"

"Ya Papa dan Devan, harus bekerjasama. Kita harus terbiasa seperti ini, karena Mama udah nggak mungkin kembali."

"Iya."

Terkadang, untuk bisa menerima suatu keadaan yang tidak diinginkan, harus dipaksa terlebih dahulu, setelah itu akan bisa dan lama-lama akan terbiasa. Itulah yang harus Fiona lakukan, ia harus terbiasa tanpa Mama Iren.

Di waktu yang sama, Filio sudah sampai di sekolah kedua adiknya.

"Nanti Kakak jemput kita kan?" Tanya Renata.

"Nanti Kakak mau antar Mama ke Mall."

"Kita berdua kan mau ikut Mama ke Mall juga." Ucap Maura.

"Yaudah, nanti sekalian dijemput."

"Yeayyy." Maura senang kalau Filio yang mengantar jemput dirinya.

Kedua adik Filio turun dari mobil, lalu mereka masuk ke dalam gerbang sekolah.

Filio kembali mengendarai mobilnya, lalu tiba-tiba ia teringat Fiona, ia ingin mengetahui rumah Fiona tanpa sepengetahuannya. Filio melajukan kendaraan roda empatnya itu menuju ke jalan kenanga.

Fiona sedang menyapu rumahnya, ia harus selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya sebelum jam sebelas siang, karena nanti ia akan pergi bersama Nathan. Fiona ingin memperbaiki hubungan dengan sang kekasih, karena selama ini Nathan lah yang bisa membuatnya tersenyum. Nathanlah yang bisa menjadi tempatnya bercerita. Nathanlah yang selalu berusaha mengerti Fiona.


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C12
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login