"Ada apa ini?" tanya Karin terkejut. Ia melihat wajah Jefri dan Jeni yang tertuju padanya.
"Mamah!" ucap Jeni terkejut. Bukannya menjawab pertanyaan Karin, ia malah terperangah begitu saja dan tak melanjutkan niatnya untuk membubuhkan tanda tangannya.
Dengan sikap sopan dan ramah, Jefri kemudian bangkit dari tempat duduknya kemudian menyodorkan telapak tangan kanannya guna berjabat tangan dengan sang calon mertua.
"Selamat malam, Tante!" sapanya dengan ramah seraya mengukir senyuman.
"Malam!" jawab Karin singkat seraya memindahkan kantong plastik yang ia jinjing di bagian telapak tangan kanan, dipindahkan ke telapak tangan kiri karena tangan kanannya akan membalas jabatan tangan dari Jefri.
"Silahkan duduk kembali," titah Karin setelah mereka bersalaman. Semuanya kembali duduk dan mereka akan kembali memulai percakapan serius malam ini.
Rencana kali ini memang harus disaksikan Karin sebagai satu-satunya orang tua tunggal untuk Jeni saat ini setelah papahnya pergi entah kemana.
"Kalau Tante boleh tahu, ada apa ini?" tanta Karin dengan pandangan serius ke arah Jefri.
Tentu saja ini adalah sambutan yang paling ditunggu-tunggu bagi Jefri, ia tak akan menutupi rahasia penting ini.
"Saya adalah mantan suami Jeni yang baru saja dua bulan bercerai dan berniat akan kembali rujuk," ungkap Jefri tanpa basa-basi. Ia tak mau menunggu waktu lama lagi. Ia merasa kalau ibunya harus segera mengetahui rahasia ini
"Ibu sudah tahu kalau kamu memang pernah menikahi anak Tante. Sungguh Tante menyesal akan semua yang telah terjadi pada, Jeni. Bisa-bisanya kalian menikah tanpa sepengetahuan Tante. Apakah pernikahan kalian itu sah menurut agama?" balas Karin pada Jefri. Raut wajahnya tampak geram, namun ia masih bisa mengatur nada bicaranya sehingga masih terdengar rendah dan masih enak didengar.
Jeni terdiam dengan menundukan kepala. Ia merasa semakin takut. Hanya bisa berlindung di samping Karin dan memasrahkan masalah ini pada mamahnya. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu nyatanya memang belum siap dengan masalah sebesar ini. Usianya masih dini untuk sebuah pernikahan kontrak. Namun apalah daya, semuanya telah terjadi dan ia pun sangat menyesali pilihannya yang salah.
Mendengar jawaban calon mertuanya, Jefri pun turut terkejut. Ia tidak menyangka kalau selama ini mamahnya Jeni ternyata memang sudah mengetahui kisahnya. Ia melihat ke arah Jeni terlebih dahulu, kemudian kembali pada Karin dan melanjutkan pembicaraan serius ini.
"Pernikahan kami tentu saja sah, Tante. Papah Jeni sendiri yang menikahkan kami." Jefri menjelaskan dengan singkat namun membuat Karin penasaran.
"Apa! Papah Jeni!" Karin terkejut. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kepada Jeni yang sedari tadi hanya bisa tertunduk.
"Apa benar itu, Jeni?" tanya Karin serius pada Jeni.
Jeni tak bisa mengelak. Saat itu memang papahnya yang telah menyetujui pernikahan kontrak antara Jeni dan Jefri karena papah Jeni menginginkan tender dari perusahaan Jefri. Ia kemudian mengangguk sebagai tanda mengiyakan pertanyaan mamahnya.
Karin kembali terkejut dengan bola mata melebar sempurna serta mulut terbuka lebar. Telapak tangannya memegang dada yang terasa sesak pada bagian paru-parunya. Kenyataan pahit ini semakin menambah kehancuran di dalam perasaannya. Baru saja ia ketahui bahwa lelaki yang kini telah menjadi mantan suaminya itu bukan hanya menghancurkan hidupnya, dia pun telah menghancurkan hidup Jeni. Lelaki sialan itu hanya mementingkan dirinya sendiri, hanya mementingkan urusan kantor dan istri barunya tanpa perduli dengan Karin dan Jeni yang sudah menderita karena ulahnya.
Sepasang manik itu tampak meluruhkan bulir beningnya. Karin sudah tidak tahan membendung kesedihannya.
"Lalu, kenapa harus menikah kontrak? Mengapa tidak menikah yang sebenarnya. Pernikahan itu sakral, mengapa kalian seolah menganggapnya sebagai mainan," lirih Karin tampak menyesali ssmua yang telah terjadi. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan untuk menutupi kesedihannya. Karin sadar bahwa dia benar-benar sudah gagal menjadi Ibu yang baik untuk Jeni. Harapannya pun hancur saat kenyataan pahit itu berhasil mematahkan impiannya.
"saat itu Jeni berkata belum siap menikah dan saya pun masih memiliki istri. Kita menikah kontrak selama lima bulan, lalu Jeni meneruskan kuliahnya. Satu hal yang membuat saya kecewa pada Jeni, dia malah berniat menikah dengan Wili. Mana janjinya yang akan menjadi sarjana? Dia meninggalkan saya hanya untuk pendidikannya, tapi juga berkhianat dengan tujuannya sendiri," tegas Jefri. Ia tak mau lagi memperpanjang permbicaraan yang tentu akan memakan waktu yang banyak.
"Saya meminta Jeni untuk rujuk kembali dengan saya," sambungnya dengan jelas.
"Tapi kamu sudah beristri. Jeni tak mau dijadikan istri keduamu karena tante tidak menginginkan itu," tukas Karin dengan wajah sedunya. Ia sadar kalau lelaki yang berada di hadapannya itu adalah seorang CEO kaya raya sehingga ia tak bisa marah atau pun membentak karena tahtanya terlalu tinggi dibandingkan dirinya yang kini tak memiliki apa-apa sepeninggal mantan suaminya.
"Beri saya waktu lima bulan lagi untuk menceraikan istri saya. Saya akan kembali rujuk dengan Jeni. Apa bila dalam waktu lima bulan saya belum bercerai dengan Selin istri saya, maka Jeni berhak pergi dari kehidupan saya tanpa bisa saya usik kembali. Tapi, apa bila dalam waktu lima bulan saya sudah bercerai dengan Selin, maka kita akan mengukuhkan pernikahan kita untuk selamanya." Jefri tampak tegas dan serius dengan ucapannya.
"Apa! Tega sekali kamu ingin membuang istrimu! Tante sudah merasakan rasanya dibuang oleh suami, tante tidak akan membiarkan Jeni merebut kebahagiaan orang lain. Tolong jangan egois!" Karin tampak menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan lelaki yang nota bene adalah kakaknya Wili.
"Saya tidak pernah mencintai istri saya, Tante. Kami dijodohkan, dan sampai detik ini pun saya masih belum mencintai, Selin. Lalu, apakah saya salah jika saya benar-benar mencintai anak Tante dan ingin memilikinya?" Jefri tampak keyakinkan Karin dengan ucapannya.
Karin mematung dalam beberapa detik, kepalanya semakin pusing dan berat. "Tapi, kamu akan menyakiti dua orang sekaligus, Jefri. Selin dan Wili tentu akan terluka karena ulah kamu," kesal Karin.
"Mereka tak akan tahu jika Jeni mau menandatangani surat itu," tegas Jefri seraya mengarahkan jemari tangannya pada selembar kertas di atas meja.
"Surat apa ini?" Karin mengambil selembar surat itu kemudian membacanya.
"Itu adalah surat perjanjian pernikahan yang telah saya jelaskan maksudnya tadi pada, Tante. Saya ingin rujuk. Beri saya waktu lima bulan lagi dan masalah ini akan selesai setelah lima bulan," pinta Jefri.
Karin kembali dibuat terkejut. Jantungnya benar-benar dibuat tegang untuk malam ini. Saru sisi, janin Jeni memang membutuhkan tanggung jawab ayahnya. Tapi, di sisi lain Karin tampak tidak terima jika Jeni harus kembali melakulan kesalahannya itu.
Setelah terdiam dalam beberapa menit, Karin harus memutuskan.
"Oke, kalian boleh kembali rujuk dan menyelesaikan masalah ini dalam kurun waktu lima bulan lamanya." Karin mulai bingung dan masuk ke dalam perangkap Jefri.
"Tapi dengan satu syarat!" sambungnya dengan tegas.