"Kamu kenapa, Jen?" tanya Wili saat mereka telah berada di perjalanan menuju rumah jeni. "Kita ke Dokter saja ya, Jen. Kamu semakin terlihat pucat dan lemas. Takut kenapa-kenapa nanti," imbuhnya penuh rasa khawatir.
Jeni hanya terdiam. Sesekali ia mengusap bulir bening yang terlanjur tumpah di pipi. Melirik Wili dengan kecemasan. 'Apa mungkin kau masih mencintaiku setelah mengetahui kisah kelamku,' gerutunya dalam hati.
"Jen! Aku mohon katakan sesuatu. Jawab pertanyaanku. Kita ke dokter saja ya!" ajak Wili berselimut cemas.
Jeni menggelengkan kepala. Ia tidak butuh obat dari dokter manapun. Ia hanya butuh ketenangan hati setelah mengetahui kenyataan yang sangat menyakitkan ini. Sesekali ia memijat pelipisnya yang terasa berat. Sungguh ini di luar dugaan. Bagaimana mungkin ia akan menikah dengan adik mantan suaminya. Sementara Jefri tak akan tinggal diam jika mengetahui semua ini.
"Wil. Aku mau pulang saja. Kepalaku pusing, sepertinya gara-gara kurang tidur." Jeni beralasan. Wanita berwajah oriental itu terlihat tak bergairah.
Wili menatap Jeni penuh kecemasan. "Yakin tidak ke dokter dulu?" tanyanya.
Jeni mengangguk. "Pulang," ucapnya lemas.
Wili menatap sedu. Ia tak bisa menerka apa yang tengah dirasakan kekasihnya itu. Gegas ia menginjak pedal gas mobilnya menuju kediaman Jeni. Rencana memperkenalkan Jeni pada Ibunya memang gagal, karena mereka tak sempat berbincang-bincang. Tapi Wili tak merasa sedih dengan itu. Ia justru sedih manakala kekasihnya tiba-tiba saja layu laksana bunga di tengah gurun pasir.
Sesampainya di kediaman Jeni. Wili memapah kekasihnya itu kemudian membawanya masuk ke dalam kamarnya. Jeni membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Jen! Ada yang kamu sembunyikan dariku dan aku bisa merasakannya," ucap Wili sambil duduk di samping Jeni. Menatap kekasihnya penuh selidik.
Jeni terus memijat pelipisnya yang semakin terasa berat. Ia bangun dan duduk bersandar pada dinding kasur. Sekali lagi bulir bening menetes kembali di pipi.
Wili semakin penasaran. Pikirannya berkecamuk terus bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi pada Jeni. Ia kemudian mengangkat sebelah tangannya dan mengusap lembut pipi kekasihnya yang sudah basah oleh air mata.
"Jika hari ini kamu belum siap menceritakan masalahmu, Aku akan menunggu. Katakan padaku jika kamu sudah siap."
Lelaki yang penuh perhatian itu meraih tubuh Jeni dan memeluknya begitu erat guna menenangkan perasaan Jeni yang tengah gundah. Ia bahkan tak akan bisa memaafkan dirinya apabila tangisan Jeni yang keluar itu disebabkan olehnya. Karena, 3 tahun bukan waktu yang singkat dalam penantiannya menunggu cinta Jeni.
Jeni adalah satu-satunya wanita yang sangat Wili cintai setelah Mamahnya.
"Apa-apaan, Jen?"
Suara Bu Karin membuat Wili yang tengah memeluk Jeni terperanjat dan sontak melepaskan pelukannya.
Sepasang manik Bu Karin terlihat sinis menatap keduanya. Mungkin karena ia merasa tak nyaman melihat anaknya berpelukan di dalam kamar.
"Sepertinya Jeni sedang sakit, Tante. Makanya saya papah dia ke kamar untuk beristirahat." Wili tersipu malu.
"Ya sudah. Jika sudah selesai ada yang ingin Mamah bicarakan sama kamu, Jen!" ucap Bu Karin penuh ketegasan. Tatapannya kali ini menunjukan ketidak sukaannya terhadap Wili. Ia membalikkan badan dan pergi dari kamar Jeni, meninggalkan mereka berdua yang saling bertatap cemas.
Wili memijat pelipis. "Mamah kamu kenapa ya, Jen?" tanyanya pada Jeni.
"Aku juga tidak tahu, Wil!" jawab Jeni yang juga kebingungan. Ini kali pertama Jeni melihat tatapan Ibunya teramat sinis padanya. Padahal, tadi pagi semua terlihat baik-baik saja.
Wili kembali meraih kedua tangan Jeni dan menggenggamnya erat. "Ya sudah, aku pulang dulu ya. Jangan lupa minum vitamin dan jaga selalu kesehatan," ucapnya seraya mengecup pucuk rambut Jeni.
Jeni tersenyum sedu, ingin rasanya ia berbahagia atas cinta Wili kepadanya. Baru saja ia mengubur dalam-dalam kisah kelam itu dan hendak meraih kebahagiaan. Namun, seketika angan-angannya melayang dan tertiup angin. Kembali ia memijat pelipis yang semakin terasa berat. Apa yang harus ia katakan pada Wili? Pembelaan apa yang mampu menyelamatkannya dari masalah ini? Masa depan seakan terlihat semakin gelap.
"Jen! Mamah mau bicara serius sama kamu!"
Suara Bu Karin seketika menyadarkan Jeni dari lamunannya. Bu Karin memasuki kamar Wanita berlesung pipit itu kemudian duduk di sampingnya.
"Iya, Mah. Bicara saja," jawabnya pelan. Kemudian ia menurunkan tatapannya guna menyembunyikan kesedihan.
"Sejauh apa kedekatanmu dengan Wili?" tanya Bu Karin dengan tatapan nanar penuh selidik.
Jeni mengernyitkan dahi. "Kalau dekat memang sudah lama, Mah. Sekitar 3 tahun. Tapi kalau menjalin kekasih baru juga beberapa bulan, Mah. Memangnya kenapa?" jawab Jeni bergelimang tanya.
"Kenapa kamu tega membohongi, Mamah!"
Jeni menaikan sebelah alisnya. "Membohongi apa, Mah?"
"Kamu sudah melakukan hubungan intim dengan Wili? Mamah kecewa sama kamu, Jen. Kamu tega sama, Mamah! Kenapa kamu harus merelakan harga diri kamu, Jen?"
Jeni dicerca berbagai pertanyaan yang membuatnya tersentak.
"Maksud, Mamah? Aku tidak mengerti, Mah. Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang Mamah tuduhkan!" sanggah Jeni membela diri. Ia memang sudah menjual harga dirinya tapi bukanlah kepada Wili.
Bu Karin tersenyum sinis. "Tolong kamu jujur sama Mamah, Jen!" ucapnya penuh penegasan.
Jeni menggelengkan kepala semakin tak mengerti dengan ucapan mamahnya. Sepasang manik terlihat membulat. Bibir Jeni pun ikut bergetar.
Kenyataan mengenai Mas Jefri saja belum tuntas, kini Bu Karin seakan menambah beban di kepala Jeni.
"Aku tidak mengerti dengan ucapan, Mamah."
Bu Karin beranjak dari kasur kemudian keluar kamar hendak mengambil sesuatu. Ia kembali dengan menyodorkan selembar obat berisi 28 kaplet.
"Sejak kapan kamu meminum obat ini?"
Jelas terlihat jika obat yang di sodorkan Bu Karin adalah Pil KB untuk wanita yang hendak menunda kehamilan.
Jeni terperanjat dan tersentak melihat obat yang bulan lalu biasa ia konsumsi sehari-hari. Bukankah ia telah membuang obat-obatan itu di tempat yang sangat jauh? Lantas kenapa hari ini obat ibu berada di dalam genggaman tangan mamahnya?
Ia menggelengkan kepala seakan tak bisa percaya akan keteledorannya. "Itu bukan milikku, Mah!" sanggahnya dengan mata membulat.
"Lalu ini milik siapa?"
"Aku tidak tahu, Mah!"
"Kamu pikir ada orang lain yang masuk ke kamarmu hari ini? Tidak ada orang lain di kamar ini selain kamu, Jen!" Nada bicara Bu Karin naik satu oktav.
Nafas Jeni terasa sesak. Apa yang harus ia katakan pada mamahnya. Kejujuran? Rasanya tak akan mungkin menyelesaikan masalah. Jeni kembali menurunkan tatapannya, menghindari tatapan Bu Karin yang penuh interogasi. Ia mengangkat kedua alisnya. Mengatur nafas, mencerna kata-kata.
"Mamah menemukan obat penunda kehamilan ini tepat di bawa lemarimu! Dan Mamah yakin pemiliknya adalah, Kamu!"
"Apa yang sudah terjadi sama kamu, Jen!" Bulir bening yang sedari tadi telah menganak sungai seketika luruh dan membasahi pipi wanita paruh baya itu. Perasaannya hancur tak mampu menerima kenyataan.