Baixar aplicativo
90.9% SAFARAZ / Chapter 10: Chapter 10

Capítulo 10: Chapter 10

POV Author

Bagi banyak orang, hujan yang turun mengguyur bumi adalah suatu anugerah, karena dengan air hujan itu tamanan bisa tumbuh subur, petani sangat menyukai hujan, karena dengan begitu sawah mereka tidak akan kekeringan, masyarakat pedalaman juga sangat menyukai hujan, karena airnya bisa mereka tampung untuk keperluan sehari hari tanpa harus mengambil jauh ke sumbernya.

Tapi bagi Safaraz, hujan hanya mengingatkannya pada banyak peristiwa pahit yang dia alami dalam hidupnya. Ayah dan ibunya meninggal saat kecelakaan di bawah guyuran hujan. Dirinya harus terpisah dari kampung halamannya dan pindah ke panti asuhan di Jakarta saat hujan, dia harus berpisah dengan tunangannyapun pada saat turun hujan dan, saat dirinya di caci maki Daniel kemarin juga saat hujan.

Baginya hujan hanya membawa kenangan pahit yang sulit dilupakan, Safaraz selalu berusaha menenangkan diri setiap kali hujan turun. Karena kelibatan memorinya tentang kepahitan selalu terurai saat air surga itu turun ke bumi.

Seperti sore ini, dirinya terlihat gelisah saat hujan tiba-tiba turun mengguyur mereka yang sedang menikmati makanan di cafe. Walaupun bagian atas rooftop nya menggunakan penutup seperti payung raksasa, tetap saja hujan mengenai mereka walaupun hanya sedikit. Yuda yang menyadari ada hal aneh pada diri Safaraz bertindak siaga, berulang kali dirinya menanyakan keadaan Safaraz yang seperti orang kebingungan.

"Dokter Safaraz? Anda baik-baik saja?" tanya Yuda yang melihat Safaraz mulai terlihat gelisah.

"Dokter? Hey? You okay?" Yuda bertanya lagi, namun tetap tidak digubris Safaraz.

"Papa, Pak Dokter kenapa?" Ameera bertanya kepada ayahnya.

"Papa juga enggak tau, Sayang."

"Safaraz! Hey! Kita ke mobil sekarang, ya? Hujannya makin deras," kata Yuda lagi seraya mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan meletaknnya di atas meja.

Kemudian membimbing Safaraz untuk berdiri dan menuntunnya untuk meninggalkan café. Pemandangan yang dilihat membuat hati Daniel sedikit panas, setelah kemarin dirinya melihat Safaraz berpelukan dengan mantan tunangannya di rumah sakit, hari ini dia melihat lagi istrinya dirangkul pria lain.

Dalam hati dia beranggapan jika ternyata benar dugaannya selama ini, Safaraz sudah terbiasa menyerahkan dirinya kepada pria hidung belang seperti ayahnya. Safaraz dibawa masuk ke dalam mobil milik Yuda, setelah memberikan sapu tangannya untuk mengeringkan tubuh Safaraz dan anaknya yang sedikit kebasahan, Yuda segera menjalankan mobilnya untuk keluar dari parkiran.

Di perjalanan Safaraz masih diam membisu, dirinya menyesali mengapa sampai tidak bisa mengontrol emosinya tentang hujan, bahkan dihadapan orang yang belum dikenalnya dengan baik.

"Maafkan saya sudah membuat anda panik, Pak Yuda," ucap Safaraz akhirnya, membuat Yuda bisa bernafas lega.

"Tidak masalah, tapi Pak Dokter baik-baik saja, kan? Apa perlu kita ke rumah sakit?"

"Ah, tidak perlu, Pak, saya baik-baik saja. Saya hanya punya sedikit trauma terhadap hujan." ucap Safaraz di sertai senyum miris.

"Apa Pak Dokter sudah berusaha mengatasinya?

"Sudah, cuma memang belum serius, kesibukan membuat saya sering mangkir dari jadwal terapi, yah, jadi gini deh hasilnya, maaf ya, Ameera, Pak Dokter minta maaf ya, Sayang!" ucapnya lagi, kali ini seraya menoleh ke kursi belakang dan menjulurkan tangan kanannya untuk mengusap lembut pipi cubby Ameera.

"lya, Pak Dokter, tadi Ameera cuma takut dokter kenapa-napa, habis Pak Dokter diam aja pas papa panggil."

"lya, Sayang, nanti dokter terapi lagi deh, biar enggak takut sama hujan lagi, he he he."

Walaupun terlihat sudah biasa saja, namun Yuda melihat senyuman dan cara pandang Safaraz masih terlihat dipaksakan, dirinya merasa jika masalah yang Safaraz hadapi cukup berat, sehingga membuatnya mengalami traumatis teradap hujan, yang bahkan banyak orang sukai, terutama anak-anak.

"Jadi Pak Dokter mau saya antar ke mana, nih? Pulang atau ke rumah sakit?" pertanyaan Yuda membuatnya tersadar, selama ini dia tidak pernah membiarkan orang lain mengantarkannya pulang ke rumah, karena hal tersebut akan membuat rahasianya sebagai istri seorang Daniel terbongkar.

"Sa-saya. . . tolong antarkan saya ke jalan surya kencana saja, Pak, saya ada keperluan di rumah teman saya," ucap Safaraz akhirnya, ya menurutnya rumah Tiara adalah tujuan yang paling aman.

"Baiklah," sahut Yuda menyanggupi, dirinya merasa ada yang disembunyikan oleh Safaraz, namun tidak etis rasanya jika dia bertanya lebih jauh.

@@@@@@@@@@@@

POV Author

Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, namun sampai detik ini Safaraz belum juga sampai di rumah, hal tersebut tentu membuat Daniel murka, terlebih, tadi sore dia melihat jika suaminya itu pergi dengan pria lain dan seorang anak kecil.

Daniel masih menunggu dengan perasaan marah, pasalnya sudah hampir dua puluh menit dia duduk di kursi teras untuk menunggu kepulangan Safaraz. Dirinya pun tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja timbul perasaan ini kepada suaminya, karena selama ini, dirinya tidak pernah mau ambil pusing mengenai ke mana Safaraz pergi dan pulang ke rumah.

Suara mesin mobil berhenti di depan rumahnya membuat Daniel bangkit dari kursi, kemudian segera berjalan ke arah pagar, tidak sabar rasanya dia menunggu Safaraz turun dari taksi biru yang tumpanginya.

"Dari mana kamu??" marah Daniel, seraya menarik tangan Safaraz untuk masuk ke dalam rumah.

Safaraz yang mendapat serangan tiba-tiba membuatnya terkejut setengah mati, ingin berontakpun percuma, tenaga Daniel jauh lebih besar darinya, sehingga membuatnya pasrah menerima perlakuan tidak mengenakan dari suaminya.

Daniel terus menyeret tangan Safaraz hingga masuk ke dalam rumah, kemudian melemparkan tubuh suaminya ke atas sofa di ruang tamu. Dirinya memandang Safaraz dengan pandangan marah, nafasnya memburu karena sudah tidak sabar untuk memuntahkan kemarahannya.

"Kamu kenapa sih, Mas? Sakit Iho ini." Ucap Safaraz, meringis seraya mengusap-usap pergelangan tangannya yang sakit akrena cengkraman kuat Daniel.

"Dari mana, kamu? Jam berapa sekarang? Habis tidur kamu sama bapaknya anak kecil tadi, hah? Segitu murahnya tubuh kamu, iya?" sembur Daniel membuat Safaraz menganga karena tuduhannya.

"Apa kamu bilang, Mas?" Safaraz bangkit dari duduknya, kini mereka berdiri berhadap- hadapan.

"Kamu habis tidur sama pria tadikan? Murahan!"

Plakk!

Sebuah tamparan Safaraz layangkan ke rahang tegas milik Daniel, tuduhan suaminya kali benar benar membuatnya murka sekaligus sakit hati. Selama ini dirinya diam karena enggan meladeni suaminya, namun sekmain hari tuduhan Daniel semakin menjadi-jadi.

"Cukup kamu bilang aku laki-laki murahan ya, Mas, aku enggak sehina yang kamu bayangkan, kalau kamu mengira saya ada affair sama bapak, kamu salah besar, Mas. Bapak itu orang paling baik yang pernah saya temuin, dia begitu sopan dan enggak pernah sekalipun melecehkan saya. Justru saya nggak pernah menyangka, orang sebaik dan se sopan bapak bisa punya anak sepicik kamu, Mas!" ujar Safaraz memuntahkan kemarahannya.

"Mungkin dia baik bagimu, tapi tidak bagi kami, keluarganya, dia seorang laki-laki tidak bertanggung jawab!" tandas Daniel seraya pergi meninggalkan Safaraz sendiri di ruang tamu.

Daniel pergi meninggalkan Safaraz menuju kamarnya, di sana dia membanting semua barang yang ada di atas meja kerjanya, semua dokumen dan foto-foto jatuh berserakan.

Hatinya panas, bukan karena ditampar oleh Safaraz, tapi karena dia melihat Safaraz berkata jika almarhum bapaknya adalah ayah terbaik yang pernah dia temui, selain ia mengucapnya dengan mata berbinar dan senyum mengembang, menandakan dia sedang tidak mengarang, dan itu membuat hatinya sakit.

Bagaimana bisa, bapak yang selama ini terlihat cuek di matanya, namun bisa terlihat begitu sempurna di mata anak lain, dia tidak bisa menerimanya. Ini kedua kalinya dia menangis setelah peritiwa di mana ayahnya tidak datang di perlombaan renang dirinya kala itu.

"Bapak ke mana, Bu? Lombanya sudah mau dimulai." tanya Daniel gelisah, karena bapaknya belum terlihat di arena kolam renang.

"Ibu juga enggak tau, Dan, ponsel bapak enggak bisa dihubungi, tadi sih bilang masih di jalan, Perlombaan renang tingkat sekolah dasar se Jakarta segera dimulai, namun William belum terlihat. Daniel yang di pilih mewakili sekolahnya terlihat gelisah di pinggir kolam.

"Semua siap? satu. dua. tigaaaa."

Priitt!

Pluit tanda dimulainya pertandingan telah ditiup. Semua peserta melompat ke dalam kolam renang. Daniel berenang dengan penuh semangat. Dia berharap bisa memenangkan pertandingan dan membuat bapak serta ibunya bangga.

Namun sayang, hingga pertandingan selesai, orang yang Daniel tunggu tidak juga datang. Membuatnya harus menelan pil pahit di hari kemenangan nya.

"Daniel benci sama bapak, kenapa bapak ingkar janji, Bu? Bapak bilang mau datang ke pertandingan Daniel, tapi sampai sekarang bapak enggak datang juga, hu hu hu." tangisan Daniel menggema di seluruh penjuru rumah.

Bersambung


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C10
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login