Baixar aplicativo
84.61% UnReach / Chapter 22: 22. Si Rumit

Capítulo 22: 22. Si Rumit

Paman Rhon sudah meninggalkan rumahku setelah memastikan aku tertidur. Sejujurnya aku tak enak hati mengatakan kalimat itu padanya. Tapi, rasanya hati ini juga tak terima jika ia membicarakan Michaelku begitu.

Meski sebenarnya tindikan di telinganya benar-benar menggangguku. Bukankah malaikat tak memakai anting?

***

"Mariieeee! Kau tak memberitahuku jika kau dirawat di rumah sakit?!" Tobias langsung merengek sembari memastikan aku baik-baik saja dari atas hingga bawah.

Yang benar saja, aku bahkan belum memasuki area sekolah. Tapi Tobias yang tak sengaja bertemu denganku saat baru saja turun dari mobil mewahnya, langsung menangkapku dengan tangan besar dan rengekan khasnya.

"Maafkan aku, aku bahkan tak bisa menemukan ponselku selama di rumah sakit. Kau tahu darimana bahwa aku di rawat?" Aku meraih kepalanya yang tadi sedang memastikan keadaan kakiku. Aku tidak berbohong, ponselku ternyata memang tertinggal di rumah selama aku dirawat.

"Ah itu.. dari si penyihir. Tapi dia mengancamku jika aku berani menjengukmu. Maafkan aku Maria, aku ingin sekali menemuimu di rumah sakit." Tobias benar-benar tak tertolong kalau soal merengek. Aku bahkan tak tega melihatnya. Di saat seperti, Tobias terlihat lebih mirip seperti anakku dibanding sahabatku.

'Raksasa ini anakku?' aku terkekeh karena pikiranku sendiri.

Aku menyeretnya masuk ke dalam gedung sekolah, tak ingin terlambat masuk kelas pertama hari ini hanya karena Tobias yang merengek-rengek tak jelas belasan menit di depan gerbang sekolah.

.

.

.

Stefani mendatangiku lagi saat makan siang di kantin, tersenyum-senyum sambil menanyakan kabarku. Aku yakin ular Derik cantik satu ini punya niatan lain selain menanyakan kabar. Dan benar saja, saat Tobias pergi sebentar untuk menambah mayonaise pada burgernya. Stefani menjalankan peran liciknya.

"Aku kagum, kalian berdua bisa seakrab ini lagi setelah sekian hari tak saling ngobrol." Ia menyeruput air lemonnya sambil tersenyum.

"Kami bersahabat sejak kecil, stef. Sudah jutaan kali kami bertengkar lalu kembali berbaikan. Itu karena kami sudah seperti saudara." Aku menatap lurus matanya, mata kecoklatan yang indah. Stefani memiliki wajah mungil yang cantik, dengan rambut gelombangnya yang lucu aku yakin dengan mudah baginya untuk menggaet seorang pria.

Jika saja dia tidak berbisa.

"Lantas, kau mau memberikan aku lampu hijau untuk bisa mendekati Tobias?" Ia bertanya dengan penuh maksud. Stefani menyukai Tobias, aku tahu itu.

Aku membiarkannya mendekati Tobias, bagaimana pun caranya. Awalnya aku pikir itu tak akan berimbas padaku, ternyata kecemburuannya yang tak beralasan malah mencoba menghancurkan persahabatanku dengan Tobias.

Apakah aku rela sahabatku di dekati wanita berbisa ini? Tentu saja tidak. Tapi, jika ternyata Tobias juga menyukainya aku tak akan keberatan.

"Dengar Stefani, kau tak membutuhkan izin atau lampu hijau atau apa pun itu dariku untuk mendekati Tobias. Aku sahabatnya, bukan ibunya." Aku melahap kentang tumbuk menu makan siangku kali ini, mengunyahnya dengan semangat tanpa menoleh sedikit pun pada Stefani.

Aku tak ingin banyak berinteraksi dengannya. Jika ternyata aku salah bicara dan dia tak menyukainya, yang aku takutkan dia akan mencari celah kelemahan ku untuk membuatku kesulitan di sekolah.

"Lalu bagaimana hubunganmu dengan pemuda pirang itu?" Stefani kembali membuatku tersentak. Aku hampir lupa bahwa ia adalah tetanggaku, meski aku tak tahu yang mana rumahnya.

"Kami berteman baik." Sebisa mungkin aku tak menunjukan keterkejutanku terhadap pertanyaannya.

"Sebaik itu kah?"

Oke, aku mulai gemas dengannya. Caranya menyelidikiku sangat tidak efesien. Menghambat waktu untuk menghabiskan makan siangku.

"Stef, aku tak mau bermusuhan denganmu. Kenapa kau selalu seakan mencari hal buruk dalam diriku?"

"Aku sudah bilang kan? Aku ingin akrab denganmu."

"Menyebarkan rumor tentangku, tapi kau berkata ingin akrab denganku?"

Yang benar saja!

Stefani menunduk mendengar pertanyaanku yang penuh emosi itu. Ada yang aneh dengannya.

"Kenapa tak menjawabku?" Aku harus memastikan apa yang ia inginkan, aku tak mau dia melakukan hal buruk lain untuk membuat moodku hancur saat di sekolah.

"Maria, sebenarnya aku memang ingin bisa akrab denganmu. Kau yang pintar dan terhormat, membuat semua orang segan untuk berteman denganmu termasuk aku. Rasanya ingin sekali tahu apakah kau tertarik membicarakan seorang pria, makanan favorit seperti apa yang kau sukai, apa saja yang kau lakukan pada akhir pekan." Stefani masih menunduk, menatapi buku-buku jarinya yang jenjang dan lentik.

"Lantas kenapa kau sebarkan rumor itu? Apa kau berpikir dengan membuat gosip buruk tentang seseorang, seseorang itu akan mau berteman denganmu? Tidak kan?"

"Itu karena aku cemburu.. aku ingin bisa bergabung dengan kalian berdua."

Tunggu.. Stefani benar-benar menyukai Tobias kan? Alasannya yang barusan ia ucapkan apakah bisa aku artikan bahwa sebenarnya dia hanya ingin menjadi teman kami? Bukan merebut Tobias dariku?

"Lalu soal Tobi?"

"Aku memang tertarik dengannya, tapi masih dalam tahap menyukainya karena dia keren. Aku pikir karena kalian selalu bersama aku bisa akrab dengan kalian sekaligus. Tapi, berkali-kali justru kau yang seakan menjauh dan tak ingin aku ada di antara kalian."

Astaga... Rumit sekali jalan pikiran si ular ini.

"Jadi karena aku menjauh dan kau berpikir bahwa aku tak suka kau ada di antara kami, makanya kau marah dan mencari kesalahanku? Kalau aku pikir, bukan hanya menyebarkan rumor yang sudah kau lakukan, surat iseng, buku catatanku yang menghilang, juga permen karet di bawah mejaku itu semua ulahmu kan?" Benar, semua keisengan Stefani selama ini bisa aku sabari dan maklumi, dia hanya gadis manja dari kalangan orang atas yang terkadang orang tuanya terlalu sibuk untuk mengajari tatakrama dan adab dalam berteman.

"Maafkan aku.." Stefani terlihat menyesal, entah apa yang membuatnya begitu menyesal sekarang padahal kemarin-kemarin dia tertawa geli melihatku merengut karena kejahilannya. Apakah karena aku dirawat, dia jadi berpikir aku sakit karena ulahnya?

Tanpa aku sadari senyum tersungging di bibirku. Aku inginnya tertawa di hadapan gadis ini, tapi itu mungkin akan membuatnya sakit hati.

"Dengar Stef, aku minta maaf karena aku memperlakukanmu dengan tidak baik. Aku pikir kau menyukai Tobias, bukankah itu yang kau katakan. Karena itu aku menjauh saat kau datang dan mendekati Tobi. Aku tak ingin menganggu acara pendekatan kalian. Hanya itu."

Stefani akhirnya berani menatapku. Dan astaga, mata coklatnya berlinang air mata.

"Maria maafkan aku.." ia terisak, tepat saat ia mengusap air matanya Tobias kembali.

"Lho? Kalian bertengkar?" Pertanyaan tepat sasaran. Eh, tidak.. kami sudah berbaikan sebenarnya. Aku tersenyum pada Tobias lalu menepuk-nepuk kepala Stefani.

"Kami sudah berbaikan, bukan kah kita berteman dengan baik sekarang, stef?" Aku menoleh pada Stefani yang masih mengusap matanya.

Ia tertegun sebentar lalu tersenyum manis, persis layaknya sebuah pelangi merekah setelah hujan.

Gadis ini rumit sekali.

***


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C22
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login