Baixar aplicativo
73.07% UnReach / Chapter 19: 19. Saling Bersambut

Capítulo 19: 19. Saling Bersambut

Sudah lewat dari seminggu aku tak mendengar kabar tentang Michael, pesan-pesan singkatnya tak lagi datang apalagi panggilan telepon darinya. Aku rasa dia benar-benar sakit hati denganku, lalu berpikir untuk tak lagi menemuimu bahkan memikirkan aku. Ada perasaan tak enak, begitu mengangguku. Rasanya tidur pun aku tak mau.

Sebentar lagi akan ada ujian midsemester. Aku harus fokus dengan sekolahku. Tak ada waktu untuk memikirkan Michael atau ibu dan ayahku yang sibuk itu. Sebuah pikiran buruk merasuk padaku tentang mereka yang bahkan tak memikirkan aku, lantas kenapa aku harus memikirkan mereka?

Aku bergelut dengan buku-buku pelajaran sekolah, mencatat, mengulang, mencatat, menghitung.. Aku memaksa otakku bekerja. meski hatiku benar-benar tak karuan.

.

.

.

Masih fokus dengan buku yang terbuka di hadapanku. Beberapa kali aku menebalkan kalimat dengan stabilo sebagai tanda bahwa itu adalah poin pentingnya. Menempelkan sticky note dan menuliskan ringkasannya.

Entah sudah berapa jam kira-kira aku membaca materi yang telah aku pelajari sebelumnya. Yang aku tahu, sekarang aku sangat percaya diri dan bisa mengatakan bahwa aku sudah sangat siap untuk ujian nanti. Sayangnya, setelah aku menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas, tiba-tiba kepalaku terasa begitu berdenyut.

Jangan dulu.. Jangan sakit!

Hanya tinggal memakai seragamku dan aku akan berangkat ke sekolah. Ya.. aku tak tidur semalaman, belajar untuk mengalihkan pikiranku yang melayang-layang entah kemana. Ini sudah pukul 7 pagi. Awalnya kupikir aku harus fokus belajar, tapi ternyata aku malah lupa waktu. Begitu sadar, matahari sudah bersinar di ufuk timur.

Aku sudah memakai seragam dengan lengkap, meraih tas ranselku lalu Membuka pintu kamar.. langkah kakiku berhenti, semua menjadi gelap perlahan-lahan, rasanya darah di kepalaku seakan disedot keluar. Kakiku lemas dan aku terjatuh. Kepalaku menghantam lantai lalu kesadaranku pun hilang.

***

Langit-langit kamarku yang putih bersih adalah pemandangan pertama yang aku lihat. Selimut kesayanganku yang hangat telah menyelubungi tubuhku sejak tadi. Kepalaku masih sedikit terasa pusing saat aku memutuskan untuk bangun dan mengedarkan pandangan.

Aku harus mencari tahu, pukul berapa sekarang, berapa lama aku pingsan dan siapa yang menggendongku dari pintu kamar menuju ranjang.

Baru saja, kakiku menyentuh lantai kamar, seseorang datang dari arah dapur. Dia Michael! Jantungku seketika bereaksi. Berdegup kencang tak tahu diri. Rasanya saat itu aku ingin kembali berpura-pura belum sadarkan diri, tapi dia sudah melihatku duduk menghadap pintu!

Michael membawa sebuah wadah berisi air dan lap yang tergantung di sisinya. Segera setelah melihatku sudah bangun, ia mendekat. Meletakkan wadah itu di atas nakas.

"Kau tak apa-apa, Maria?!" Tangannya meraih dahiku, mengukur suhu tubuhku dengan cara kuno. Bisa aku lihat wajah cemasnya. Perasaanku jadi semakin tak enak padanya.

"Aku tak apa-apa." Ya, aku tak apa-apa, 'kau sendiri tak apa?' aku ingin bertanya padanya, ia pasti terluka dengan ucapanku, tapi dia tetap datang kemari. kenapa?

"Tadi demammu tinggi sekali. Jadi aku kompres dan baru saja mengganti airnya." Katanya masih berjongkok di depanku yang terduduk di sisi ranjang.

"Bagaimana kau bisa ada disini?" Pertanyaanku terdengar dingin, terbukti dari rona wajah Michael yang sedikit mengusam. Ia tak melihatku, menatap terus ujung-ujung kukunya yang ia letakkan di atas masing-masing lututnya.

"Aku menunggumu di gerbang sekolah sejak pagi. Tapi kau tak muncul hingga bel sekolah berbunyi. Jadi aku mencoba mendatangi rumahmu. Tak ada jawaban saat aku membunyikan bel jadi aku pastikan masuk ke dalam. Maafkan aku karena telah lancang melakukannya." Ia belum juga menatap wajahku. Masih berpaling..

Tuhan, dia masih ingin menemuiku? Sebuah perasaan bahagia karena hal itu, merembes keluar melalui senyumku. Jahat sekali aku ini...

"Tidak Michael, terimakasih banyak." Aku meraih tangannya dengan kedua tanganku. Tangan Michael hangat, meski kasar tapi aku merasa nyaman. Degup jantungku yang menganggu perlahan tidak lagi aku hiraukan.

Bukankah aku merasa bisa mempercayai Michael? Apa yang ia katakan di balik pintu kamarku saat itu, Mungkin adalah hal tertulus yang pernah ia ucapkan.

"Kau tak membenciku, Maria?" Mata hijaunya yang indah mulai menatapku.

"Tidak." mana mungkin aku membencinya?!

"Aku menyukaimu." Suaranya berbisik..

"Aku tahu. Aku juga." Mata kami saling beradu. Aku bahkan bisa melihat pantulan wajahku di dalam matanya yang cemerlang.

Michael bangkit dan memelukku dengan erat. "Kau tahu Maria, seminggu .. selama seminggu hatiku tak karuan. Aku sangat takut kau benci padaku. Aku sangat takut kau merasa terganggu dengan adanya diriku. Aku takut kau tak mau lagi bertemu denganku."

"Aku hanya butuh waktu.." benar.. Aku juga merasakan hal yang sama. Seakan semua itu adalah sebuah benang kusut yang harus dilerai. Menyusuri setiap helai demi helai agar saling terlepas. Perasaanku kemarin serupa dengan benang itu. Banyak yang saling bertumpuk dan mengikat satu sama lain sehingga menjadi begitu rumit.

Aku kesepian, aku butuh Michael, aku menyukainya tapi ini pertama kalinya bagiku berinteraksi sedekat ini dengan seorang pria asing. Hatiku butuh proses mencerna semua itu, jiwaku butuh beradaptasi.

Seminggu sejujurnya tidak cukup. Buktinya saat ini aku masih belum bisa menata perasaanku dan gemuruh aneh di dadaku. Hanya saja, dekapan Michael saat ini membuat perasaan samar yang dulu sulit aku artikan menjadi lebih jelas sekarang..

Aku uring-uringan ketika dia tak ada, menjadikan belajar dan belajar sebagai pelampiasan. Ternyata.. itu adalah rindu. Dan pelukan Michael adalah penawarnya.

"Maafkan aku sebelumnya Michael, aku pasti telah menyakitimu." Bisikku, masih dalam pelukannya yang hangat dan menentramkan.

"Jangan pikirkan itu lagi. Mendengar bahwa kau tak membenciku dan perasaan sukaku yang ternyata bersambut lebih dari apa pun yang bisa membuatku bahagia saat ini," Ia melepaskan pelukannya, "aku berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang tidak kau inginkan dan tidak kau sukai."

Tatapannya lurus padaku. Begitu jernih tanpa kebohongan. Aku suka itu, suka sekali! Aku tersenyum padanya, perasaan senang ini begitu meletup-letup. Rasanya ingin sekali melompat-lompat di atas ranjangku saat ini. Tapi lagi-lagi harga diriku melarangnya.

"Michael, pukul berapa sekarang?" Aku baru menyadarinya setelah aku kembali melihat diriku yang masih berbalut seragam sekolah.

"Sudah pukul 2 siang, Maria. Aku pikir kau pingsan cukup lama. Suhu tubuhmu juga tinggi sekali." Michael kembali mengukur suhu tubuhku dengan punggung tangannya.

"Aku tidak tidur semalam. Mungkin karena kelelahan."

"Aku tadi meminjam dapurmu , Maria. Menyiapkan makanan hangat kalau-kalau kau terbangun nanti. Mau aku bawakan kemari?" Michael sudah menuju pintu saat ia menawarkan diri.

Aku segera turun dari ranjang dan mengikutinya, "aku mau makan di dapur bersamamu." Meraih tangan Michael dan menggandengnya sambil menuju dapur.

Rasa bahagia ini benar-benar membuatku lupa tentang sekolah.

***


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C19
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login