3 hari kemudian.
Riski kembali menuju tempat pak Arul, ia sebenarnya bingung menggunakan apa kesananya. Ia akhirnya memutuskan untuk mengajak Ardhi, teman sekelasnya. Sebenarnya Riski tak enak, tapi hanya ini satu-satunya cara. Nanti kalo ia sudah dibelikan motor oleh Joko, mungkin Riski akan ke sana sendirian agar tidak merepotkan siapapun.
"Sebenarnya lo mau ngajak gue kemana?" tanya Ardhi, kemarin saat Riski mengajak Ardhi ia tidak mengucapkan akan pergi kemana.
"Ke suatu tempat, pasti lo akan suka." jawab Riski santai, Ardhi menyukai tempat yang sejuk memang.
"Kemana sih?" tanya Ardhi penasaran.
"Gue mau beli sayur, jadi gue minta bantuan lo. Gak papa, kan?"
"Mau ke pasar?" tebak Ardhi. Lagian umumnya orang yang membeli sayur juga pasti akan ke pasar.
"Bukan. Kita ke petaninya langsung, gue mau harga yang murah. Gue mau buka usaha sayuran, jadi gue minta tolong sama lo jangan bilang ke siapa-siapa masalah hal ini. Gue nggak mau denger cemooh orang, hinaan mereka membuat hati gue kadang ingin menangis." jelas Riski.
Ardhi mengangguk paham. Ardhi hanyalah seorang yang tak pernah menghina Riski, ia malah mendukungnya, "Ohh, kenapa gak bilang dari kemarin. Tenang aja, lo bisa percaya sama gue."
"Makasih bro." Riski mengenakan helm milik Joko lagi, "Berangkat sekarang?" sambung Riski.
"Tempatnya jauh? Kok lo nyuruh gue pakai jaket kemarin."
"Dari sini sekitar 1 jam." jawab Riski cuek.
"Boleh deh, sekalian itung-itung refreshing sehabis ujian dan sebelum menghadapi kehidupan SMA."
Riski menaiki motor matic Ardhi. Dan Ardhi segera menjalankan motornya, kali ini mereka berdua berangkat pukul 6 pagi. Inginnya berangkat subuh seperti dengan Budi, tapi Riski tahu jika di jam segitu pasti Ardhi masih terlepat dalam tidurnya.
Diperjalanan Ardhi penasaran, "Bukannya Riski bekerja dengan seseorang? Kenapa dia mengambil sayurannya jauh-jauh?" batinnya.
Karena rasa penasarannya, mending ia bertanya langsung ke orangnya, "Ris, kenapa lo beli sayuran jauh-jauh? Katanya lo dulu tinggal jualin sayurnya aja?"
"Oh, masalah itu? Karena bu Widya akan keluar kota, Ar. Jadi, mau gak mau gue buka usaha sayur sendiri. Dia juga ngasih gerobak sayurnya ke gue." jelas Riski jujur.
"Baik banget ya bu Widya? Sampai udah bisa ngasih ke lo, dan percaya ke lo. Lo ketemu beliau dimana?"
"Di jalanan. Waktu itu gue emang lagi nyari kerjaan, dan gue melihat bu Widya dengan sepeda dan gerobaknya. Yaudah, gue bilang aja kalo ingin bantuin atau kerja di sana."
"Terus, dia gitu aja bilang bolehnya? Nggak ada tanya-tanya apa tuh namanya." tukas Riski.
Mereka sedari tadi di perjalanan menghabiskan waktu untuk mengobrol. Ardhi juga tidak mengebut, karena ia sadar belum memiliki SIM. Ia tidak ngebut juga berjaga-jaga jika ada tilangan.
"Nggak, beliau langsung bilang boleh. Jadi, gue bagian sepulang sekolahnya. Dan pas pagi nya bu Widya sendiri yang jualan." jawab Riski, dengan melihat kanan kiri agar tidak tersesat di jalan.
"Semoga urusan lo lancar semua ya. Kalo lo butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan ke gue. Kalo gue bisa, pasti akam gue bantuin."
"Makasih, Ar."
Setelah itu tidak ada obrolan lagi, mereka mengobrol ketika Ardhi menanyakan dimana jalan selanjutnya. Untung saja Riski mengingat dan mencatat nama jalannya.
Tak lama, mereka berdua sudah sampai di tempat yang di tuju. Ardhi memarkikan dan mematikan motornya.
"Tempatnya sebesar ini, ya? Kerennn, ternyaya petani sayuran di disini banyak banget. Pembelinya juga dari berbagai daerah." kata Ardhi, ia melihat plat nomor kendaraan yang berbagai macam.
"Lo suka kan, apa gue bilang. Sejuk banget di sini mah, kebanyakan emang lapangan pekerjaan ya sebagai petani." jelas Riski.
Riski berjalan dahulu, dan dibelakang Ardhi hanya mengikutinya.
"Halo, pak Arul." teriak Riski ketika mereka berdua saling bertatapan.
"Ini yang kemarin sama Budi, ya?" tanya Arul memastikan.
"Iya, mau beli sayuran pak. Masih ada, kan?"
"Masih-masih, masuk aja ke dalam. Pilih sendiri mau beli apa aja." Arul begitu ramah memang kepada pelanggan.
Ardhi yang mengikuti dari belakang pun juga ikut kaget ketika melihat ke dalam ruko milik Arul. Tempat yang besar, sayuran yang masih fresh.
"Sini, Ar." Riski memanggil Ardhi, karena Ardhi hanya kagum dengan sekitarnya. Ia pertama kalinya datang ke tempat seperti ini, datang ke pasar saja tidak pernah. Sungguh, 2 manusia yang berbeda latar belakang.
"Lo mau beli apa aja, Ris?" tanya Ardhi yang sudah masuk ke dalam ruko bersama Riski.
"Gue nggak mau ambil banyak. Karena kasihan lo nanti bawanya kesusahan, gue ambil seperluanya aja dulu mungkin. Sayuran yang sering di konsumsi aja." jawab Riski dengan memilih sayuran.
Riski mengambil beberapa sawi, sawi hijau, kubis, buncis, terong, tomat, cabai, kacang panjang, pare, kembang kol, brokoli.
"Udah ini aja, gue nggak mau ambil banyak karena ada alasannya juga." ucap Riski yang sudah memperhitungkan semuanya.
"Karena apa?" tanya Ardhi penasaran, lagian kalo murah kenapa nggak langsung ambil yang banyak? Kan bisa untung, kalo banyak pasti juga di bantu anterin pakai mobil pick up sama penjualnya.
"Karena, ini pertama kalinya buat gue. Sayuran juga gampang sekali busuk, Ar. Ada juga yang layu, apalagi pemebeli pasti ingin yang fresh bukan?"
Ardhi menganggukk paham, benar juga apa yang dikatakan oleh Riski. Ardhi ikut ke sini mendapatkan banyak pelajaran yang penting.
"Pak Arul!" teriak Riski.
Lalu Arul datang menghampiri, "Sudah?"
"Udah, ini aja dulu pak. Nggak berani ambil resiko dulu karena masih pemula juga." jelas Riski.
"Udah ada niat untuk berjualan atau usaha itu sebenarnya udah bagus. Langkahnya sudah tepat jika pemula itu harus belajar dulu, jangan terlalu ambil resiko. Seperti pepatah, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit." tukas Arul di selingi dengan tertawa.
"Semuanya berapa, pak?" tanya Riski.
Arul menghitungnya, ia bahkan tidak menggunakan timbangan atau kalkulator. Ia hanya mengira-ngira jumlahnya, "Semuanya 200 ribu aja deh, biar kamu bisa tambah semangat jualannya."
"Sungguh hanya 200 ribu sayuran semua ini? Muraaahh bangeetttt. Biasanya ketika menjual milik bu Widya, semua ini bisa mencapai 500 ribu." batin Riski kaget.
Riski lalu mengeluarkan uang di tasnya, "Ini pak, 200 ribu yaa. Nanti kalo udah habis, bakalan ke sini lagi. Terimakasih." kata Riski, setelah itu ia di bantu Ardhi untuk membawa ke motornya.
"Muat kan motornya?" tanya Arul cemas.
"Muat, ini motornya matic pak. Jadi sebagian bisa di taruh di depan." jawab Ardhi sopan.
"Makasih ya, Ar. Udah mau bantuin gue, gue juga nggak tau kalo lo nggak bantuin gue. Apalagi gue nggak ada kendaraan buat ke sini. Ntar kalo udah sampai rumah, lo gue traktir deh." untuk membayar rasa terimakasihnya, Riski ingin mentraktirnya makanan.
"Ah, nggak perlu. Uangnya buat usaha lo aja, Ris. Semangat ya." jawabnya.
Riski sebenarnya sudah memutuskan bagaimana cara kerja sistem usahanya. Ia menggunakan cara gang berbeda dari orang lain. Biasanya orang lain ketika berjualan selalu berkelilig dari desa ke desa, tempat ke tempat, atau bahkan kota ke kota.
Tapi, cara yang Riski gunakan ini cukup simple. Hanya saja Riski membutuhkan modal yang cukup banyak. Modal untuk membeli wadah kemasan yang bagus, sebuah handphone, dan motor.
Berbicara mengenai motor, ia sudah di belikan motor oleh Joko. Kepulangan dari membeli sayur bersama Ardhi, di rumah Joko sudah membelikannya motor. Meskipun bukan motor yang baru, Riski sudah sangat bahagia.
Setiap harinya Riski akan belajar sedikit demi sedikit, agar terbiasa mengendarai motor.
"Gue bantu apa lagi? Mumpung gue masih di sini." kata Ardhi setelah sampai di depan rumah Riski.
"Turunin aja dulu sayurnya, gue sebenarnya masih ingin minta bantuan sama lo, Ar."
Mereka berdua bergegas menurunkan seluruh sayuran, dan menaruhnya di teras rumah.
Ardhi mengkerutkan keningnya, "Bantuan apa?"
"Gue ingin membuat logo dan juga semacam kartu nama gitu buat usaha gue ini. Lo bisa bantu anterin gue ke warnet nggak? Setelah itu, gue akan kasih kartu nama itu ke pelanggan gue sewaktu kerja bersama bu Widya." jelas Riski, entah Ardhi memahami kata-katanya atau enggak.
Dan benar saja, Ardhi nampak kebingungna dengan apa yang Riski jelaskan, "Kenapa lo buat kartu nama? Bukannya lo jualan keliling?" tanyanya bingung.
Riski menghembuskan napasnya kasar, "Jadi, gue akan ubah cara jualannya. Gue nggak akan keliling lagi, mungkin keliling hanya beberapa kali."
"Cara yang akan lo terapkan seperti apa?" tanya Ardhi, bingung lagi. Kan pada dasarnya memang orang jualan akan berkeliling?
Tapi Ardhi melupakan satu hal, orang yang berjualan baju dan memiliki toko apakah juga akan berkeliling? Konsep seperti itulah yang akan Riski gunakan.
"Jadi, gue mau bikin usaha gue agar orang bisa pesan kapan aja. Nggak harus nunggu yang keliling baru bisa masak, kan orang yang berjualan sayur keliling di malam hari nggak ada. Nah, di metode gue ini nantinya orang hanya tinggal sms atau telfon ingin membeli sayur apa aja. Nah, setelah itu gue akan antar ke alamat orang itu. Lebih efektif bukan? Gue juga akan membungkus sayur seperti layaknya di supermarket dengan menempel logo usaha gue sendiri ini." jelas Riski panjang lebar.
Kali ini Ardhi mulai paham, "Jadi? Kalo misalnya lo nganter, ada biaya lagi nggak? Kan lo juga butuh buat ongkos bensinnya." tanya Ardhi.
"Lo juga akan samain harganya sama di supermarket?" sambung Ardhi.
"Gue udah perhitungkan masalah ongkos kirimnya, jadi selama masih di wilayah kota. Akan gratis ongkos kirim. Kalo masalah harga sayurnya, ya jelas gue akan samain yang ada di pasar. Kalo kayak di supermarket orang seperti gue masih mikir-mikir kalo mau beli. Udah gue hitung semuanya, ya meskipun untungnya dikit tapi kalo sayurnya habis juga lumayan hasilnya." jelas Riski lagi.
"Bagus banget sih ide jualan lo, jadi bisa ke seluruh kota ini mengetahui. Kalo lo keliling sampai seluruh wilayah kota ini, ya bakalan capek. Toh, keliling juga nggak semuanya beli. Bagus ide lo." puji Ardhi, ia benar-benar kagum pada temannya satu ini.
"Lo mau jualan juga sama gue? Usaha ini bareng lo aja gak papa. Lagian lo udah bantuin gue banyak, Ar. Dan udah tau rahasia dari usaha ini semuanya. Ntar kita bagi hasil." tawar Riski. Ia tak enak jika Ardhi sudah mengetahui semuanya tapi tak mengajaknya.
Ardhi mengangkat matanya ke atas untuk berpikir, "Gue bisa nggak ya. Kan gue juga masuk ke SMA, Ris. Lagian ini ide lo semua, gue cuman bantuin tenaga doang." ucap Ardhi, tak enak juga ia dengan temannya, Riski.
"Gini aja deh, kalo lo mau bantuin gue kedepannya gue akan bayar lo. Misalnya seperti ini tadi, tapi ya doain usaha gue lancar ya, Ar." jawab Riski memikirkan solusi bagaimana baiknya.
"Udah, gampang deh masalah itu. Jadi ke tempat warnet?" tanya Ardhi setelah tidak ada obrolan yang penting lagi.
"Jadi."
"Emang lo udah bikin seperti apa logo dan kartu namanya? Dan akan lo namain apa usaha ini?" tanya Ardhi kembali, karena menurut Ardhi nama yang di ingat pelanggan itu gampang-gampang susah. Jadi, masalah nama sangat penting sekali.
"Sudah dongg." jawab Riski, semalam Riski memang sudah menyiapkan nama beserta artinya. Yaitu PESAN, yang artinya Penjual Sayur Online. Ia memikirkan itu hanya dalam semalaman, dan langsung tertarik dengan itu.
"Apa tuh namanya?"
"PESAN." jawab Riski.
Ardhi bingung dan mengkerutkan dahinya, "Hah? Pesan apaan? Lo mau beli sesuatu lagi?"
"Bukan, namanya PESAN yang artinya adalah Penjual Sayur Online. Bagaimana, keren nggak? Kan sama aja kalo gue nganter sayurnya dinamakan online kan?" jawab dan tanya Riski ke Ardhi.
"Betul sih, kan melalui media sms. Ya, jadi sama aja kayak online dengan menggunakan handphone. Lagian di jaman ini udah banyak yang memiliki handphone, kok." jelas Ardhi.
"Gue belum punya."
"Eh maaf, Ris. Bukannya gue mengejek, tapi kan gue bilang kebanyakan sudah punya. Tapi, kalo lo mau menerapkan metode ini, bukannya lo harus memiliki handphone juga?"
"Iya sih." jawab Riski malu-malu.
"Kalo boleh tau, berapa penghasilan lo kerja sama bu Widya, Ris?" tanya Ardhi, apakah seorang penjual sayur memiliki gaji yang fantastis?
"Kalo usaha seperti ini tentu nggak sama hasilnya. Misalnya hari ini sayuran habis, besoknya enggak. Hari ini nggak lauk, besoknya habis. Jadi, lo gak bisa samain hasil usaha sama kerja kantoran, Ar. Kalo di kantor sebuah perusahaan itu akan memiliki gaji yang sama setiap bulannya. Mungkin kalo lembur bisa beda." tukas Riski, memang betul. Kita tidak hanya bisa mengandalkan sayur akan habis terus. Pasti akan ada moment di mana sayuran itu laku sedikit dan bahkan tidak laku sama sekali. Tapi, kita tidak boleh menyerah saat sayuran tidak laku.
"Oh iya benar juga lo."
"Semua orang memang tidak memiliki gaji, Ar. Tapi, semua orang memiliki rejekinya sendiri, dan tidak mungkin tertukar." Riski menceramahi Ardhi layaknya ia seorang guru agama. Padahal Riski hanya mengulangi perkataan dari ceramah saat di masjid.
"Sejak kapan lo juga bisa agama." ledek Ardhi dengan cengengesan.
Riski menoyor kepala Ardhi pelan, "Gue gini-gini juga tau lah masalah hal yang sepele. Gue bukan seperti orang kebanyakan, Ar. Lo tau sendiri gue kayak gimana di kelas. Banyak di hina dan di bully, padahal yang membedakan manusia kan bukan tentang wajahnya." keluh Riski jujur dan Ardhi mengetahuinya sendiri, melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Você também pode gostar
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi