Baixar aplicativo
1.45% Cintaku Nyangkut Di Kantin / Chapter 4: Hari Baru

Capítulo 4: Hari Baru

Pagi ini sangat cerah, awan menampilkan warnanya dengan indah, dan matahari juga sudah mulai bersinar terang.

Tentu saja Riski sudah bangun dari tidurnya, malahan dia sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah, dengan semangat yang membara. Karena hari ini juga bertepatan ia bekerja sepulang sekolah nanti. Apakah Riski akan memberitahu Ibunya jika ia akan bekerja? Ah, rasanya tidak. Ia tidak akan membuat Ibunya khawatir akan hal itu, apalagi usia Riski juga terbilang masih muda. Pasti Ibunya akan merasa khawatir dan melarangnya bekerja.

"Semoga akan ada hari Riski merasakan bahagia, semoga hari itu tidak lama datangnya. Riski yakin, setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan." batin Riski, ia sangat mempercayai pepatah itu.

"Buu, Riski mau berangkat sekarang yaa. Udah jam segini, takut telat." teriak Riski dari luar, karena saat ini ia sedang berada di halaman luar. Duduk di sebuah kursi selepas memasang sepatu dan kaos kakinya.

"Iyaa, hati-hati di jalan yaa." teriak Sastro dari dapur. Karena Sastro sendiri sedang sibuk memasak untuk mempersiapkan semuanya saat bekerja di warung nanti.

Sudah biasa bagi Riski ia jarang mendapatkan uang saku sekolah. Ia tak tega untuk meminta ke Ibunya, udah bekerja saja terkadang masih sering mengeluh masalah ekonomi. Riski hanya bisa terdiam ketika Ibunya sedang membicarakan masalah uang. Ia tidak bisa membantu sama sekali, tapi tidak untuk kali ini. Riski akan bekerja dengan semangat, pantang menyerah agar mendapatkan uang yang banyak. Bisa untuk uang saku dan juga memberikan ke Ibunya.

10 menit berjalan, Riski sampai di depan gerbang sekolah. Ia berjalan dengan gagah, layaknya seorang prajurit tentara yang akan berperang.

Pandangan Riski lagi-lagi teralihkan ke sebuah ruang kelas yang berada di dekat gerbang. Ia melihat seorang laki-laki berwajah sangat rupawan dengan gampangnya bisa bermain dengan wanita manapun. Sedangkan Riski? Ada wanita yang mendekatinya itu sudah bersyukur banget.

Langkah Riski mulai terlihat lesu lagi, wajahnya muram. Tapi, apa yang bisa di perbuat? Tidak ada.

Riski terus berjalan menuju ruang kelasnya dengan tatapan kosong. Ia tidak memikirkan apapun sekarang, kegelisahan hati membuatnya menghilangkan semangat membara yang di bawa dari rumah.

"Riski!" seseorang menepuk pundak sebelah kirinya.

Riski menoleh, ternyata ia adalah teman sekelasnya yang bernama Prasetyo, "Iya, ada apa?" tanya Riski.

"Gue ada info nih." ketus Prasetyo, lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya, "Nih, mainan terbaru gue. Bagus nggak?"

Riski terkagum melihat mainan kecil berbentuk mobil sport tersebut, "Wah, bagus banget." kagumnya karena itu merupakan mobil yang di inginkan Riski. Riski mengetahui mobil itu karena ia pernah memainkannya di dalam game.

"Bagus kan?" tanya Prasetyo memastikan kembali.

"Bagus bangettt, ini harganya berapa, Pras?" tanya Riski, ia akan menabung untuk membeli mainan itu.

"Mahal, gue di beliin Ayah. Katanya si lebih dari seratus ribuu. Yakin lu mau beli? Emangnya ada uang? Gue aja ini di beliin, kalo pake uang sendiri ya kaga punya."

Riski kembali termenung, wajahnya menunduk lagi.

"Kenapa dunia ini tidak adil, Tuhan? Kenapa di saat teman yang lain mempunyai segala kelebihan yang ada, tapi di sisi lain ada hambamu yang tidak ada yang untuk di banggakan? Kenapa semua ini terjadi? Kenapa Riski di lahirkan di keluarga ini?" ucap Riski dalam hatinya. Ia sangat-sangat terpukul akan hal itu.

Tak lama Riski sudah sampai pada kelasnya, tak lama juga bel pelajaran pertama juga berbunyi.

Kringgg...

Riski mengeluarkan buku matematika di dalam tasnya, karena jam pertama merupakan pelajaran matematika. Riski teringat pesan Ibunya kemarin, "Kalo bisa pintar, pasti bisa di kenal banyak orang ya." semangatnya muncul kembali setelah tadi di patahkan, padahal baru pagi hari namun ia telah di patahkan semangatnya sebanyak 2x.

Bu Robi masuk kedalam ruangan, dan memulai pelajaran matematika dengan perlahan. Ya, karena memang Bu Robi merupakan guru yang baik hati, mengajarkan semuanya dengan perlahan. Dengan tujuan agar semua siswa-siswi di sini bisa mengikuti apa yang ia sampaikan.

Setelah menyampaikan materi selama 1 jam pelajaran.

"Riski, apakah kamu sudah paham dengan materi ini?" tanya Bu Robi menatap Riski dengan wajah tersenyum.

"Sudah, buu." jawab Riski antusias sehingga menarik perhatian seluruh teman kelasnya.

"Kalian sudah paham semuanya?"

"Sudah, buu." jawab seisi kelas kompak.

Bohong kalo sudah paham semuanya, karena Riski memperhatikan temannya yang bernama Aurel sedang menggambar di mejanya. Ia tidak memperhatikan Bu Robi saat menjelaskan. Ah, tapi apa untungnya buat Riski juga memperhatikan orang yang seperti itu?

Aurel merupakan anak orang kaya raya, Ayahnya juga mempunyai saham di sekolah ini. Jadi, wajar saja ia bersikap seenaknya seperti itu. Dan kalo terjadi apa-apa pasti pihak sekolah akan membantunya sekalipun ia berbuat salah.

Naif, dunia emang penuh kebohongan yang besar. Gimana nggak kebohongan besar? Orang yang salah aja masih di bela dan yang benar akan di tindak lanjuti, sampai kapan akan terus seperti ini? Sampai kapan orang akan memiliki hak yang adil? Sampai kapan juga orang yang miskin bisa setara dengan yang kaya raya? Rasanya tidak mungkin.

Pasti kebanyakan nggak ada yang mau berteman dengan orang yang miskin, jelek, kotor, dan bau. Tapi, bukannya di hadapan Tuhan manusia itu sama? Yang membedakan kan cuma akhlak dan imannya?

Tak terasa sebentar lagi bel istirahat berbunyi, di jam istirahat Riski selalu menghabiskan waktunya untuk di perpustakaan. Karena dengan membaca Riski akan mengetahui apapun itu, meskipun ada di luar negeri.

Kringgg..

Bel istirahat berbunyi, Riski segera menaruh bukunya ke dalam tas.

"Baik, sekarang silahkan istirahat." kata Bu Robi dengan menutup jam pelajarannya. Karena sehabis istirahat akan di lanjutkan pelajaran Biologi.

Anak-anak yang lain mulai berhamburan masing-masing. Ada yang langsung keluar dan menuju kantin, ada juga yang tidur di kelas.

Tapi, Riski memilih berbeda dengan semua itu. Ia langsung berjalan menuju perpustakaan. Sampai guru yang menjaga perpustakaan hafal dengan kebiasaan Riski yang selalu menghabiskan jam istirahatnya di perpustakaan. Ia yang menemani Riski, tak ada murid lain yang datang ketika jam istirahat.

"Pagi, bu." tukas Riski dengan tersenyum ke guru penjaga perpustakaan.

"Udah ke sini aja. Padahal bel baru aja bunyi, nggak ke kantin dulu beli makanan? Soalnya Ibu perhatikan kamu selalu menghabiskan jam istirahatmu di sini, kenapa?" tanya Bu Rima itu heran.

"Nggak apa-apa, bu. Riski hanya ingin menambah ilmu dengan membaca, apalagi masih muda. Jadi, sayang kalo di buat untuk hal yang sia-sia." jawab Riski elegan, ia membuat Bu Rima menutup mulutnya.

"Pemikiran kamu hebat, semoga jadi anak yang sukses ya. Ibu doakan yang terbaik."

"Makasih, bu." jawab Riski malu-malu, karena untuk mencapai kesuksesan tentunya tidak mudah


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C4
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login