Aku bertepuk tangan saat Bagus mengalahkan salah satu jagoan dari sekolah lain yang datang untuk menantang.
Tentu saja Bagus bisa menghabisi mereka dengan mudah, mereka bukanlah tandingan Bagus.
"Jangan berani muncul di hadapan gue lagi sebelum kalian bener-bener bisa ngalahin gue!" Bagus menatap nyalang para berandalan itu.
Tanpa aba-aba lagi, mereka langsung berlari sejauh mungkin meninggalkan Bagus.
"Good job, brother!" Aku menepuk pelan pundak Bagus saat ia menghampiriku, dan duduk di sampingku.
"Bukan masalah besar!" sahut Bagus sambil menyeka keringatnya.
"Hari ini kita harus undur jadwal buat latihan menembak! Ada tugas baru dari bokap!"
Bagus langsung menoleh ke arahku setelah aku selesai berbicara.
"Tugas apa?"
"Menghukum seseorang!"
Bagus menyeringai, lalu kembali berdiri.
"Ayo!" serunya penuh semangat.
Aku tidak mengerti, mengapa dia begitu semangat. Kami akan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak SMA.
***
"Dia?" tanya Bagus tak percaya.
Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Bagus.
"Oke, bukan masalah besar, tapi apa masalahnya? Kenapa kita harus menghukum dia?" tanya Bagus yang tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari target kami.
"Menurut informasi dari Bang Sayuti, dia itu seorang intel, dulu dia kerja sama kita, tapi belakangan dia mulai rese dan terus memeras kita." jelasku singkat.
Bagus menghela napas berat, lalu mengangguk pelan.
Saat ini kami sedang berada di dalam mobil, mengamati target, dan mencari celah untuk membawanya pergi.
"Bokap lo ngasih kita tugas buat hukum seorang intel? Gila emang! Enggak takut apa dia kalo tuh intel bisa aja renggut nyawa lo?!" seru Bagus sambil menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Gue dipersiapkan buat gantiin posisi dia, tentu tugas seperti ini nggak ada artinya!" sahutku enggan.
"Wah!" hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Bagus.
Ya, aku tahu. Semangat untuk diriku sendiri.
"Oke, sekarang apa yang harus kita lakukan?" Bagus menatapku dengan tatapan penuh tanya.
"Menyelinap dan bawa dia ke tempat yang udah kita sepakati tadi!"
"Oke!"
Kami pun terus mengikuti target, dan menunggu ia lengah. Saat ia meninggalkan mobilnya dan masuk ke dalam sebuah gedung yang kutahu pasti adalah tempat perjudian itu, kami mengikutinya masuk.
Tentu saja seorang anak SMA tidak diperbolehkan masuk, beruntung ada anak buah Satria yang mengenali kami, hingga kami dengan leluasa masuk ke dalam.
Sial! Mataku ternodai.
Bukan hanya tempat perjudian, tempat ini juga dipenuhi para PSK dengan pakaian kurang bahan yang sedang merayu para pengunjung.
"Di pojok!" bisik Bagus.
Aku pun mengarahkan pandanganku ke arah pojok ruangan. Target kami sedang duduk bersama dua wanita jalang, dengan beberapa botol bir di sana.
Aku dan Bagus pun mengambil tempat duduk yang berada tak jauh dari target.
Seorang wanita dengan tanpa permisi duduk di antara kami.
"Kalian terlihat sangat muda! Bagaimana bisa masuk ke dalam sini?" tanyanya sambil mengusap-usap lembut pahaku.
Aku mengeluarkan dompet, dan memberikan beberapa lembar uang pada wanita itu.
"Tutup mulut dan pergilah!" bisikku pada wanita itu.
"Siap, Bos! Kalau butuh sesuatu, cari saja aku! Namaku Mawar!" Wanita itu mengerlingkan sebelah matanya ke arahku sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami.
"Dia mulai bergerak!" bisik Bagus.
Aku pun mengangguk pelan.
Target kami itu berjalan menuju toilet. Tak menunggu lama, kami pun mengikutinya.
Brak!
Pria itu langsung menghantam Bagus begitu kami masuk ke toilet.
Rupanya dia sudah sadar bahwa kami mengikutinya.
Pertarungan sengit pun terjadi antara sang intel dengan Bagus. Sementara itu, aku berdiri di dekat jendela dan memperhatikan mereka.
Seperti yang diharapkan, Bagus bisa menaklukan target kami itu. Meski sangat terlihat jelas bahwa ia cukup kuwalahan.
Dan sentuhan terakhir...
Aku membuat target kami itu pingsan dengan alat setrum pemberian Sayuti.
"Di luar rame, kita lewat jendela aja!" perintahku.
Bagus mengangguk pelan, lalu menyeret pria itu menuju jendela.
***
Sekarang, kami berada di atap sebuah gedung yang sudah lama terbengkalai.
Bagus sudah mengikat target kami itu di sebuah bangku kayu yang kami temukan di tempat sampah bawah.
"Berapa lama lagi dia akan bangun? Gue laper!" gerutu Bagus.
"Bentar lagi juga bangun! Well, you do a great job!" Aku bertepuk tangan untuk memuji kinerja Bagus.
"Ini bukan masalah besar! Gue rasa dia terlalu banyak seneng-seneng di tempat perjudian dari pada latihan bela diri!" sahut Bagus dengan santainya.
"Dilihat dari perut buncitnya sih gitu!" Aku mengiyakan ucapan Bagus.
Tak lama setelahnya, target kami yang memiliki nama asli Bobby itu sadar.
Ia sangat terkejut mendapati dirinya terikat pada sebuah bangku, dan berada di atap sebuah gedung.
"Kalian siapa? Apa mau kalian?" sentaknya pada kami.
Terlihat jelas dari raut wajahnya kalau dia ketakutan.
"Kenapa? Takut ya? Kalau takut mati, harusnya lo nggak bertingkah! Lo pikir Elang Hitam itu bank pribadi lo? Dan apa lo pikir kalau kami itu nggak punya orang dalam lainnya selain lo?" seruku kesal.
Bobby membelalakan matanya. Kakinya gemetaran, dan napasnya mulai memburu.
Tentu saja dia harus merasa takut. Sedikit saja aku menggeser kursinya, ia akan jatuh dan mati.
"E-elang Hitam?" serunya dengan suara gemetar.
"Denger ya, ini peringatan pertama sekaligus terakhir buat lo! Sekali lagi lo nyoba memeras kami, gue akan habisin lo! Jatuh dari atap kayaknya terlalu mudah! Gue akan habisi lo secara perlahan, sampai lo mohon-mohon untuk dihabisi lebih cepat!" ancamku.
Bobby mengangguk cepat.
"A-akan saya ingat! Tolong lepaskan!" mohonnya.
"Enak aja! Lo udah nyusahin kami belakangan ini! Masa iya kami lepaskan gitu aja?! seruku kesal.
"Jangan lukai saya!"
"Tentu, kami memang belum punya niatan buat habisin lo. Dan juga, maaf karena lo harus kerja lebih keras lagi buat beli mobil baru!" Aku mengedip penuh arti ke arahnya.
Sebelumnya, aku sudah meminta salah satu anggota Elang Hitam untuk memasang sebuah bom di mobil Bobby, dan seharusnya sekarang mobil mewah itu sudah meledak.
Bobby terlihat cukup terkejut dengan ucapanku.
Aku tidak ingin repot-repot menjelaskan, jadi aku dan Bagus langsung berjalan enggan meninggalkan Bobby.
Bukankah dia seorang intel? Tentu saja dia akan bisa melepaskan dirinya sendiri bukan?
Aku dan Bagus berjalan beriringan menuju tempat mobilku terparkir.
"Yakin kita tinggalin gitu aja? Gimana kalau dia nggak bisa lepasin diri? Dia bisa membusuk di sana! Apalagi jarang orang pergi ke sini, nggak akan ada yang bisa bantuin dia!" Bagus menatapku penuh tanya.
"Dia itu intel, nggak mungkin seorang intel bisa mati semudah itu. Santai aja, brother!" Aku mengucapkan itu sambil menepuk pelan punggung Bagus.
Bagus sendiri hanya menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Oh iya, kapan lo masang bom di mobilnya?" tanya Bagus penasaran.
"Segera setelah gue dapet tugas dari bokap!" sahutku pelan.
"Wow, lo lumayan cepat juga ya!" komentar Bagus.
Ngasih hukuman lewat pukulan itu udah nggak zaman! Jadi, gue putusin buat hancurin mobil barunya aja, toh dia beli itu juga pakai uang dari Elang Hitam.