"Banyak mulut kau, Orang Tua!" teriak Setan Topeng Merah menyembunyikan rasa kagetnya. "Rasakan ini!"
Satu serangan kilat menerjang Eyang Wisesa. Eyang Wisesa sangat terkejut, dia tidak bisa menghindari serangan tersebut. Eyang Wisesa terjajar limbung ke belakang. Orang tua itu terluka dalam, rasa panas menjalar pada organ dalam tubuhnya. Rasa asin terasa samar di pangkal lidahnya.
Eyang Wisesa tidak menyangka ilmu itu sudah berkembang begitu dahsyat dan melukai dirinya, ilmu yang sesungguhnya dia juga punya. Orang tua itu cepat mengatur aliran darahnya dan memperkokoh kuda-kudanya. Dirinya tidak boleh menganggap enteng anak muda ini. Dengan ilmu yang sama dia menyerang balik, tapi dapat dimentahkan oleh Setan Topeng Merah.
Sekali lagi Setan Topeng Merah bersiap untuk serangan berikutnya. Gayatri yang melihat kalau bapaknya terluka, cepat-cepat keluar dari persembunyiannya.
"Kau tidak boleh melukai ayahku, pergilah kau ke neraka!" Gayatri berteriak sambil melancarkan serangan.
Setan Topeng Merah tertawa. Mengejek Gayatri yang melongo, melihat serangan hanya menghantam tempat kosong.
"Hahaha ... hahaha, sebaiknya kau menemaniku tidur, Nyai, tidak usah bermain jurus, berbahaya," kata Setan Topeng Merah kurang ajar. "Mengapa kalian diam saja? Geledah pondok itu, cari kitab itu sampai dapat!" serunya lagi kepada anak buahnya.
Demi mendengar itu, Gayatri berlari ke depan pintu pondok menghalangi mereka. Namun, yang terjadi adalah mereka menyerang Gayatri. Gadis cantik itu terpental. Cepat dia bangkit dan melakukan serangan balik. Akan tetapi semua dapat dimentahkan. Gayatri terhuyung memegangi dadanya yang terasa nyeri. Anak buah Setan Topeng Merah menyerbu masuk ke pondok. Mereka mengacak-acak semua tempat dalam pondok mencari kitab Naga Geni. Nihil.
"Arya, suruh anak buahmu pergi dari sini!" teriak Eyang Wisesa murka.
"Aku akan pergi setelah mendapatkan kitab, Kakek Tua," jawab Setan Topeng Merah.
"Kurang ajar! Terima seranganku, hiaaat!" Eyang Wisesa menyerang dengan jurus andalannya, tetapi tetap saja setan topeng merah dapat menghindar dengan mudah.
"Winara, kau rupanya telah berhasil menyempurnakan ilmu ini," kata hati Eyang Wisesa sambil menyebut nama bapaknya Arya alias Setan Topeng Merah.
Eyang Wisesa bersiap dengan jurus pamungkasnya, yaitu Pukulan Es. Dia menyalurkan seluruh kekuatannya di kedua tangannya. Hawa dingin datang bergulung-gulung membekukan badan. Pohon-pohon di sekitar tiba-tiba meneteskan embun, perpindahan dari hawa panas terkena hawa dingin.
"Blaaar!"
Pukulan berkekuatan gunung es melabrak Arya. Siapa sangka Arya bisa membalikkan serangan itu. Eyang Wisesa berusaha menghindari serangannya sendiri yang berbalik. Senjata makan tuan terjadi. Namun kalah cepat, jurusnya menghantam dirinya. Darah muncrat dari mulut Eyang Wisesa. Sebelum tubuhnya roboh ke tanah dia menunjuk ke arah Arya.
"Kau adalah anak kakak seperguruanku, Winara, tanda bulan sabit di pergelangan tanganmu, aku mengenalinya," katanya. Tidak lama kemudian orang tua itu ambruk ke tanah.
"Ayah!" Gayatri yang juga terluka memburu. Bapaknya membuka matanya sedikit.
"Pergi! Selamatkan dirimu dan kitab itu, pergi!" suruhnya.
"Tidak Ayah, tidak!" jerit Gayatri.
"Cepat pergi!"
Akhirnya dengan berat hati Gayatri melesat pergi. Menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Sementara Arya alias Setan Topeng Merah tertegun mendengar kata-kata Eyang Wisesa. Sesaat dia berdiri mematung.
"Paman, maafkan aku!" seru Arya sambil berlari memburu Eyang Wisesa. "Ayahku menyuruhku mengambil kitab itu di sini, aku tidak tahu kalau kalian saudara seperguruan."
Eyang Wisesa hanya tersenyum getir. Luka dalamnya begitu parah sehingga tidak dapat bertahan lagi. Orang tua itu menutup mata untuk selama-lamanya. Arya yang merasa bersalah menguburkan jasad Eyang Wisesa dengan layak. Hatinya yang paling dalam mengutuk bapaknya sendiri sebagai penyebab semua ini. Rupanya Arya masih mempunyai sedikit rasa kemanusiaan dibandingkan dengan bapaknya.
"Pulang!" serunya kepada anak buahnya.
Sementara itu Gayatri berlari sekencang-kencangnya. Lukanya terasa bertambah nyeri. Namun, dia harus menyelamatkan kitab yang disembunyikan di balik pinggangnya. Dirinya harus mencari Astamaya.
Setelah dirasa cukup jauh, gadis itu beristirahat. Matanya jelalatan melihat tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Setelah yang dicarinya nampak, dia mengambil beberapa helai daunnya, kemudian memakannya. Dahinya mengernyit saat daun itu terasa pahit di mulutnya. Akan tetapi dia tetap menelannya.
*********
Astamaya dan Untari nampak sedang duduk di atas goa. Entah senja yang ke berapa ratus yang selalu mereka nikmati bersama. Galuh yang duduk di antara mereka tiba-tiba mengeluarkan suara kencang sambil kakinya menggaruk telinga. Astamaya dan Untari tertawa melihat tingkah Galuh.
"Bagaimana kalau kita menciptakan lagi ilmu, nanti kita namakan Tanduk Kijang Mengorek Telinga. Ilmu mengencangkan suara sehingga gendang telinga musuh bisa pecah mendengarnya," kata Astamaya kepada istrinya.
Untari mengangguk pertanda setuju. Mereka kemudian mengambil posisi untuk berlatih. Telinga Galuh disumpeli dengan biji-bijian, agar gendang telinga Galuh tidak pecah. Sampai malam menjelang mereka serius berlatih.
Gayatri yang terluka dalam, berjalan kian terseok-seok. Dia berharap bertemu seseorang yang akan menolongnya pagi ini. Dirinya merasa semakin letih, rasanya tidak kuat lagi untuk berjalan. Langit rasanya berputar-putar. Gayatri ambruk di pangkuan seorang laki-laki.
Astamaya yang pagi itu pergi berjalan-jalan di hutan melihat sosok wanita yang berjalan terhuyung-huyung. Astamaya menajamkan pandangannya, sepertinya dia mengenal wanita tersebut. Dirinya hafal sekali dengan dandanan rambut itu. Saat wanita itu akan ambruk, Astamaya secepatnya melesat menopang tubuh itu.
"Gayatri ... Gayatri, apa yang terjadi? Buka matamu, Gayatri?" Astamaya berteriak panik.
Astamaya mencoba memberikan pertolongan, akan tetapi tidak ada respon dari tubuh Gayatri. Astamaya kebingungan. Akhirnya dia membopong tubuh Gayatri kembali ke goa.
"Untari ... Untari!" teriak Astamaya. Namun, yang dipanggil tak menunjukkan batang hidungnya. Entah ke mana Untari pergi.
Astamaya meletakkan tubuh Gayatri di batu datar. Rupanya Gayatri pingsan karena lukanya terlihat sangat serius. Lelaki itu memandangi wajah Gayatri, perlahan-lahan perasaan bersalah merayapi hatinya. Tanpa sadar tangannya mengelus rambut Gayatri.
"Maafkan Kakang, Gayatri," katanya lirih.
Entah karena mendengar bisikan Astamaya, tiba-tiba Gayatri membuka matanya, matanya terbelalak kaget melihat Astamaya ada di depan matanya. Sesaat kemudian dia tersenyum dan berusaha bangkit. Astamaya membantunya untuk duduk. Gayatri memeluk tubuh Astamaya sambil menangis.
Untari terpaku di ambang mulut goa. Wanita itu tidak percaya melihat kenyataan di depan matanya. Astamaya memeluk Gayatri, tentu saja dia sangat cemburu dan marah. Dirinya tidak tahu kalau Gayatri sesungguhnya tengah sekarat.
"Kakang! Kamu ... kamu tega!" teriaknya sambil berlari ke luar goa. Dia kabur entah ke mana.
Astamaya yang mendengar suara Untari seketika berbalik. Namun, Untari sudah tidak kelihatan lagi. Lelaki itu bermaksud hendak menyusul, tetapi Gayatri terbatuk-batuk mengeluarkan darah kental. Astamaya panik melihatnya. Dia memeluk tubuh Gayatri semakin erat sambil menangis.
"Bangun Gayatri! Bangun!" seru Astamaya. Lelaki itu menyusut darah yang meleleh dari mulut Gayatri. "Siapa yang melakukan perbuatan ini padamu? Aku bersumpah akan membalaskan dendam untukmu!"
Tiba-tiba Gayatri membuka matanya sedikit, tersenyum ke arah Astamaya. Dia memegang erat tangan kakak angkatnya itu. Kepala gadis itu terkulai di pangkuan Astamaya.
"Gayatri ... Gayatri, bangun Gayatri!" Astamaya berkata sambil menepuk-nepuk pipi Gayatri.