Pak Ferdi semakin terisak. Ia seakan kehilangan arah tak tahu apa yang mesti dilakukan sekarang. Ia butuh seseorang.
'Apa aku harus menemui Pak Denis,' ucap Pak Ferdi dalam hati.
Setelah puas menangis Pak Ferdi kembali ke kamar, ia melihat benda yang menempel di dinding. Rupanya sudah pukul dua malam.
Pak Ferdi naik ke atas tempat tidur, menatap wajah sang istri yang sudah menemaninya sejauh ini. Wanita yang rela ikut dengannya melalui berbagai asam garam kehidupan. Usia pernikahan tiga puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat.
Dulu, ia yang minta istrinya melakukan donor benih itu. Berharap menjadi awal kebahagiaan bagi keluarganya. Tapi dugaannya salah, hal tersebut kini malah jadi duri tajam dalam kehidupannya.
Bu Alin nampak telah nyenyak dalam tidurnya, matanya terlihat sembab. Sepertinya ia menangis sejak tadi.
Pak Ferdi merebahkan dirinya di tempat tidur itu. Mencoba beralih ke alam mimpi, berharap untuk pergi sebentar dari masalah yang kini menimpanya.
***
Pagi menjelang, Pak Ferdi sedang bersiap berangkat ke kantor. Ia telah rapi dengan setelan jasnya.
Bu Alin tersenyum tipis memandangnya, ia duduk di sofa. Kamar seluas itu seakan terasa menghimpit mereka berdua. Saking besarnya masalah yang mereka hadapi.
Pak Ferdi mendekati istrinya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Kita cari kebenarannya sebelum terlambat. Aku pulang jam sepuluh lalu kita temui Regina," ucap Pak Ferdi dengan suara lirih.
Bu Alin mengangguk, ia hanya ingin masalah ini segera selesai. Lalu, mereka keluar kamar menuju ruang makan. Sudah ada Fira dan Oma Nani yang duduk di kursi meja makan tersebut.
Pak Ferdi dan Bu Alin bergabung bersama mereka, kemudian sarapan pagi dimulai. Suasana sarapan kali ini begitu dingin dan sepi.
'Ada apa sebenarnya dengan Mama dan Papa?.' Fira bertanya dalam hati, ia tak berani mengungkapkannya.
Pak Ferdi dan Bu Alin memang tak pernah menampakan masalah di depan keluarga. Maka jika sudah sampai seperti itu, artinya masalah yang mereka hadapi sangat besar.
"Kamu mau berangkat bareng Papa, Nak? Mobil kamu 'kan masih di panti," tanya Pak Ferdi pada Fira.
Baru akan menjawab, bel rumah berbunyi nyaring.
"Sepertinya Revan," gumam Fira, "aku buka pintu dulu, ya."
Fira bangkit dan menuju pintu utama yang berada di ruang tamu. Ia membuka pintu berwarna putih yang nampak mewah itu.
"Revan," ucap Fira saat membuka pintu, pujaan hatinya itu telah berdiri di ambang pintu.
"Sudah siap? Kita berangkat bareng kalau sudah," tanya Revan.
"Bentar, aku pamit dulu sama Mama dan Papa." Fira kembali masuk dan menuju ruang makan. Keluarganya masih berkumpul di sana.
"Ma, Pa, aku berangkat duluan aja, ya. Revan jemput," ucap Fira sambil menyalami tangan kedua orang tuanya dan juga neneknya.
Seperti ada pisau menghunus ke dada Bu Alin kala mendengar pamit putrinya. Ia bergeming, tak mampu berkata apa-apa. Tidak seperti biasanya yang selalu menimpali anaknya dengan senyum dan perkataan baik lainnya.
"Hati-hati, ya, Sayang." Pesan Oma Nani kala Fira menyalami tangannya.
"Pasti, Oma," jawab Fira sambil melenggang pergi. Wajahnya terlihat bahagia saat akan menemui Revan.
Fira ke luar rumah, Revan masih setia menunggu di teras rumah mewah itu.
"Yuk, Rev," ajak Fira.
Tak ada panggilan khusus dalam hubungan mereka, apalagi Fira yang kagok jika mengucapkan kata mesra. Karena mereka seumuran.
"Ayo." Revan menggandeng tangan Fira. Mereka menuju mobil yang terparkir di halaman luas itu. Mobil mewah yang harganya begitu fantastis. Revan tak menggunakan jasa supir, ia lebih suka mengendarai mobilnya sendiri.
Setelah mereka menaikinya, mobil melaju. Menyusuri halaman luas kemudian keluar dari pagar yang tinggi bercat putih itu.
Setengah jam kemudian, mereka sampai di kantor Pak Ferdi.
"Aku lanjut ke kantorku, ya, ada yang belum beres mau kuselesaikan," ucap Revan yang masih di dalam mobil.
"Iya, enggak apa-apa. Aku masuk dulu." Fira berbalik badan dan melenggang masuk ke kantornya.
Desas-desus hubungan Fira dan Revan sudah menyebar di semua karyawan kantor mereka. Banyak yang memuji mereka begitu cocok dan serasi. Mendoakan semoga berjodoh dan doa baik lainnya.
Fira melangkah menuju ruangannya dengan senyum mengembang. Aura bahagia terpancar jelas dari wajahnya.
Tak lama berselang dari Fira masuk ke ruangannya, Pak Ferdi juga sampai di kantor. Ia langsung menuju ke ruangannya.
Sesampainya di ruangan, ia menghempaskan tubuhnya di kursi kerja berwarna hitam miliknya. Nampak gagah dan berwibawa.
Di atas meja kerja telah ada beberapa berkas untuk diperiksa dan ditanda tangani. Pak Ferdi membuka lembar demi lembar berkas itu menganalisanya dengan teliti dan menanda tangani berkas yang sudah valid.
Ia mengernyit kala menemukan berkas paling bawah dengan map biru. Isinya bukan soal pekerjaaan, melainkan pemindahan hak saham.
Membaca berkas itu dengan teliti dan seksama. Di bagian paling bawah terdapat nama dan tanda tangan orang yang berhak menerima saham.
Revan Adhari.
"Revan," gumam Pak Ferdi, "apa maksudnya ini?"
Pak Ferdi kembali membaca berkas itu. Hasilnya tetap sama.
"Selidik itukah, Revan," gumam Pak Ferdi.
Ia menyimpan berkas itu di lemari khusus. Di dalamnya ada brangkas yang hanya bisa dibuka oleh angka sandi yang telah ditentukan oleh Pak Ferdi.
Setelah selesai dengan tumpukan berkasnya, Pak Ferdi memanggil Anita —asisten pribadinya—.
"Nita, ini semua berkasnya sudah selesai. Saya pergi dulu ada kepentingan lain," ucap Pak Ferdi pada wanita yang berdiri di samping mejanya itu.
Anita mengangguk pasti, sudah lama ia bekerja dengan Pak Ferdi dan Bu Fira.
Pak Ferdi berdiri dan pergi dari ruangannya. Anita memeriksa semua berkas yang berada di atas meja kerja Pak Ferdi. Ia mengernyit heran.
"Kemana berkas yang satu itu?" gumam Anita sambil membolak-balik semua berkas.
Bu Regina menatap heran dengan pesan yang dikirim Pak Ferdi.
[Kita bertemu sekarang di Kafe Hijau. Jangan beri tahu suamimu ataupun anakmu.]
"Ada apa, ya?" Bu Regina bertanya-tanya kiranya apa yang akan disampaikan Pak Ferdi, sepupu mantan suaminya itu.
Tanpa pikir panjang, Bu Regina keluar dari kamar dan menjalankan mobilnya sendiri ke tempat tujuan.
Di perjalanan ia masih bertanya-tanya dalam hati, kiranya apa yang akan disampaikan Pak Ferdi.
'Jika soal pernikahan tak mungkin tidak boleh bilang sama Mas Andi dan Revan,' batin Bu Regina.
Ia yakin ada hal lain. Mobil di parkir di parkiran depan kafe. Di dalam nampak sepi karena ini masih jam kerja.
Bu Regina turun dari mobil dan memasuki kafe tersebut. Matanya melihat mencari sosok Pak Ferdi. Rupanya ia bersama istrinya ada di pojok ruangan yang kursinya menggunakan sofa.
Bu Regina melangkah cepat ke meja yang di tempati Pak Ferdi dan Bu Alin.
"Regina, silakan duduk," ucap Bu Alin mempersilakan saat melihat kedatangan Regina.
"Ada apa, ini?" tanya Bu Regina panik.