Tiara sangat senang karena Zaidan memberikan boneka yang tadi di lihatnya, hingga tidak sadar merangkul lengan Zaidan. Dia pun segera meminta maaf karena tidak sengaja melakukan hal seperti itu. Zaidan tidak marah melainkan merasa gemas karena Tiara menyukai pemberiannya.
"Ya sudah, kita lanjut jalan pulang," ucap Zaidan sambil tersenyum.
Tiara mengangguk dan melanjutkan langkahnya, kali ini dia mencoba untuk mensejajarkan jalannya dengan Zaidan. Detak jantung Tiara kembali berdetak cepat saat menuruni eskalator dan mendapat pertanyaan dari Zaidan yang sukses membuatnya terkejut.
'Ternyata dia beneran denger semua ucapan gue sama Zia tadi,' batin Tiara.
"Tiara," panggil Zaidan, "kalau kamu nggak mau jawab juga nggak apa-apa kok. Akak hanya penasaran saja."
Zaidan bertanya pada Tiara tentang perkataannya sewaktu menelepon tadi, Zaidan yang termasuk orang penasaran terlebih menyangkut dirinya tentu saja bertanya secara langsung karena tidak ingin terjadi salah paham nantinya.
"Akak sudah menganggap kamu seperti adik sendiri, meskipun kamu sudah mengetahui perasaan akak yang sebenarnya terhadapmu dan akak tidak akan memaksa ataupun tidak ingin menjadi beban karena pengakuan akak kemarin. Biarlah berjalan sesuai waktu, karena kalau kita memang di takdirkan untuk bersama pasti tidak akan kemana," jelas Zaidan.
Mendengar penjelasan Zaidan membuat langkah kaki Tiara berhenti saat turun dari eskalator, dia menatap punggung belakang Zaidan yang jalan terlebih dahulu karena tidak menyadari Tiara yang berhenti. Katup bibirnya terbuka, detak jantungnya semakin cepat dan tidak beraturan. Semua perkataan yang keluar dari mulut Zaidan membuat lututnya lemas seketika karena mendengar ketulusan Zaidan terhadapnya lewat kalimat tersebut.
Zaidan pun menoleh ke belakang karena baru menyadari Tiara yang diam mematung, lalu dia kembali menghampiri Tiara dan bertanya padanya. "Kenapa?"
Tiara pun menatap wajah Zaidan serta netranya saling bertemu, detik berikutnya Tiara melanjutkan jalannya tanpa mengatakan satu kata pun. Zaidan yang melihat tingkah gemas dan lucu dari Tiara merasa seperti sedang momong dan berjalan dengan anak kecil berumur tiga tahun.
"Akak antar sampai rumah ya," ucap Zaidan sambil memasang seat belt.
Tiara pun memasangnya juga dan mengangguk tanda mengiyakan, pandangannya kini menatap lurus ke depan karena dia malu untuk melihat Zaidan, terlebih pandangan mata Zaidan dapat menghilangkan akal sehat karena tatapan tulus yang di rasakan Tiara.
"Oh iya, Dek. Akak lupa, tadi ibu bilang bagaimana kelanjutan kamu tentang menemani ibu ke seminar minggu depan nanti?" tanya Zaidan yang masih fokus mengemudikan mobilnya.
"Seminar ya," gumam Tiara.
"Iya, kalau kamu tidak berkenan ikut nanti akak bilang sama ibu," balas Zaidan.
'Kok gue merasa geli sendiri ya saat kak Zaidan memanggil dirinya dengan sebutan akak, padahal itu yang bikin gue sendiri,' batin Tiara.
Tanpa di sadari Tiara tertawa dengan pikirannya sendiri dan dia langsung menyembunyikan serta menahan tawanya sendiri dengan melipat mulutnya ke dalam.
Zaidan menyadari perubahan Tiara dan bertanya ada apa. "Apa yang sedang kamu pikirkan, kenapa kamu menahan tawa?"
"Nggak, Kak. Haha." Tiara melepaskan tawanya karena sudah tidak tahan menahannya.
"Kamu kenapa, Dek? Apa ada yang lucu?" tanya Zaidan lagi.
Tiara pun menjelaskan alasan ketawanya dan dia menceritakan dengan jujur.
"Kenapa kamu geli sendiri, akak menyukainya karena sebutan itu khusus darimu. Apa kamu tidak menyukainya?" tanya Zaidan yang sesekali melihat ke arah Tiara.
"Iya, aku tau dan itu memang berasal dariku. Hanya saja saat akak mengucapkannya di telingaku terasa ada yang lebai gitu," kekeh Tiara.
"Lebai? Maksud kamu akak lebai gitu?"
"Bukan gitu ... aduh gimana jelasinnya, pokonya begitu deh." Tiara tak berhenti terkekeh karena mengingat bagaimana Zaidan memanggil dirinya sendiri.
"Nggak apa-apa akak lebai dan itu membuatmu tertawa, akak rela di bilang seperti itu karena kamu selalu tersenyum dan tertawa di saat bersama akak." Zaidan mengeluarkan jurus rayuannya.
Tiara beralih melihat Zaidan dan menatapnya dengan penuh selidik, Zaidan pun bertanya akan tatapan darinya.
"Akak ini beneran ustad bukan?" selidik Tiara.
"Maksud kamu?" Zaidan tidak percaya dengan pertanyaan Tiara.
"Ya ... aneh aja gitu. Masa ustad ngegombalin cewek terus," jawab Tiara.
"Ngegombalin gimana maksud kamu, Dek?"
"Biasanya nih ya, ustad itu kalem, dingin, misterius gitu-gitu deh pokoknya, tapi akak nih kok kayak easy going gitu," jelas Tiara dengan menunjukan wajah herannya.
"Mana ada ustad macam itu, memangnya kamu mau kalau akak punya sifat seperti itu. Nanti kalau seperti itu kamu jadi ngambek, terus curhat ke teman kamu kayak tadi," balas Zaidan.
"Tuh kan, masa ustad ngomongnya kayak gitu dih. Percaya diri sekali, lagian siapa yang curhat, aku? nggak lah," elak Tiara.
"Kamu tuh ya, gemesin tau. Andai saja umur kamu sudah cukup ..."
"Apa?" sela Tiara, "mulai bahas begituan."
Zaidan hanya terkekeh mendengar perkataan Tiara, memang benar yang di katakan oleh Zaidan. Jika saja umur Tiara sudah cukup dengan segera Zaidan agar melamarnya dan menikahinya agar selalu bisa bercanda dengan Tiara.
"Kok akak kayak ngebet mau nikah gitu sih, selalu bahas ke situ terus," cibir Tiara.
"Menikah itu salah satu ibadah, Dek. Memangnya salah kalau akak memantapkan hati untuk kamu? Lagi pula akak sudah siap dan mencintaimu karena Sang Maha Cinta."
"Mulai," ucap Tiara dengan nada yang hampir tidak terdengar.
Waktu tidak terasa hingga kini Zaidan dan Tiara sudah berada di depan rumah Tiara, tanpa menunggu waktu lama keduanya kini turun dari mobil.
Melihat Zaidan yang ikut turun membuat Tiara bingung. "Kenapa akak ikut turun, tadi 'kan aku udah pamitan."
"Memangnya tidak boleh?"
Pintu terbuka saat Zaidan menyelesaikan pertanyaannya dan Sartika yang melihat pemandangan di depannya langsung tersenyum dan melirik ke arah putrinya.
"Assalamualaikum, Bu," salam Zaidan, "maaf lama, tadi kami ke toko buku dulu."
"Iya, ibu tau kok, tadi Tiara sudah minta izin dan dia juga bilang pergi sama kamu," jawab Sartika.
"Makasih ya akak atas traktirannya dan sudah mengantar aku sampai rumah, kalau begitu aku masuk dulu." Tiara langsung masuk ke dalam rumah karena sedari tadi sang mama terlihat senyum-senyum bak mertua yang menemukan menantu idamannya.
"Maaf ya, Nak, Tiara tidak sopan main nyelonong gitu aja," kekeh Sartika.
"Nggak kok, Bu. Tadi 'kan Tiara sudah bilang," balas Zaidan, "kalau begitu saya permisi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Sartika.
Zaidan pun masuk kembali ke dalam mobil dan menjalankannya. Melihat Zaidan sudah pergi, Sartika pun masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan putrinya. Pintu kamar Tiara tidak terkunci, hingga Sartika bisa langsung membukanya.
"Apa? Jangan tanya macam-macam, Ma. Nggak ada hubungan apapun aku sama kak Zaidan," ucap Tiara saat melihat Sartika masuk ke dalam kamarnya.
"Loh, memangnya mama tanya apa?"
"Terus ... itu ngapain mama langsung masuk ke dalam kamar aku," jawab Tiara malu-malu.
"Makanya jangan berpikir suudzon terus, calon suamimu itu ustad loh, nggak baik berpikiran seperti itu terus," jelas Sartika dengan percaya diri.
"Tuh kan, Mama mulai deh. Siapa sih yang jadi calon suami aku, heran deh sama Mama, aku masih sekolah, Ma. Memangnya Mama nggak mau lihat aku sukses dulu ... gitu?" ujar Tiara, "atau jangan-jangan Mama nggak mau aku ada di dapur terus?"
"Aku ini anak satu-satunya loh, Ma. Memangnya Mama nggak mau aku bahagiain dulu, kayak anak-anak tetangga lainnya tuh, yang ngebanggain anaknya kuliah terus kerja dengan gaji gede," tambahnya.
— Novo capítulo em breve — Escreva uma avaliação