Tak terlihat kedua sudut bibirnya tersenyum merekah. Hanya saja di dalam hatinya, Amelia merasa lega sekaligus membuatnya membisu. Ungkapan Arya memang dikatakan dengan sepenuh hati dan tak ada niat darinya untuk mengecewakan Amelia. Lagi pula mereka bukanlah anak kecil lagi yang terus memancik sulut api untuk memulai pertengkaran hanya karena perpisahan sementara ini.
Amelia menyeka kedua matanya meskipun tak ada air mata mengalir atau berlinang di retinanya, hanya itu cukup ampuh dalam menutupi kesenangan sekaligus kesedihannya. Dengan kalimat-kalimat tersebut gadis itu bisa mengangkat wajahnya kembali, tatapannya tak tertuju pada kedua mata Arya, melainkan melihat bulan yang sudah nampak terang benderang di langit sana.
Sudah semakin malam dan mereka semakin larut dalam suasana kemesraan dan keharuan. Arya sedari tadi sama sekali tak mengalihkan pandangannya walau pemandangan langit bertaburan ribuan bintang serta di bawah sana banyak sekali lampu-lampu menyinari kota dan jalanan. Bukan Arya tak bersyukur dengan semua pemandangan itu, hanya saja apa keindahan yang ada di dunia ini berhasil ditaklukkan oleh gadis cantik dan menawan di hadapannya.
"Ka-kau masih di sini? Ini sudah semakin malam kalau melihat langit. Tinggalkan aku, tak apa. Setidaknya aku merasa lega jika kau memenuhi semua perkataanmu tadi ketika kau pulang dari turnamen."
Detik berikutnya, Arya sedikit memundurkan punggungnya, bersandar pada kursi kafe walau kedua tangannya masih menggenggam tangan kekasihnya, seakan Arya berusaha menarik Amelia ke dalam ke pelukannya. "Aku tahu. Tapi aku tak bisa meninggalkanmu begitu saja. Lagi pula sanksi terlambat di timku hanya tambahan latihan fisik saja. Aku sudah terbiasa dengan itu semua. Sekarang, aku punya pertanyaan, apa kau sudah baikan dan menerima kepergianku selama 3 bulan?"
Mungkin Amelia terdiam dan terlarut terlalu lama di dalam pikirannya, memastikan apakah sudah relakah dirinya melepaskan Arya begitu saja setelah mereka baru saja berpacaran selama beberapa hari. Ini seperti di mana kita memiliki pasangan, namun pasangan kalian sama sekali tak mementingkan kemesraan dan keharmonisan ketika berhubungan baru berjalan.
"Mungkin… setelah aku pikir lagi, kelakuanku meninggalkanmu selama 10 tahun mungkin jauh lebih kejam. Bahkan saat itu aku sama sekali tak mau bertemu dan bicara padamu. Kita anggap saja apa yang terjadi sekarang sebagai karma atas apa yang telah aku perbuat padamu."
Mendengar kata-kata kekasihnya membuat Arya terpaksa menggenggam tangannya lebih erat lagi. Itu bukan hukuman, hanya saja semua perkataan yang keluar sama sekali tak kaitannya dengan kepergian Arya besok. "Mel, tak semestinya kau mengatakan semua ini sebagai karma. Ada alasan tersendiri kenapa kau pergi dan giliranku pergi. Ketika laki-laki dan perempuan menjalin hubungan, mungkin sudah sepantasnya mempersiapkan diri demi menanggapi dan menyelesaikan semua masalah yang terjadi.
"Aku akan marah jika kau mengatakan semua ini sebagai balasan untukmu. Aku pergi karena ada sesuatu yang ingin aku kejar. Begitu juga denganmu, kan? Hanya saja metode mencapai semua itu sudah pasti berbeda jauh. Jika sudah tiba waktunya, kita berdua pasti akan memahami satu sama lain dengan apa yang masing-masing kita kejar.
"Bahkan aku sendiri sangat mendukungmu jika kau rela membuang waktumu untuk mengejar cita-citamu, sebab kalau aku jadi kau, aku akan melakukan hal yang sama."
Arya mengelus-elus tangan Amelia dengan lembut, ia bisa merasakan punggung tangannya yang sangat lembut bagaikan bulu tanpa noda. Mungkin ini pertama kalinya Arya mengelus kedua tangan seorang gadis begitu tulus dan penuh kasih sayang. Berada di dekatnya membuat Arya tak mau dipisahkan oleh keadaan.
Di lain sisi, Amelia sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Arya sepenuhnya benar jika mereka akan mengerti satu sama lain dengan apa yang dikejar oleh pasangan mereka. Bahkan Amelia juga tak mau kalau pacaran dengan Arya bisa menghambat dirinya untuk seperti sang ibu sekarang.
"Baiklah, aku sudah benar-benar tenang, Arya. Aku sudah mengerti dan mencoba belajar menerima semua ini. Aku tak tahu apa kau sudah pengalaman meninggalkan cewek seperti ini, tapi aku pikir ucapanmu masuk akal juga."
Pengalaman meninggalkan perempuan? Arya hampir saja tertawa terbahak-bahak, bahkan dirinya sendiri tak pernah menjalin hubungan seperti ini dengan gadis manapun demi menunggu kepulangan Amelia dari luar negeri. Hanya saja tak ada gunanya membicarakan itu sekarang. "Kau ini… bisa-bisanya membahas hal itu ketika kau hampir menangis beberapa detik lalu," ucap Arya sambil terkekeh.
"Asal omong kau ya, mana ada aku menangis."
"Pfftt… Mungkin mulutmu berkata seperti itu tapi tidak untuk wajahmu. Kau bahkan mengusap kedua matamu."
Kemudian suasana serius tersebut perlahan sirna dan di sekitar mereka kembali dipenuhi obrolan singkat dan penuh tawa.
Sudah saatnya Arya mengucapkan sampai jumpa pada kekasihnya, mengingat lima belas menit lagi Arya harus menjalani rutinitasnya sebagai pemain basket profesional. Suasana di sekitar mereka sudah tak seserius maupun canggung seperti beberapa detik lalu, keduanya saling menyungging kedua sudut bibir mereka dengan tulus.
Tak bisa dikatakan perpisahan yang lama, namun tak bertemu dengan kekasih dalam kurun 3 bulan memang sedikit menyiksa hati, kini Arya dan Amelia dituntut menjadi dewasa dan siap melawan apapu situasinya. Hanya butuh ucapan-ucapan dari Arya, Amelia setidaknya sadar apa yang harus ia lakukan ke depannya. Mendukung tanpa mengganggu pekerjaan Arya merupakan tugas Amelia sebagai perempuannya.
Tak ada pelukan atau kata-kata romantis keluar dari mulut mereka, hanya lambaian tangan serta diiringi senyuman manis masing-masing sudah merasa puas dengan itu. Yah, walau keduanya sama sekali malu ketika memikirkan berpelukan di hadapan banyak orang. Lagi pula keduanya belum pernah benar-benar berpelukan dengan sosok orang yang mereka cintai.
Amelia terus menatap punggung kecil itu, berjalan perlahan menuju tangga. Tak ada tanda-tanda Arya terlihat buru-buru walau waktu latihan sudah sangat mepet, lagi pula ia harus kembali ke rumah untuk mengambil perlengkapannya. Menyeka kedua mata untuk kesekian kalinya, kali ini air matanya mengalir di atas pipinya, lalu jatuh membasahi lantai kafe. Namun itu bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata kebanggaan untuk dirinya yang sudah ikhlas melepaskan Arya untuk mengejar cita-citanya.
Well, mungkin terlalu berlebihan menangisi sebuah perpisahan, tapi mereka baru saja dekat beberapa hari dan kini harus mengalami perpisahan yang cukup lama.
Sesampai di rumah Arya langsung mengambil perlengkapannya di belakang rumah. Ia sama sekali tak menyentuh anak tangga atau pintu kamarnya mengingat Arya sudah terlambat 5 menit, belum lagi perjalanan menuju tempat latihannya masih memakan waktu meskipun jaraknya tak terlalu jauh. Ke sana kemari melewati kakaknya yang sedang makan malam, lantas kedua hidungnya mencium aroma yang berbeda dari Arya.
Bantu review dan kirim power stone ya guys. Thank you.