Hari sudah semakin panas tapi Naraya masih belum mau beranjak dari pasar. Kalau Sakha sih sudah malas berada di pasar ini semenjak pertama kali menginjaknya.
"Kamu mau cari apa lagi?" Tanya Sakha dengan raut wajah kelelahan. Sedari tadi mereka hanya berputar-putar tidak menentu.
"Bentar aja. Mau beli bahan masakan."
"Tapi dari tadi kamu nggak beli apa-apa selain jajanan."
Naraya menatap kantung-kantung plastik yang berisi kue-kue tradisional yang dia beli. Benar, hanya ada kue. Niatnya dia ingin membeli bahan-bahan masakan tetapi kalap karena melihat kue-kue kesukaannya yang jarang ada di warung maupun toko kue.
"Kali ini beneran beli bahan masakan."
Karena ucapan Naraya yang terlihat sungguh-sungguh, Sakha akhirnya mengikuti saja.
Tapi namanya saja Naraya, pekerjaan yang di rumah saja sering ditunda apalagi kalau pergi-pergi seperti ini dan melihat makanan kesukaannya sedang terpampang manis untuk dijual. Pasti dia akan lupa dengan tujuan awalnya yakni berbelanja sayur, ikan, dan kawan-kawannya.
"Kamu nggak mau makan es krim gitu?" Naraya tersenyum manis sambil menepuk pelan tangan Sakha dan menunjuk bapak-bapak penjual es krim yang sedang berdiri di samping sepedanya.
"Katanya mau beli bahan masakan,"
Memutar bola mata malas Naraya mengulangi pertanyaannya, "Mau es krim atau nggak? Kalau nggak mau ya udah." Tanpa melihat Sakha yang kini hanya menatapi gerobak es krim itu, Naraya pergi meninggalkannya menuju si bapak.
"Eh, tungguin!"
Naraya mendengar Sakha berteriak, tapi sengaja mengabaikannya. Sebenarnya agak seru melihat pria itu merengek-rengek sesekali karena ulahnya.
Tapi mungkin Naraya harus berhenti mengganggu Sakha karena hal tersebut tidak akan pernah berefek baik pada jantungnya. Terbukti dari Sakha menarik tangan Naraya dan menatap gadis itu dengan tatapan serius, dan Naraya terdiam oleh karena itu.
"Kan harus pegangan tangan. Nggak boleh jauh-jauh."
Kenapa ya, jantung Naraya selalu tidak aman dengan setiap aksi tiba-tiba Sakha?
"I-iya tapi nggak gini juga."
Naraya hendak menarik tangannya dari genggaman Sakha. Tapi tatapan pria itu menatapnya seolah mengatakan kalau dia tidak boleh melepasnya.
Dan rentetan kalimat yang pria itu katakan membuktikan tatapannya kini, "Enggak boleh lepas. Kita ke sana," Dia mengangkat tangannya yang memegang tangan Naraya, "Dengan pegangan tangan."
Suara jantung Naraya bertalu-talu seperti gendang yang sedang dipukul-pukul dengan semangat. Perempuan itu menggigit bibirnya, dia ingin menghindari tatapan maut Sakha, tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Sakha seperti menghipnotis Naraya untuk menatap mata itu.
Jangan-jangan dia beneran dihipnotis Sakha lagi?
"Enggak jadi beli es krim?"
Buru-buru perempuan itu menjawab, "J-jadi!" Tapi malah ujungnya menyesal membalas ucapan Sakha karena terbata-bata.
"Ayo."
Kenapa malah Sakha yang menarik Naraya pergi ke sepeda si bapak penjual es krim? Naraya menggelengkan kepalanya keras. Dia harus fokus! Lagian bisa-bisanya dia salah tingkah karena lelaki lempeng seperti Sakha.
"Mau rasa apa, mbak sama mas nya?"
Untung karena suara si bapak, Naraya jadi merasa benar-benar memijak bumi sekarang.
"Ada rasa apa aja pak?"
Si bapak membuka kotak yang menjaga suhu es krim nya agar tetap dingin itu, "Ada coklat, stroberi, sama vanila mbak."
"Coklat campur vanila aja pak." Naraya kemudian menoleh ke arah Sakha, "Kamu nggak mau?"
"Mau. Samain aja kayak kamu."
"Kalau gitu coklat campur vanila nya dua ya pak."
"Oke, mbak." Si bapak kemudian dengan sigap mengambil cone es krim yang kosong dan mengisinya dengan es krim.
Masih sibuk dengan mengisi es krimnya, si bapak kemudian bertanya kepada Naraya dengan senyuman lebar yang menampakan ya sejumlah keriput di wajahnya. "Lagi pacaran yah mbak sama masnya?"
Naraya mengerjapkan matanya kaget. Loh, si bapak kok tiba-tiba begini, sih.
Lain halnya dengan Naraya yang kaget, Sakha malah terlihat santai dan balas tersenyum, "Ini istri saya pak."
Yang mana itu malah bikin Naraya lebih kaget lagi sampai terbatuk-batuk. Tanpa sadar dia juga memukul lengan Sakha, yang ternyata malah tangannya memantul balik. Mungkin efek ototnya. Eh? Kok malah jadi ke sana sih?!
"Wah, pengantin baru, toh. Saya jadi kangen istri di rumah." Si bapak kemudian tergelak pelan yang dibalas Sakha dengan kekehan kecil. Sementara Naraya? Dia hanya mampu tersenyum canggung.
Bapak itu menyerahkan kedua es krimnya kepada Naraya dan Sakha. "Ini bonus dari saya, jadi bayarnya satu aja. Semoga langgeng, ya."
Setelah mengucapkan terima kasih dengan senyuman yang lebar, mereka pun meninggalkan si bapak sambil menjilati es krim masing-masing.
Sakha tiba-tiba teringat sesuatu saat melihat satu per satu orang-orang yang mulai menutup gerai mereka, "Kamu nggak jadi beli bahan buat masak?" Tanyanya dengan panik.
Sementara Naraya malah asyik menjilati es krimnya, "Di warung juga bisa, kok." Jawabnya santai.
Lalu gunanya mereka berada di pasar yang bau dan panas sampai siang apa? Sakha sejujurnya kesal, dia tidak menyukai pasar ini dan Naraya membuatnya berjalan-jalan di sini. Bukan hanya kesal, dia ingin marah.
"Kalau gitu ngapain kita di sini sampai siang?" Sakha benar-benar bertanya dengan nada kesal.
Naraya cuek saja dan tetap berjalan lurus, "Tujuan utama kita kan beli baju kamu. Nah udah tercapai, kalau belanja bahan buat masak, kan cuma rencana tambahan."
Dalam hatinya, Naraya sudah tertawa keras. Ini termasuk dalam bagian aksi balas dendamnya pada Sakha. Dia jadi tahu salah satu hal yang membuat Sakha kesal, yaitu mengajaknya berjalan-jalan di pasar. Mungkin besok-besok Naraya harus sering-sering mengajak pria itu ke pasar, dan mungkin membawakan belanjaannya? Sepertinya pria itu juga tidak menyukai sesuatu yang kotor, itu bisa jadi bagian dalam rencana balas dendamnya di masa depan. Intinya disimpan dulu rencana itu. Siapa suruh dia main masuk ke rumah Naraya dan menimbulkan salah paham yang menyebabkan mereka menikah?
Kepala Naraya menoleh ke kanan dan kiri, mengabaikan wajah Sakha yang sudah masam. "Udah pada tutup, ya? Kita pulang aja." Ujarnya dengan enteng dan kembali sibuk dengan es krimnya.
Kali ini Sakha benar-benar tidak dapat menahan kekesalannya pada Naraya. Di hari yang panas dan terik ini semakin membuat suasana hatinya hancur berantakan. Belum lagi ekspektasinya tentang membeli pakaian yang Naraya hancurkan. Dia benar-benar kesal.
Tanpa ingat kalau tangannya masih bertautan dengan tangan Naraya, Sakha berjalan dengan langkah lebar. Tentu saja Naraya kesulitan menyamai langkahnya dengan Sakha, apalagi Sakha tidak mau melepaskan tangannya.
"Bentar! Pelan-pelan, dong!"
Sakha tidak mendengarkan, malah semakin melajukan langkahnya.
Naraya kewalahan sampai-sampai dia tersandung sebuah batu dan terjatuh.
"Ow!"
Sakha baru sadar setelahnya, kemudian berbalik dengan panik dan mendapati Naraya yang sedang meratapi es krim nya yang sudah tak dapat ia jilati lagi itu.
Naraya tak memperdulikan lutut dan telapak tangannya yang mencium tanah, tapi dia menatap naas es krim yang sudah menyatu dengan pasir yang ada di pasar.
Sakha buru-buru membantu Naraya berdiri, "Kamu nggak apa-apa? Maaf saya--"
"Maaf?" Gumam perempuan itu.
Matanya kemudian menatap tajam Sakha yang kini sudah ketakutan. Dia... Salah. Dan Sakha ingin kabur dari amukan Naraya sekarang.
"SAKHA! GANTIIN ES KRIM SAYA!"
Dan Sakha juga tidak akan menyangka kalau dia diamuki hanya karena sebuah es krim.