Suara dentuman musik klub membuat dua gadis yang sedang terbuai dalam alunan musik itu menggerakkan tubuhnya dengan irama dinamis. Berselang lima hari dari kematian kakeknya, Samantha kembali menjadi gadis dengan hobi bersenang-senang dengan dunia malam.
Uang, kekayaan yang melimpah membuat kehidupan gadis itu jauh dari kesan kesederhanaan. Lagi pula, ayahnya tidak pernah peduli dengan apa yang dilakukannya di luar. Seingatnya, Haddley memang tidak pernah berusaha menegur jika ia sengaja melakukan kesalahan demi mendapatkan perhatian. Sementar ibunya adalah tipe-tipe wanita konvensional yang selalu menurut apa kata suami, bahkan jika harus membenci putrinya sendiri.
"Apakah kamu sudah menemukan calon pria yang bisa kau jadikan suami?"
Chloe, sahabat yang ia miliki sejak masa remaja itu bertanya dengan ekspresi penasaran. Samantha memutar gelas di tangannya. Saat ini ia sudah duduk menghadap sebuah meja kecil dengan sebotol minuman mahal di atasnya.
"Bagaimana aku bisa mendapatkan pria sederhana yang luar biasa? Sebenarnya aku bisa saja menyewa para pria di luar sana, tetapi tentu saja tidak untuk menikahinya. Sedangkan saat ini aku benar-benar membutuhkan pria seperti itu untuk menikah."
Samantha mengerang saat merasakan bahwa sebenarnya tugas yang akan ia lakukan ini sangat berat tidak semudah yang sebelumnya ia pikirkan.
"Apakah nantinya pernikahan itu benar-benar akan dilakukan? Maksudku bukan pernikahan pura-pura?"
Sebagai seorang sahabat, Chloe juga merasakan kebingungan yang saat ini dirasakan Samantha. Sikap Samantha mempertahankan harta warisan kakeknya bukan semata didasari oleh keinginan menguasai harga tersebut, tetapi gadis itu sudah memprediksi bahwa akan ada yang memperebutkan harta itu jika ia gagal memenuhi persyaratannya.
"Pengacara kakek pasti sudah mengatur semua agar berjalan sebagaimana mestinya. Lagi pula paman Alan Davis bukan pria yang mudah dibohongi. Ia terlalu cerdik jika hanya menangkap apa yang ada dalam pikiranku."
Menghalau rasa bingung yang menyergap kembali ke dalam pikirannya, Samantha menyerap cairan berwarna merah dari gelas kristal yang berada di tangannya. Menikmati perpaduan antara rasa manis cenderung pahit yang kemudian mengalir melalui tenggorokannya.
"Berarti kamu benar-benar akan mengucapkan janji suci pernikahan di hadapan Tuhan, Samantha. Aku tidak bisa membayangkan seberapa besar dosa yang kamu lakukan ketika menghianati firman Tuhan."
Chloe menggeleng dengan ekspresi mengejek dan juga bermaksud bercanda. Saat ini gadis itu sadar jika Samantha sedang menghadapi dilema.
"Waktuku tinggal tiga minggu lagi. Besok aku akan berusaha mencari pria yang memenuhi kualifikasi yang tentu saja telah ku tentukan."
Gadis itu membayangkan seorang pemuda yang memiliki ketampanan tetapi berasal dari keluarga biasa, cenderung bodoh dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan penipuan kepadanya.
"Pernikahan yang akan kamu lakukan adalah pernikahan sesungguhnya. Janji pernikahan yang terucap disaksikan oleh Tuhan beserta malaikat. Apakah kamu tidak takut jika pada akhirnya kamu benar-benar jatuh cinta pada pria itu?"
"Jangan membuat asumsi yang berlebihan. Bukan kah kamu tahu sendiri jika aku hanya akan mencintai seseorang yang bisa membuat jantungku berdebar saat pertama kali melihatnya? Bukan pria biasa yang cenderung bodoh dan tidak memiliki gaya maskulin seperti yang ku bayangkan."
Meskipun Samantha tidak menyukai kalimat yang terus saja diucapkan pada dirinya tetapi Gadis itu tahu jika maksud sahabatnya itu adalah mengkhawatirkan keadaannya
"Aku hanya akan menikahinya selama satu tahun, membayarnya dengan bayaran tinggi kemudian memberikan uang kompensasi yang besar agar ia bisa melanjutkan hidup dengan layak. Bukan kah itu merupakan sifat yang sangat berperikemanusiaan."
Samantha mengedikkan bahu. Segala sesuatu bisa diukur dengan uang. Itu lah moto hidupnya. Sebuah pelajaran yang ia serap dari ayah dan ibunya yang begitu mengagungkan materi dan dunia di atas perasaan yang seharusnya mereka miliki atas dirinya.
"Sudah malam, Sam, aku harus pulang. Ayah ku akan pulang ke rumah saat akhir pekan untuk mengunjungi ibu."
"Ibumu benar-benar wanita yang hebat. Sudah berapa tahun ayahmu memiliki istri simpanan, tetapi ibumu masih bersedia saja melayani kemauannya. Seperti ibuku saja."
"Biar saja mereka melakukan kesenangan terhadap mereka sendiri. Kita sudah dewasa dan bisa mengupayakan kebahagiaan untuk diri kita sendiri. Besok aku akan ke rumah kekasihku dan sepertinya aku akan menghabiskan akhir pekan ku bersamanya."
Chloe berdiri dari duduknya kemudian menyambar tas yang ada di meja.
"Sam, aku tidak yakin jika setelah menikah kamu bisa mempertahankan keperawananmu itu." Chloe tersenyum mengejek kemudian buru-buru melangkahkan kaki sebelum sebuah gelas kaca melayang mengenai kepalanya.
Tidak lama setelah sahabatnya pergi, Samantha pun terlihat meninggalkan klub. Gadis yang dalam keadaan setengah mabuk itu terlihat berjalan menuju mobil mewahnya. Sejak kematian kakeknya ia memang memilih tinggal di rumah kakeknya karena tidak ingin mendengar perdebatan soal warisan itu.
Malam sudah mulai larut. Rasa kantuk yang bercampur dengan efek alkohol yang ia minum ternyata mempengaruhi pandangan matanya. Sebenarnya ia memang jarang mabuk. Pergi ke klub dan menikmati dentuman musik cukup membuatnya bersemangat. Tapi entah kenapa malam ini ia ingin menikmati alkohol dengan kadar yang tinggi.
Brakkkk!!!!
Suara cukup keras itu menyadarkan Samantha dari rasa kantuk yang menyerang matanya. Bagian depan mobil mewahnya membentur sebuah tiang listrik kecil yang berdiri di tepi jalan. Dan tepat pada saat itu sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh seorang laki-laki berhenti tepat di belakang mobilnya. Gadis itu keluar.
"Apakah anda tidak apa-apa, Nona?"
Bagai alunan nada dari surga, suara seksi pria yang berada dihadapannya itu membuat jantung Samantha berdebar. Ini adalah kegilaan yang nyata. Hanya dengan mendengar satu kalimat singkat membuat seluruh saraf gadis berusia 25 tahun itu menegang.
"Tidak apa-apa. Saya hanya sedikit mengantuk dan---"
"Mabuk," potong pria itu dengan menyunggingkan senyum dibalik film berkaca hitam yang dikenakan.
"Jangan sok tahu. Jika saya mabuk, mana mungkin saya bisa mengendarai mobil sendirian." Samantha berusaha mengelak. Sejujurnya ia merasakan sedikit rasa malu di dalam hatinya meskipun tidak bisa menatap wajah pria itu.
"Di depan itu ada sebuah bengkel mobil yang sangat terkenal di kota ini. Tentunya sebagai pemilik mobil mewah, Anda tidak ingin membiarkan mobil Anda ditangani oleh bengkel tidak profesional."
Samantha menautkan alisnya. Sejujurnya walaupun suasana malam ini sudah sepi ia tidak merasa takut dengan kehadiran tiba-tiba pria ini. Tidak ada aura jahat yang terlihat dari penampilannya yang sederhana dengan sebuah sepeda motor tidak mahal itu. Hanya saja dengan penampilan celana jeans yang terkesan sudah usang itu membuat Samantha bertanya-tanya. Apakah sebenarnya pekerjaan pria ini?
Tubuhnya terlihat sangat atletis, tinggi dan tegap. Otot-otot di tangannya yang keras terlihat dari balik kemeja yang dikenakan. Ini benar-benar mengganggu pikirannya. Dan seketika pikiran liar pun hadir dalam benaknya. Apakah Tuhan mengirimkan sosok pria ini untuk menjawab semua kesulitannya?
"Saya bekerja di bengkel itu. Jika Nona berkenan silakan besok datang ke bengkel dan saya pastikan jika mobil Nona tertangani dengan baik. Selamat malam."
Mematung. Untuk sesaat Samantha hanya bisa menatap kepergian pria itu dengan mata tidak berkedip sebelum akhirnya mengucap kata keramat. "Yess! Terima kasih, Tuhan. JalanMu sungguh sangat mudah!" teriak gadis itu di keheningan malam.