"Ini aku, Jiu'an," kata Xing Jiu'an yang merasa agak jengkel. Dia lalu membuka bibirnya dan berjalan dengan langkah cepat.
Kakak Tertua juga melihatnya dan buru-buru menghampirinya. Dia bertanya, "Ada apa? Kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa saat mau pulang? Apa kamu melakukan sesuatu? Atau apakah si bocah Mu Qing tidak merawatmu baik-baik?"
Penampilan pria ini jelas-jelas terlihat seperti seorang pria yang berkharisma dan lembut. Meskipun pakaiannya sangat sederhana, tetapi dia tetap enak dipandang. Namun, pria ini saat ini sangat gugup dan cerewet, seperti seorang tua yang melihat anaknya dianiaya dan ingin membela anaknya setiap menit.
"Aku hanya ingin pulang dan melihat-lihat saja. Kak Mu Qing sangat baik padaku," jawab Xing Jiu'an dengan suara serak dan sengau.
Kakak seperguruan Xing Jiu'an yang tertua ini mengeluh lagi, "Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau pulang? Kenapa tidak memakai pakaian yang lebih tebal? Kamu tidak merasa kedinginan? Nanti kamu bisa Flu."
Sambil terus berbicara, Kakak Tertua itu melepas mantelnya dan memakaikan kepada Xing Jiu'an. Dia lalu membawanya pulang. Meski mereka sedang berada di atas gunung, namun tempat yang mereka sebut sebagai rumah sebenarnya merupakan sebuah tempat yang cukup besar. Kalau tempatnya tidak besar, guru mereka tidak mungkin memiliki begitu banyak murid. Terkadang, jika semua muridnya berkumpul, tak ada lagi tempat untuk menginap.
Tempat gurunya ini seperti sebuah istana yang besar, dengan arsitektur bergaya kuno dan area yang luas. Setelah masuk, pengunjung akan disambut oleh trotoar bergaya kuno, bebatuan, dan air mancur kecil. Deretan rumah yang panjang adalah tempat para murid tinggal dan setiap orang punya kamar pribadi. Rumah Xing Jiu'an sendiri berada di tengah-tengah. Karena dia masih muda, semua orang ingin melindunginya dan berada di sisinya. Tak lama kemudian, dia pindah ke rumah di samping gurunya. Keputusannya ini dianggap lebih adil.
"Guru, lihatlah siapa yang datang," ujar Kakak Tertua yang membawa Xing Jiu'an dengan senang.
Saat ini, tidak banyak murid yang tinggal di sini. Selain Kakak Tertua, hanya ada tiga orang dan seseorang yang masih muda, yang baru-baru ini diangkat menjadi murid oleh gurunya. Murid baru itu adalah seorang pemuda berusia sekitar 15 atau 16 tahun yang sangat lembut. Saat melihat kedua orang itu masuk, murid baru tersebut menyapa sang Kakak Tertua dengan hormat, tapi dia tidak mengenal Xing Jiu'an. Ketika dia mulai belajar di sini, Xing Jiu'an sudah pindah dari tempat ini.
"Ini kakak seperguruanmu…" Kakak Tertua memperkenalkan Xing Jiu'an kepada sang murid baru.
Pemuda itu menyapa dan memberi hormat kepada Xing Jiu'an dengan sopan. Xing Jiu'an adalah murid gurunya yang 21. Entah bagaimana sang guru menerima begitu banyak murid. Sedangkan murid baru ini adalah muridnya yang 25. Bisa dikatakan, setelah Xing Jiu'an, sang guru tidak menerima banyak murid lagi. Selama 10 tahun lebih, ditambah dengan sang murid baru yang ada di hadapan Xing Jiu'an, guru mereka hanya menerima empat murid. Banyak orang yang ingin menjadi murid sang guru. Namun dengan adanya begitu banyak murid, pemuda ini adalah murid pertama yang termuda, sedangkan murid kedua yang termuda adalah Xing Jiu'an.
Xing Jiu'an sama sekali tidak masalah jika dia dipanggil 'kakak seperguruan' oleh murid baru ini. Dia membalas salam dari sang murid baru, lalu pergi menemui gurunya.
"Guru…" sapa Xing Jiu'an dengan suara rendah.
"Untuk apa kamu masih berdiri? Cepat duduk dan cepat datang ke sini," sahut sang guru yang berpura-pura merasa tidak puas, tapi sorot matanya memancarkan kebahagiaan.
Sang guru pasti sangat senang. Meskipun memiliki banyak murid, tapi hanya Xing Jiu'an yang tumbuh dewasa dalam pengawasannya. Xing Jiu'an menjadi muridnya saat masih berusia tiga tahun. Di antara para murid sang guru, Xing Jiu'an adalah yang paling muda. Meskipun para saudara seperguruan sangat perhatian kepadanya, tapi Xing Jiu'an tumbuh dewasa di sisi gurunya.
Xing Jiu'an berjalan mendekat dan duduk di samping gurunya. Sang guru duduk di sebuah kursi tinggi. Di sampingnya, terdapat sebuah kursi yang lebih pendek, yang dikhususkan untuk Xing Jiu'an. Kebiasaan ini sudah biasa dilakukan sejak Xing Jiu'an masih kecil. Hal ini adalah satu-satunya privilese Xing Jiu'an.
Satu-satunya kakak seperguruan perempuan yang berada di sana membuatkan minuman jahe untuk Xing Jiu'an. Udara sudah mulai dingin dan dia harus menghangatkan diri.