"Lo yakin mau cari masalah sama gue?"
Arsena melangkah mundur. Dia takut dengan tatapan Arkala yang berubah.
"Lo mau ngapain?" tanyanya sedikit panik.
"Kenapa, hm? Kenapa lo menghindar? Bukannya lo yang mulai duluan?"
"Kala."
"Diem!"
Gavin menarik kembali tangannya yang terulur.
"Kala, lo jangan macem-macem. Di sini banyak orang yang bisa jadi saksi."
Arkala tersenyum miring dan membelai wajah Arsena. "Emang kenapa? Bagus dong, kalau banyak orang. Mereka bisa jadi saksi untuk hari yang paling berharga ini."
Arsena meneguk ludah dengan susah payah. Punggungnya menabrak dinding, dia sudah tidak bisa menghindar lagi.
Kedua mata gadis itu beredar, mencari keberadaan Aileen yang pergi entah ke mana.
"Kenapa? Lo cari Aileen, ya?" tanya Arkala.
Arsena benci dengan suara itu. Suara Arkala yang terdengar sangat lembut namun terasa panas di telinganya.
"Gue ingetin sekali lagi, lo jangan macem-macem."
"Gue nggak akan macem-macem. Paling cuma...."
Kedua mata Arsena terbelalak, saat wajah Arkala semakin mendekat. Dia tidak punya pilihan lain.
"Akh!"
Gadis itu menendang sesuatu yang berharga milik Arkala. "Udah gue bilang, jangan macem-macem." Arsena berlari keluar kelas, di saat Arkala tengah mengeluh kesakitan sembari memegang pangkal pahanya yang pasti berkedut nyeri.
"Aileen!"
Aileen yang masih berdebat dengan Matteo, seketika menoleh. "Sena?"
"Ayo pergi!"
Kedua gadis itu pergi begitu saja. Matteo curiga dan langsung kembali ke kelas.
"Kala!" pekiknya.
Arkala dibawa oleh Gavin dan Alvaro kembali ke kursi. "Pelan-pelan," ucap Gavin.
"Aakhh! Cewek sialan!" teriak Arkala ke arah pintu.
"Vin, Al, kenapa?" tanya Matteo, yang tidak tahu kejadian sebenarnya.
"Arsena nendang masa depan Kala," cicit Gavin.
Matteo mendesis sembari memasang ekspresi sakit. "Gimana Bos, rasanya?"
Arkala memukul lengan Matteo cukup keras. "Cewek itu harus gue kasih pelajaran yang cukup serius. Dia udah main-main sama gue."
***
"Sena, kita mau ke mana, sih?"
"Udah, lo ikut aja. Gue habis bikin masalah besar."
Aileen hanya bisa patuh. Arsena mengajaknya ke taman belakang sekolah yang sepi.
"Lo bikin masalah apa lagi sih, Sen?"
Arsena membuang napas kasar. "Gue udah bikin Arkala kehilangan masa depan."
Sontak kedua mata Aileen membulat sempurna. "Maksud lo? Lo udah perkosa Arkala?"
Arsena menoleh dan mengetuk dahi Aileen dengan pelan. "Isi otak lo apaan, sih? Bisa-bisanya lo berpikiran negatif kayak gitu."
"Terus maksud lo apa? Masa depan Arkala hilang? Gue nggak ngerti."
Sembari memanyunkan bibir, Arsena berjalan dan duduk di kursi yang berada di depan taman bunga. "Gue tadi habis nendang sesuatu yang berharga milik Arkala."
"WHAT? Maksud lo...."
Arsena mengangguk.
Aileen mengusap wajah kasar dan menggeleng tidak percaya. "Lo kerasukan setan apa sih, Sen? Berani banget lo bikin Arkala kesakitan. Apa lo nggak mikir, konsekuensinya bakal kayak gimana?"
"Gue tadi kepaksa, Ay. Dia sengaja mau nyudutin gue. Daripada gue di apa-apain, mending gue tendang. Sekali-kali cowok kayak gitu tuh harus dikasih pelajaran."
Aileen menghela napas berat dan menyandarkan punggung di sandaran kursi tersebut. "Lo harus banyak-banyak berdoa, supaya Arkala dikasih hidayah."
Tiga menit lagi bel berbunyi. Arsena dan Aileen memutuskan untuk kembali ke kelas, sebelum Bu Anna menegur mereka.
Ketika melewati kursi Arkala, Arsena sengaja memalingkan wajah ke arah lain. Dia tidak ingin mendapat tatapan intimidasi dari laki-laki itu.
"Yo, hubungan Arkala sama Sena bukannya membaik, tapi malah lebih buruk," ucap Gavin pada Matteo. Mereka sedari tadi tengah memperhatikan gerak gerik kedua manusia yang tidak pernah akur itu.
"Arsena terlalu berani. Kayaknya dia masih belum kenal Arkala. Cewek itu nggak ada takutnya sama sekali."
Iqbaal dan Eriko membalikkan tubuh ke belakang. "Menurut gue, mereka berdua bakal berjodoh," celetuk Eriko tanpa permisi.
"Kalian ngapain nimbrung di sini? Balik sono, nanti Bu Anna keburu dateng," titah Gavin mengibaskan tangan.
"Ih, sebentar. Kita juga pengin ikut gosip, kali," balas Iqbaal.
"Siapa yang lagi ngegosip, sih? Gue sama Teo itu lagi ngomongin kucing. Bukan gosipin orang."
Bibir Iqbaal mencebik kesal. Dia mengibaskan rambut ke arah Gavin dan kembali pada posisi semula.
"Idih, kepala udah hampir botak juga," cibir Gavin. Dia kembali memperhatikan Arkala dan Arsena bergantian.
"Sen, tumben banget si Kala cuma diem. Biasanya kalau ada orang yang ngelawan dia, pasti dia langsung marah."
Arsena tersenyum puas. "Itu artinya, dia udah kapok ngerjain gue, Ay. Gimana? Hebat kan gue?"
Aileen menggeleng tidak mengerti. Kadang dia berpikir, berapa nyawa yang Arsena miliki? Sejauh ini, dia cukup berani melawan dan menentang Arkala.
"Ay, Ay."
Aileen menoleh. "Lo kenapa? Muka lo kayak orang kaget gitu."
"Kayaknya pantat gue nggak bisa diangkat." Arsena berusaha beranjak. Namun kursi yang dia duduki ikut terangkat.
"Ya ampun! Pasti ada yang ngerjain lo, deh." Aileen berdiri dan membantu Arsena.
"Yo, mereka kenapa, tuh?"
Kedua mata Matteo memicing. Aileen terlihat sedang kesulitan membantu Arsena yang tidak tahu kenapa.
"Gimana?"
"Nggak bisa." Arsena mulai panik. Dia menatap Arkala yang tengah melambaikan tangan sembari tersenyum ke arahnya.
"ARKALA!"
Teriakan Arsena membuat seisi kelas menoleh ke arahnya. Gadis itu menghampiri Arkala dengan kursi yang masih menempel di bokongnya.
Suara gelak tawa memenuhi seisi kelas.
"Heh, kalian jangan ketawa!" teriak Aileen, menahan teman-temannya yang kurang ajar.
"Kenapa, hm? Lo kangen sama gue? Sampai lo nyamperin ke sini?"
Napas Arsena memburu. Kedua tangannya mengepal di samping wajah Arkala sambil menggeram.
"Elo kan, yang udah lakuin ini? Pasti lo yang udah naro lem di kursi gue. Iya, kan?"
Arkala merapikan kemeja seragamnya dan berdiri di hadapan Arsena. "Kalau iya, kenapa?" ucapnya sinis.
"Lo gila! Kalau kursinya nggak bisa lepas, gimana?" Arsena membentak Arkala di depan wajahnya langsung.
"Gue nggak peduli. Suruh siapa lo berani sama gue?"
Arsena memejamkan kedua mata. Ingin sekali dia mencakar wajah Arkala yang jelek tak beraturan. Mengapa ada para gadis sampai tergila-gila pada lelaki itu?
"Pokoknya lo harus tanggung jawab! Masa gue harus bawa kursi ini ke mana-mana? Fiks lo gila!"
Arkala mengangkat bahu tidak peduli. "Urus aja diri lo sendiri."
"Tapi lo----"
"Ikut gue."
Arkala dan seisi kelas sebelas IPS dua dibuat terkejut dengan kehadiran seseorang. Dia mematung, tatkala melihat Arsena dibawa pergi oleh Rangga, ketua tim basket SMA PASUTRI.
"Gerak cepat juga si Rangga," gumam Alvaro.
Arkala kembali duduk dengan hati bertanya-tanya. Ada hubungan apa di antara mereka?
Gavin dan Iqbaal berlari ke arah pintu sembari bertepuk tangan meriah.
"Ternyata selama ini Arsena punya hubungan sama ketua tim basket sekolah kita, Baal?"
"Kayaknya sih gitu, Vin. Dan si Rangga datang di saat yang tepat."
Arkala membuang wajah ke arah lain. Tidak tahu kenapa, dadanya merasa sedikit sesak. Apalagi mendengar obrolan Gavin dan Iqbaal seperti yang disengaja.
"Kira-kira, Arsena mau dibawa ke mana, ya?"