Baixar aplicativo
3.8% Istri Termahal Tuan CEO / Chapter 16: Rasa Sakit yang namanya Cinta Pertama

Capítulo 16: Rasa Sakit yang namanya Cinta Pertama

Mia diam-diam menelan air liur, menutupi semua emosi yang dirasakannya saat itu. "Bukannya kamu sendiri yang minta tadi malam…." Suaranya sedikit kesal.

Tiba-tiba, Mia bersyukur telah mengenal Petra selama lebih dari setahun, jadi dalam suasana hati apa pun yang sedang dirasakannya, dia dapat langsung mengubahnya menjadi kesenangan untuk menghibur Petra.

Benar saja, Petra tersenyum miring dengan licik, melangkah maju, dan memeluk Mia dan menciumnya. "Terserah katamu saja…. Kalau kamu bilang sedikit sedih karena aku tidak kembali dua hari ini, aku akan lebih bahagia."

Sudut-sudut mulut Mia berkedut. "Lalu jika aku benar-benar mengatakan itu, tidakkah menurutmu aku terlalu serakah?"

"Yah, mungkin." Petra mengangkat alisnya. "Tapi aku akan tetap merasa sangat bahagia." Dia memberi senyum memikat, lalu melepaskan Mia dan berjalan keluar.

Pergi dengan santainya, sama seperti ketika datang….

Petra lahir dengan sifat angkuh yang alami; bukan hanya karena identitasnya sebagai anggota keluarga terpandang dan pewaris dari Grup Kaisar, tetapi juga karena dia ibarat seorang legenda di Jakarta.

Dia memiliki identitas, pendidikan, penampilan, dan uang…. Orang seperti itu tentu dengan sendirinya lupa bagaimana menempatkan orang di hadapan mereka, dan hanya tahu caranya membuat orang mengikuti jejak mereka.

Mia tidak bisa memikirkannya, dan dia duduk di sofa dengan tubuh sedikit lemas….

Hidungnya terasa sangat tergelitik, dan matanya tampak bengkak…. Sesuatu perlahan menghalangi pandangannya dan mengaburkan dunia.

Mia meringkukkan kakinya, memeluk lengannya, dan membenamkan wajahnya di dalam dekapannya.

Apakah ada orang yang bisa mati lemas karena menyebut nama orang?

Wira. Nama ini dulunya identik dengan kebahagiaan dan kegembiraan di masa lalu Mia. Tapi dua tahun yang lalu, semenjak malam ketika dia kehilangan segalanya, nama itu menjadi rasa sakit yang tak tersentuh.

"Wira, ternyata menunggu itu tidak semudah yang kubayangkan. Maaf, aku sudah menemukan orang lain dalam hidupku…. Kita putus saja!"

Tidak ada yang tahu seberapa sulitnya dia mengirimkan pesan itu. Rasanya seperti ada pisau yang menusuk jantungnya begitu kuat hingga dia hampir tidak bisa bernapas karena kesakitan.

Air mata yang panas mengalir dari rongga matanya, perlahan-lahan membasahi pipi, mengalir ke sudut mulutnya, dan rasanya benar-benar asin.

Tubuh Mia mulai gemetar. Meskipun dia sudah menduga hari itu akan datang sejak lama, dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.

Sungguh hubungan yang konyol. Mantan kekasihnya itu menjadi keponakan suaminya?

Sepanjang hari, Mia tidak tertarik dengan apa yang dia lakukan. Wajahnya lesu, dan matanya sedikit merah. Suasana seluruh tim hari ini menjadi sedikit tertekan karena sikap Mia yang hening.

"Fira, kamu coba mengobrol dengannya, sana…." Layla tidak tahan dengan suasana yang mencekam itu dan mengerling pada Fira agar menanyakan apa yang terjadi.

Fira buru-buru menggelengkan kepalanya dengan wajah enggan. "Tidak, ah. Kak Mia sepertinya bisa membekukan orang lain sampai mati hari ini."

"Aku tidak tahu apa yang terjadi," Layla meletakkan tangannya di pipinya. "Semua orang sudah melihatnya, bahkan staf OB juga."

Andini melihat melalui kaca pada Mia yang berada di ruang kerja tim desain dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Menurut perkiraanku… dia sedang putus cinta."

Dengan suara, "Sst!" semua orang memandang Andini, masing-masing menatap dengan mata lebar, seolah-olah tahu cerita di balik sikap Mia.

Andini duduk tegak dan memandang ketiga orang itu dengan gugup. "A-aku hanya menebak…."

Semua orang berhenti berbicara, saling memandang, dan kemudian mengedikkan bahu. Sebenarnya, ekspresi Mia hari ini memang terlihat seperti orang yang putus cinta, atau orang yang baru saja dicampakkan pagi itu.

Namun, suasana hatinya saat ini sebenarnya mirip dengan perasaan hancur karena cinta. Rasa tertekan yang telah dihindarinya selama hampir dua tahun itu, meledak seketika ketika mendengar nama yang dilontarkan Petra pagi ini.

Mia tidak tahu bagaimana dia bisa pulang kerja. Dia keluar dari lift seperti orang yang telah kehilangan jiwanya. Dia bahkan tidak pergi untuk melihat tombol lantai, dan ketika mencapai lantai pertama, dia keluar. Dia tidak pergi ke tempat parkir bawah tanah.

Mengikuti orang-orang keluar dari lift, ketika sudah berdiri di luar gedung kantor, Mia tanpa sadar melihat ke langit. Cuaca baik-baik saja tadi pagi, dan tiba-tiba sekarang menjadi suram, seolah-olah badai akan datang.

•••

Seattle, Amerika Serikat, adalah kota hujan. Kota yang seakan bermandikan hujan selama lebih dari setengah tahun.

Berdiri di dalam sebuah bangunan putih kecil bergaya barat, Wira menyaksikan gerimis di luar. Sebersit ketidakpedulian muncul di wajahnya yang datar, dan tidak ada perasaan di matanya.

"Kau mau pulang tiba-tiba. Kenapa? Biasanya kau tidak mau?" Temannya, Aryo membuka pintu dan memandang punggung Wira yang indah. Dia bersandar ke pintu dengan lengan disilangkan di depan dadanya.

Wira menyipitkan mata, mengeluarkan tangan yang terkepal di dalam saku celananya. Sudah ada sebuah cincin di telapak tangannya. Sebuah cincin emas putih, tanpa pola yang rumit, tetapi ada huruf "M" di lingkaran dalamnya.

Di matanya yang perlahan membuka, muncul kesan sedih yang samar. Wira tiba-tiba mengepalkan tangannya, dan dengan erat menggenggam cincin itu di telapak tangannya. Begitu erat seolah ingin mendekatkan cincin itu ke pembuluh darah yang terhubung ke jantungnya.

Merasakan aura yang tidak biasa dari temannya, Aryo sedikit mengernyit, "Kenapa? Kamu tidak ingin kembali?" dia berhenti sejenak, "Atau... takut untuk kembali?"

"Yo, aku masih ingat kejadian di bandara saat kita datang ke sini dulu...." kata Wira dengan suara serak. "Mungkinkah… semua perasaan itu hilang ditelan jarak?"

Aryo menghela napas. "Sungguh. Aku tidak percaya bahwa Mia begitu cepat berpindah ke lain hati."

Pada saat itu, di kampus, siapa yang tidak kenal Wira yang merupakan mahasiswa magister desain arsitektur, dan Mia yang merupakan bunga kampus? Yang dingin dan sombong seperti bunga di tengah salju, dan tidak memperhatikan siapapun dan memandang siapapun….

Namun, gadis seperti itu menjadi lebih hangat karena Wira….

Hubungan mereka sangat terkenal. Keduanya adalah mahasiswa yang berpengaruh. Yang satu dingin, dan yang lainnya tersenyum dengan sama dinginnya, tetapi ketika keduanya bersatu seperti itu, semua orang merasa bahwa mereka dilahirkan untuk satu sama lain.

Dalam kurun waktu kurang dari setahun, Mia mengatakan bahwa dia jatuh cinta dengan seseorang dan ingin putus dengan Wira…. Tanpa memberikan ruang untuk meminta penjelasan, telepon ditutup. Mia kemudian mengganti nomornya. Namun sebenarnya, hal ini tidak aneh.

Wira masih ingat bahwa ketika hujan deras di Seattle hari itu, dia sudah memesan tiket untuk kembali ke Jakarta seperti orang gila, tetapi untunglah dia memberitahu orang lain.

Aryo tidak ingin mengingat kejadian itu. Dia selalu merasa ingatan itu terlalu berat. "Kalau kamu tidak bisa melepaskannya, tanyakan dengan jelas padanya ketika kamu kembali nanti."

Terlepas dari apakah rasanya menyakitkan atau sulit, semuanya harus dijelaskan, bukan?


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C16
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login