Baixar aplicativo
85.18% Petak Umpet Joe / Chapter 23: Dalang Sebenarnya Adalah

Capítulo 23: Dalang Sebenarnya Adalah

"Hey ayolah bermain denganku sekali lagi kenapa kau diam saja, siapa yang kalah satu mata akan ditusuk paku berkarat. Gimana? ringan kan peraturannya?"

***

"Stop!" Teriak Haqi

Haqi berdiri dengan tangan terjulur menghentikan langkah seseorang yang membawa Eugine. Orang tersebut membelakangi Haqi, tangan kanannya mencengkram rambut Eugine yang tersungkur sambil mengerang kesakitan.

"Lepasin gue. Tolong." Eugine menangis, dia tidak kuat melawan.

"Lo nggak bakal ngelakuin itu Zak." Pinta Haqi.

Seseorang tersebut berbalik. Haqi sudah mengetahuinya. Rasa curiga sejak awal bahwa semua perbuatan ini adalah ulah Zakky. Zakky yang membunuh Ulvan. Tapi kali ini berbeda, raut muka Zakky terlihat ketakutan.

"Kenapa lo ngelakuin semua ini?"

"Kenapa gue?! Bukan gue yang ngelakuin ini semua!!" kata Zakky setengah marah

"Kalo bukan karena orang itu gue ngelakuin ini! Kalo bukan orang itu semua masalah nggak bakal dateng. Brengsek."

Mata Zakky berkaca-kaca. Ia mengatakan dengan nada sedih. Haqi tidak tahu maksud perkataan Zakky barusan. Ada orang yang menyuruh Zakky. Tapi siapa? Dan apa hubungannya dengan Eugine.

"Gue nggak ngerti maksud lo apaan, Zak. Yang jelas apa yang lo lakuin itu salah. Eugine nggak ada hubungannya! Kalo lo masih ngelakuin ini, lo nggak ada bedanya ama binatang! Sama-sama nggak punya akal!"

"Gak ada hubungannya ama Eugine? Orang itu brengsek, yang nyuruh gue bunuh Eugine sekarang juga. Lo nggak bakal paham Haq. Lo nggak bakal paham gimana cara mainnya! Orang itu gila! Kita semua nggak bakal selamat kalo kita nggak nurutin apa maunya."

Tangan Zakky siap menjatuhkan Eugine dari atap gedung.

"Ya, emang. Gue emang binatang. Tapi gue nggak munafik."

"Siapa? Emang siapa yang nyuruh lo?" tanya Haqi mendekat perlahan. "Diem lo! Jangan coba-coba deket!" Seru Zakky. Cengkraman tangannya semakin kuat. Haqi mulai kehilangan emosi. Ingin rasanya Haqi menghajar Zakky hingga babak belur.

Berberapa saat kemudian Yasmine dan Citra tiba di atap gedung. Mereka terkejut melihat Zakky ternyata pelaku semua hal ini. Eugine melihat ada kesempatan langsung mengambil batu lalu menghantamkannya ke arah Zakky. Eugine merangkak menjauh segera mungkin

"Tolong!" teriak Eugine. Dalam sekejab Haqi berlari menerjang Zakky. Haqi menduduki tubuh Zakky dan langsung membenturkan kepalanya tanpa ampun.

"Lari!! Lari!!" teriak Haqi menyuruh Citra membawa Eugine ke tempat lain sementara Haqi mengurus Zakky.

Citra Yasmine membopong Eugine yang kesulitan berjalan menuruni anak tangga pergi menjauh atap. Yasmine menyalakan senter ponsel. Mereka bertiga menyusuri lorong demi lorong untuk turun ke bawah. "Kanan." Kata Citra mengingatkan jalan. Kondisi Eugine mengkhawatirkan, matanya sudah tidak kuat melihat apapun. Pergelangan kaki kanannya patah akibat diseret naik tangga. Hanya Citra dan Yasmine lah Eugine pasrah mau dibawa kemana.

Saat sudah di luar gedung, Citra bingung harus berjalan ke mana. Sementara suasana menegangkan menyelimuti mereka. Masih ada psikopat di luar sini. "Gudang, kita perlu ke gudang. Kaki Eugine perlu cepet ditangani."

Yasmine mematikan senter ponsel miliknya. Situasi kurang bagus kalau berjalan ke tengah lapangan. Seperti biasa kami memilih berjalan di antara pepohonan.

Saat sampai di gudang penyimpanan. Pintu ditutup rapat, meja dibersihkan, kertas-kertas di susun sebagai alas Eugine berbaring. Yasmine kembali menyalakan senter berdiri di depan Citra. Wajahnya cemas melihat posisi kaki Eugine yang tidak simetris. Ada bekas memar di berberapa bagian. Karena frustasi tidak menemukan yang dibutuhkan di ruangan ini, Citra merobek kain dari celananya sendiri. Saat Citra menyentuh bagian memar, Eugine secara sepontan kesakitan.

"Jangan gerak. Tahan sebentar." Pinta Citra

Pendarahan lumayan banyak, Citra memberikan sedikit tekanan di area luka agar pendarahan sedikit berkurang. Lalu ia secara berhati-hati membalut pergelangan kaki dengan kain. Eugine merintih kesakitan. Matanya bercucuran air mata. "Tolong tumpuk angkat kursi itu." Citra akan melakukan pembidaian. Terakhir, Citra mengikat pergelangan kaki dengan kayu lalu posisi kaki ditinggikan. Hal ini bertujuan agar mengurangi gravitasi darah mengalir ke area patah tulang. Alhasil pendarahan sedikit berkurang.

Eugine masih menahan sakit. Dengan cepat Citra berkata, "Lo nggak usah khawatir pendarahannya udah berkurang. Untuk sementara jangan turunin dulu kaki lo."

"Ulvan-" kata Eugine memegang tangan Citra. Ia tahu apa maksud perkataan Eugine. Seorang teman tewas di depan mata kepala sendiri adalah sebuah trauma yang sangat hebat. Eugine menitihkan air mata. Rasa sesak terasa diantara mereka bertiga. Yasmine juga ikut menangis. Napasnya tak beraturan, ia mencoba tidak terisak-isak. Tapi gagal. Citra juga ikut menitihkan air mata. Citra memeluk Yasmine dan Eugine.

Suasana menjadi sahdu.

***

"Anjing lo!!" Teriak Haqi penuh emosi menghajar Zakky. Zakky mendorong pinggul Haqi hingga terjatuh. Zakky melayangkan berberapa tinju tepat menghantam pelipis Haqi. Haqi mundur sebentar menghindari tinju Zakky, dalam sekejab ia mencengkram leher Zakky lalu dibanting ke tanah. Zakky batuk. Berusaha berdiri kembali, ia melompat menendang dada Haqi. Perbedaan postur tubuh membuat Zakky tersudut. Haqi lebih besar dari Zakky, tapi Zakky masih bisa melakukan perlawanan ketat. Di berberapa kesempatan Zakky berhasil menghantam dagu Haqi ke atas.

Baku hantam masih berlanjut. Zakky jatuh tersungkur kesekian kalinya. Zakky mengeluarkan darah dari mulut. Saat ia meludah, keluar satu buah gigi taring. Haqi kembali menghajarnya tanpa ampun.

Zakky tertawa. Ia terlihat suram

"Bangsat. Bangsat!! Bangsat!! Emang bangsat lo pada! Lo semua tolol nggak dengerin omongan gue!!" Kata Zakky. Haqi tidak merespon. Tanpa basa-basi Haqi lalu melayangkan tinju di perut Zakky hingga raut wajahnya melotot kesakitan. "Diem lo anjing. Orang kayak lo yang seharusnya mati."

Leher Zakky dicekik. Lalu diangkat ke atas. Haqi hendak melempar Zakky dari atas gedung. Zakky meronta-ronta memukul tangan Haqi. Namun sayang usahanya tidak membuat cengkraman tangan Haqi kendur sedikitpun. Haqi murka.

"Ini salah lo. Dan gue cuma bales apa yang lo buat." Tegas Haqi. Zakky mengerang. Mulutnya meludah ke wajah Haqi. Ia berusaha memprovokasi. Tidak hanya itu Zakky menendang perut Haqi berkali-kali. "Lo gak paham rasanya!! Lo nggak paham!!" Teriak Zakky emosi.

"Apanya!! Apanya yang nggak paham!!"

"Lo yang bunuh Ulvan. Terus apa yang gue nggak paham? Hah!! Lo masih mau ngelak?" balas Haqi dengan teriakan.

Kini Zakky sepenuhnya terangkat keluar pembatas gedung. Hanya cengkraman Haqilah Zakky bergantung. Saat Haqi melepas cengkramannya, lepas sudah Zakky terjun bebas ke bawah. "D-dia gila. Orang itu gila. Dia bukan temen k-kita H-haq, dia nggak bakal ngebiarin kita hidup k-kalo nggak nurutin apa maunya."

Wajah Zakky ketakutan sesekali melihat ke bawah.

"T-tolong. Gue cuman-n ngelakuin perintah psi-kopat itu. Gue c-cuman pengen tetep h-hidup, lo juga k-kan? G-gue nggak s-salah-"

"Bacot!!" sergah Haqi memotong perkataan Zakky.

"Hidup, hidup pala bapak kau pengen hidup! Nurutin perintahnya itu berarti lo udah gila. Lo gila sampe mau bunuh temen sendiri."

"Gue nggak munafik Haq! Emang gue binatang. Tapi gue nggak bohongin diri gue sendiri sok berlagak nyelametin orang lain padahal dirinya sendiri nggak pengen." Zakky susah payah menjelaskan.

Haqi tak merespon. "Kalo gitu selamat tinggal-"

Belum habis Haqi berbicara sebuah anak panah menembus punggung Haqi. Jleeb!!

Perlahan mulut Haqi mengeluarkan darah. Cengkraman Haqi terlepas, Zakky segera menggapai pembatas gedung. Tubuh Haqi ambruk. Dengan mata terbuka Haqi seketika tewas.

Di balik pintu, keluar seseorang menggenggam crossbow dan parang. Sosok itu terlihat tersenyum senang. Perempuan berkulit pucat dengan bercak darah di sekujur tubuh. Saat Zakky naik sepenuhnya perempuan itu berdiri tepat di depannya. Zakky menoleh ke atas dengan wajah ketakutan. Tubuhnya kaku.

"Halo." Kata perempuan tersebut.

Zakky tidak berani menatapnya lagi. Ia sepenuhnya menunduk.

"Halo." Ulangnya sambil berjongkok. Kini wajah Zakky berhadapan dengan perempuan itu. Terlihat banyak bekas luka sayatan di pelipis kanan. Matanya merah menyala menatap tajam ke arah Zakky. Zakky menelan ludah. "H-Ha-lo." Kata Zakky terbata-bata. Kengerian itu memacu detak jantung Zakky dua kali lipat. Ia bertemu sosok yang tak pernah ingin ia temui.

Sadar dengan situasi saat ini bahwa perempuan itu menemuinya untuk menagih janji, Zakky segera bersujud lalu berkata. "Ampun, ampunin gue. Di-dia lari. G-gue u-u-dah bunuh Ulvan. "

Perempuan itu menghunus parang ke leher Zakky. Genggaman tangannya yang kuat mengisyaratkan bahwa ia menahan amarah.

"Aku mau Eugine, sayang. Bukan Ulvan. "

"Habis ini! Habis ini gue cari sampe ketemu lalu gue bunuh detik itu-"

"Sssttttt!!! Ssstttt!!!"

Perempuan itu mengusap kepala Zakky. Zakky semakin gemetar. Napasnya naik turun kacau. "Iya, sayang. Habis ini cari dia sampe ketemu."

"Sungguh?!" Zakky bangun dari sujudnya. Kepalanya menengadah ke atas. Tepat saat itu. Satu tebasan cepat dengan senyum simpul perepuan itu lakukan.

Claaarrsssshh!!!

"Waktu sudah habis, sayang. Kamu ingkar janji." Perempuan itu menggorok setengah leher Zakky. "Aggh! Aggh!" Zakky refleks memegang lehernya. Darah muncrat kemana-mana. Perempuan itu tertawa kencang sekali, sementara Zakky terbaring tersiksa hingga maut menjemput dengan kondisi mengenaskan. Di atas dua mayat tersebut perempuan itu kembali mengayunkan parang menebas tubuh Zakky dan Haqi. Ia memutilasi tubuh mereka, kepala terpenggal, mata dicongkel, telinga ditarik paksa hingga terlepas. Darah menggenang di seluruh area atap.

Perempuan itu tertawa saat melakukannya. Dia menikmatinya, aroma darah baginya adalah parfum ruangan terbaik yang saat ini ia rasakan. Suara tebasan parang ke tubuh seseorang baginya adalah sebuah mainan. Layakya sebuah boneka bongkar pasang, mayat orang adalah boneka terbaik ia mainkan.

"Citra. Citra. Hihihi. Tunggu aku kak." Kata perempuan itu seraya menancapkan parang menembus kepala Haqi.

***

Suasana Hening. Gelap dan sunyi. Aku perlahan membuka pintu dan masuk mengendap-endap. Tsaqib dan Kausar menungguku di lantai atas. Aku bergegas menuju tempatnya.

Napasku masih berantakan. Meski berlari-lari sebentar menuju gedung ini rasanya sangat menguras tenaga. Aku mencoba menenangkan diriku sejenak, lalu lanjut menaiki anak tangga. Saat sudah sampai di lantai tiga aku menyalakan senter. Bingung, mencari mereka berada di mana.

"Qib."

"Ssstt ssttt." Suara seseorang bersiul. Aku menoleh ke arah suara. Suaranya berasal di lorong kanan. Saat berada di arah balkon, seseorang menarik lenganku dengan cepat. Aku refleks menoleh. Itu Tsaqib yang bersembunyi di balik dinding.

"Udah?" Tanya Tsaqib.

"Udah." Jawabku sedikit bersuara pelan. "Kausar mana?"

"Nggak tahu. Belum balik."

"Maksud lo?"

"Tadi katanya keluar bentar, ngecek sesuatu. Sampai sekarang belum balik." Gumam Tsaqib menoleh ke arah lorong. Aku setengah kaget, Kausar ngecek apaan coba di gedung ini. Masalahnya aku sudah datang, eh Kausar malah hilang.

"Lo udah nyamperin Kausar?"

"Belum."

"Mampus." Aku beranjak keluar ruangan, hendak menyusul orang itu tapi sekali lagi lenganku dicengkram Tsaqib. "Lo gila apa? Psikopat itu udah mau ke sini. Lo mau gagalin rencananya bal?!" seru Tsaqib.

"Justru itu, kita gak tau yang dicek Kausar itu apa?! Kalo orang sinting itu gimana?"

Aku melepas paksa cengkraman Tsaqib. Keluar ruangan dengan cepat.

"Gue ikut." Cegah Tsaqib. Aku tersenyum.

Kami berdua mencari ke lantai dua. Memeriksa satu persatu lorong hingga ujung balkon. Tidak ada jawaban sama sekali. Hanya suara langkah kaki kami berdua yang terdengar. Kausar hilang begitu saja. Aku semakin cemas apa yang sebenarnya terjadi padanya.

sepuluh menit mencari masih tidak ketemu. Tidak menyerah kami menyisir kembali lantai dua.

"Yakin lewat sini?" tanya Tsaqib.

Aku tidak menjawab. Berjalan lebih cepat di depan.

Saat senter mengarah kedepan ada sesuatu bergerak cepat dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Aku menggigit bibir. Tidak jelas apa itu karena jarak kami lumayan jauh di ujung lorong.

"Kausar?"

Aku menoleh ke Tsaqib. Menelan ludah. Tidak ada jawaban, Tsaqib memutuskan maju ke depan sedangkan aku berada di belakang. Aku menoleh ke arah tangga, tidak ada bunyi apapun. Keadaan semakin tegang.

"Sar, kalo itu lo ini nggak lucu sumpah." Saat Tsaqib menengok ke dalam ruangan, dia dikagetkan satu pisau menancap cepat di dadanya. "Qib!!" teriakku. Satu orang keluar dari ruangan tersebut lalu melompat menghajar Tsaqib. "BANGSAT!!!" Tsaqib menatap tembok, lalu mendorong orang tersebut, ia terpental ke samping. Tsaqib lalu mencabut paksa pisau di dadanya dan hendak berbalik menusuk orang tersebut.

Aku berlari secepatnya, mengambil batu besar mengangkatnya tinggi kemudian menghantamkannya ke kepala Tsaqib. Brakk!!!

Tsaqib terkejut. Tubuhnya linglug karena mengeluarkan banyak darah. Kepalanya bocor. "JADI SEBENARNYA LO SAMA RAYYAN, BAL!"

Aku tertawa. Akan kubunuh Tsaqib kali ini.

Saat lengah, dengan cepat aku merebut pisau dari tangan Tsaqib. Mengayunkan sekuat tenaga menyayat kedua lutut Tsaqib. Tsaqib mengerang kesakitan, tubuhnya ambruk. Tsaqib hendak mencengkram tubuhku, aku menghindar ke belakang berancang-ancang menendang kepala Tsaqib.

Brakk!!

Kaki kananku tepat menendang wajah Tsaqib. Rayyan bangkit kemudian ikut menendang wajah Tsaqib. Alhasil dari hidung Tsaqib keluar darah menetes ke lantai. Tak menyerah Tsaqib kembali mengayunkan lengannya, dengan cepat Rayyan memukul perut Tsaqib sekencang mungkin. Akibatnya pukulan Tsaqib tidak sampai kepadaku.

Dengan napas naik turun Rayyan berkata. "Padahal kena dada, tapi masih bisa ngelawan, bajingan ini." Rayyan mengambil balok kayu lalu kembali menghantamkannya ke wajah Tsaqib.

"Fiiuuhh. Gini kan enak,"

"Udah. Cukup." Kataku mendekat ke wajah Tsaqib yang sudah tak berdaya. "Brengsek." Kata Tsaqib lengah. Aku nyengir penuh rasa senang melihat ini. Rasanya lega sekali melihat seseorang berdarah-darah lemah gemulai. Aku menghela napas lalu nyengir lebar. Ekspresiku berubah 180 derajat. "Memang. Memang ini semua rencana gue! Hahaha! Mampus lo!"

"Bodoh banget lo semua percaya omongan gue!!" aku tertawa lepas kali ini. Ini yang kutunggu-tunggu. Permainan berjalan sesuai rencana. Semua sesuai perkiraanku.

"Bodoh.. bodoh.. gue yang mainin, gue juga yang ngejalanin. Dan lo semua percaya ama gue!! Hahaha!! Hahaha!! Tapi nggak papa lah, setidaknya semua udah mati Qib. Dan lo bakal nyusul mereka ke alam sana."

"Ehem. Ehem. Btw thanks ya udah susah payah buat jebakan di atas sana, padahal ya itu cuman akal-akalan gue buat nyamperin Rayyan dan bilang kalau di gedung ini cuman ada lo sama Kausar. Dan Kausar....udah mati dibunuh Rayyan....Hahahahaha!!"

Aku meninju wajah Tsaqib lagi. Matanya merah melotot, masih tidak terima semua terjadi seperti ini.

"Lihat gue!! Lihat gue anjing!!" teriakku. Tsaqib menoleh menatapku.

"Nah, gitu dong. Jadi anjing harus nurut." Aku menepuk kepala Tsaqib.

"Gue, jujur nggak ada dendam sama lo Qib. Cuma, kebetulan lo ikut permainan ini... jadi lo harus dibunuh. Maaf ya." Aku tersenyum ramah. Menyerahkan pisau ke Rayyan. Rayyan mengambilnya, aku mundur ke balakang. Satu tebasan cepat leher Tsaqib seketika tergorok mengeluarkan darah segar. Tsaqib kesakitan. Tubuhnya kejang-kejang. Rayyan menepuk pundak Tsaqib. "Sampai jumpa." Ia mengucapkan salam perpisahan.

Aku dan Rayyan meninggalkan Tsaqib tergeletak sekarat.

"Semuanya udah siap?" tanyaku mengusap darah yang mewarnai tangan.

"Sudah. Citra udah makan umpannya. Tapi dia kayaknya udah paham apa akibatnya kalo keluar lewat pagar."

"Berarti dia udah paham isi gudang ya. Gak masalah, yang penting dia masih hidup."

"Ya."

"Lo udah ketemu Vivi?" tanyaku.

"Udah, katanya dia punya janji sama Zakky." Rayyan memberikan satu pisau kecil kepadaku. Aku menyimpannya di saku belakang. "Zakky ya, sayang banget dia jadi mainan Vivi." Aku tersenyum. Kejadian di menara sebelumnya saat aku menemui Zakky tidak berkata demikian. Justru sebalikya, karena ia tahu sebagian permainan hanyalah kebohongan aku mengancam Zakky bila membocorkan rencana kami, maka aku tak segan-segan membuatnya mati menderita. Tapi syukurlah, dia jadi anjing penurut.

"Berarti sisa Haqi, eh Haqi sama Zakky udah diurus Vivi. Sisanya berarti Yasmine, Citra, Eugine." Kataku menekuk lengan. Sekarang bisa sedikit santai.

"Meira gimana?"

Rayyan menunjuk keluar jendela. Ke dua gedung seberang. "Dia udah sama Jennie. Gue udah nyuruh Jennie jaga Meira." Aku menoleh. "Oh, bukannya lo bilang Meira sendirian di gudang."

"Iya, Meira lepas dan hampir ketemu Vivi. Jadi gue suruh Jennie jaga."

"Lo ancem?"

"Iyalah. Ya kali gue ngomong baek baek."

Akhirnya akting ini akan berakhir. Dendam akan terbalaskan.

Aku melihat ke arah bulan lalu berdeham sebentar, malam ini sungguh melelahkan. Aku harus memikirkan cara membunuh Jennie kemudian hari. Agar semua jejak menghilang. Tapi itu bukan masalah, kali ini aku ingin menemui Meira.

"Tunjukin gue jalan ke Meira." Kataku pada Rayyan. Aku berencana mengeluarkan Meira dari area asrama. Membawanya pergi keluar wilayah ini, dia tidak ada hubungannya atas semua ini. Ini semua masalah dendam kusumat pada seseorang. Dan seseorang tersebut sudah membuat masalah pada keluargaku.

***


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C23
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login