"Oh? Oke, baiklah," kataku menanggapi. Tidak perlu terlalu banyak menanggapi ucapannya karena semakin membicarakannya, aku akan merasa kesakitan.
Namun Hendrick menatapku seakan aku ini mangsanya. Bukan ingin melahap, lebih kepada mengintimidasiku. Aku jadi salah tingkah di hadapannya.
"Apa kau sedang baik-baik saja? Kau tidak terlalu senang dengan keterlibatan Sera ke Paris," katanya bertanya.
Kukedikkan bahuku. Aku mencoba menjadi seorang yang jujur terhadap hal yang tak suka. Tapi aku juga mencoba menutupi perasaanku yang sebenarnya dari Hendrick.
"Memang tidak terlalu senang. Kupikir Olive akan semakin tidak menyukainya jika kau memaksa kehendak untuk Sera tetap ikut," balasku.
"Kupikir kau dan Sera tak pernah ada masalah, Mayleen. Urusan Mom, biar aku yang tangani," katanya.
Hendrick terdengar sangat tidak suka begitu tahu aku tak terlalu menyukai Sera. Padahal ia sendiri pun melakukan hal yang sama ketika aku bersana Steven.
"Yah, jangan terlalu dipikir. Toh, aku suka atau tidak dengan Sera, tidak akan memperburuk hubunganmu, kan?"
***
Pekerjaan yang sibuk membuatku lupa bahwa jam hampir menunjukkan waktuku untuk berkemas. Maksudku pulang. Aku pun segera merapikan meja kerjaku seadanya lalu menuju toilet untuk bercermin. Namun belum benar-benar sampai toilet, aku dikejutkan oleh suara yang tidak asing di telingaku.
"Sekarang juga aku mau bertemu dengan Mayleen!" serunya.
Kuhentikan langkahku untuk menoleh dan memastikan bahwa suara itu bukan milik Sera. Tapi sayangnya, dia benar-benar Sera.
"Maaf, waktu jam kerja akan selesai lima belas menit lagi, jadi Anda bisa menunggu sebentar lagi," jawab si resepsionis, Anna.
Tanpa mempertimbangkan apapun juga, aku pun segera ke arah resepsionis. Menyuruh Anna untuk mengabaikannya sementara aku menatap Sera yang menatapku dengan tatapan bencinya.
"Ada apa ini, Sera? Kau datang ke kantorku tanpa memberitahuku lebih dulu," tanyaku.
Ia berkacak pinggang di hadapanku. Pakaiannya yang serba minim ini tentu menjadi sorotan bagi rekan kerjaku yang lalu lalang.
"Kau akan ke Paris, heh? Siapa yang menyuruhmu ikut? Kau ingin menjadi pengacau untuk hubunganku dan Hendrick? Aku sudah lelah ya, mengalah denganmu!" katanya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak ia tanyakan di kantorku.
"Apa Hendrick tahu kau ke sini?" tanyaku pelan.
Sera malah berdecak dengan senyuman liciknya. "Kenapa? Kau ingin melaporkanku padanya?"
Aku menghela napasku. Untungnya aku tidak merasa malu diperlakukan begini. Jadi hal seperti ini kuanggap biasa saja.
"Well, kau pasti tahu aku ikut ke Paris dari Hendrick, bukan? Kenapa tidak kau tanyakan juga siapa yang menyuruhku ikut, Sera?"
Sera menggeram kesal, tapi saat itu juga aku langsung meninggalkannya dan tidak mempedulikannya. Waktuku akan terbuang sia-sia jika kugunakan dengan banyak padanya.
Sera memanggilku berkali-kali tapi aku tidak mempedulikannya. Yang kulakukan adalah aku tetap berjalan ke arah toilet karyawan.
Kubasuh wajahku dan tanganku mendadak gemetar. Aku selalu seperti ini ketika akhirnya aku merasa sedih seseorang memakiku di hadapan muka umum. Memang sih, aku tidak merasa malu, tapi akibatnya adalah seperti ini. Tangan bergetar dan pikiranku jadi kacau.
Aku keluar dari toilet hingga tubuhku tertabrak oleh aroma maskulin yang kukenal. Aku tidak melihatnya karena aku berjalan menunduk.
"Steven," kataku saat melihatnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya. Pasti masalah seperti tadi sudah tersebar di semua divisi, termasuk atasanku sendiri, alias kekasihku.
Aku tersenyum dan memegang tangannya yang menyentuh pipiku. "Aku baik-baik saja. Hal seperti tadi itu sudah biasa," jawabku.
"Kau yakin?" tanya Steven.
Caranya bertanya dengan kelembutan dan perhatiannya membuat tubuhku bergetar semakin menjadi. Hal-hal yang tadinya tak kuperlihatkan, kini kuperlihatkan secara tidak langsung.
"Oh, Mayleen Sayang," ucap Steven lalu membawaku dalam pelukannya setelah ia mengerti apa yang kurasakan.
Aku rasa aku tidak bisa membohongi diriku di hadapannya saat ini. Sebab jujur saja, aku butuh pelukan yang nyaman untuk menenangkanku.
"Jangan menangis, aku di sini," katanya dengan belaian di rambutku.
"Aku tidak menangis," balasku bohong, padahal jelas sekali aku menangis, menitikkan air mata yang jatuh ke tangannya.
Ia berdeham. Kami tetap dalam posisi itu dalam waktu yang cukup lama sampai akhirnya Steven melepaskan pelukannya perlahan.
"Ayo, kita jalan-jalan. Akan aku buat kau senang. Ok?"
Kuanggukkan kepalaku dan kami pun kembali ke tempat masing-masing untuk berkemas.
***
"Hati-hati dan terima kasih," kataku pada Steven. Ia sudah menepikan mobilnya di depan rumahku setelah mengajakku jalan-jalan. Hal ini cukup membuatku merasa tenang.
"Tidak perlu berterima kasih. Bukankah hal seperti itu wajar?"
Aku tersenyum. "Kau yang terbaik, Steven."
"Ke marilah," katanya dan aku menurutinya.
Ia memelukku dan mengecup puncak kepalaku. Beberapa detik kami berpelukan hingga ia melepasnya. "Masuklah. Aku harus memastikan kau benar-benar masuk lalu aku akan pergi."
"Selamat malam, Steven!" kataku seraya keluar dari mobil.
Aku berjalan masuk ke rumah dan menoleh ke belakang sebelum aku benar-benar masuk. Kulambaikan tanganku padanya yang kemudian ia membalasnya. Lalu mobil menghilang ketika aku sudah masuk ke dalan rumah.
Rumah benar-benar sepi ketika orang tuaku sudah tidur. Setidaknya itulah yang kutahu karena penerangan sudah dipadamkan, hanya menyisakan lampu-lampu kecil oranye. Aku meraih susu di kulkas dan membawanya ke kamar.
Kunyalakan lampu kamar dan...
"Astaga!" teriakku lalu aku menutup mulutku karena tak ingin membangunkan kedua orang tuaku.
Aku langsung mengunci pintu kamar lalu menaruh susu yang kuambil seraya menatap Hendrick.
"Kau seharian tak bisa kuhubungi, Mayleen," katanya.
"Aku pergi dengan kekasihku," jawabku cuek.
Kulepas blazerku dan menggulung kemeja panjangku sampai ke lengan. Lalu aku mengikat rambut dan mulai membersihkan wajahku di depan cermin.
"Apa Sera ke kantormu?" tanyanya.
"Kata siapa?"
"Jawab iya atau tidak, Mayleen."
"Tidak," jawabku bohong.
Hendrick turun dari kasurku dan berdiri di belakang tubuhku. Aku memang sedang berdiri di depan cermin sambil membersihkan wajahku. Jelas sekali wajahnya terlihat di pantulan cermin. Membuatku enggan untuk menatapnya.
"Kau bohong," katanya sambil menatapku.
Ia mendekat, dan mengembuskan napasnya di tengkuk leherku. Aku merasa melayang dan rindu sentuhannya. Tapi aku juga merasa sakit saat mengingat bagaimana Sera melabrakku.
"Ti-tidak," kataku sekali lagi.
Kini kedua tangannya berada di pinggangku. Lalu mengusap bokongku secara perlahan dan eksotis. Ini gila! Bisa-bisa aku semakin gagal membuat dirinya hilang dari hatiku.
"Apa yang harus kulakukan agar kau tak berbohong, Mayleen?"
Aku hanya diam dan fokus pada wajahku.
"Maafkan, aku," katanya bersungguh.
"Aku tidak akan membiarkannya ke kantormu lagi dan mempermalukanmu."
Aku merasa lemas jika ia sudah begini. Memelukku dari belakang dan memohon maaf atas kesalahan yang bahkan bukan ia perbuat.
"Sudahlah. Lebih baik kau pulang," ujarku.
"Bercintalah denganku, Baby," kali ini ia meminta dengan nada yang agresif dan terdengar gentle. Bahkan ia langsung membalikkan tubuhku dan menciumku tanpa menungguku jawabanku.