"Oh, itu namanya kapal Princess Cruises, kapal itu sangatlah berbeda, karena setiap hal yang berada di dalamnya bertema kerajaan. Mulai dari desain sampai para pramusajinya. Tapi, kapal ini tidak mengangkut banyak penumpang seperti yang lain. Alasannya agar penumpang mendapat pelayanan yang optimal," tutur Brixton panjang lebar dan didengarkan dengan seksama oleh Claretta.
"Wow, keren sekali!" pungkas Claretta takjub setelah mendengarkan penjelasan Brixton.
Matahari semakin meninggi, hawa sejuk mulai tergantikan oleh panasnya sinar mentari.
"Kak Brixton, hari mulai panas. Apa kita hanya akan diam disini?" tanya Claretta yang mulai merasa kepanasan.
"Bagaimana kalau kita ke rumahku? Rapat masih lama selesai," tanya Brixton menawarkan Claretta untuk main ke rumahnya.
"Ide bagus. Ayo, kita ke rumahmu!" ucap Claretta yang antusias.
Mereka berangkat ke rumah Brixton yang berada tak jauh dari sungai tersebut. Hanya lima menit menggunakan sepeda terbang milik Brixton.
Setelah sampai di halaman rumah, mereka lalu masuk ke dalam melalui pintu utama. Rumah yang cukup luas ini memiliki desain Eropa yang kental dan indah. Suasana yang rapi memberi kesan nyaman tersendiri bagi yang berada di dalamnya.
Brixton dan Claretta lalu melangkah ke sebuah tangga yang terbuat dari kayu. Kesan arsitektur kuno tercermin ketika menaiki tangga terlihat sangat berseni.
Mereka masuk ke sebuah kamar milik Brixton. Kamar yang berada di deretan paling ujung dari tiga kamar berjajar.
Sangat berbeda dengan suasana luar kamar yang berdesain Eropa abad pertengahan. Kamar Brixton nampak berdesain modern, setengah atap kamarnya tidak ditutupi dengan genting, melainkan kaca tebal.
Jika malam dapat memandang bintang-bintang di langit. Namun jika tidak ada, kaca tersebut bisa ditutup dengan menekan tombol pada remote. Lapisan penutupnya lalu secara otomati akan menutup atap kaca tersebut.
Di dalam kamar itu juga terdapat banyak sekali alat-alat canggih buatannya, semuanya tersusun rapi dalam rak-rak yang ada.
"Kemarilah, Retta," panggil Brixton yang sedang berada di dekat rak dekat pintu.
"Ada apa, Kakak?" tanya Claretta penasaran sambil mendekati Brixton.
"Tadi kita membeli udang mentah juga kan, mari kita bakar," jawab Brixton sambil mengambil beberapa tusuk udang beku yang mereka beli saat berada di festival tadi.
"Di sini?" tanya Claretta heran.
"Ya, adikku yang cantik," jawab Brixton sambil menyimpan sebuah benda berbentuk bulat.
Di salah satu sisinya ada satu tombol kecil. Lalu, ia menekan tombol tersebut dan tiba-tiba muncul uap panas setinggi lima sentimeter pada benda tersebut.
Claretta tak dapat menyembunyikan kekagumannya.
"Keren! Apa kau menciptakan benda hebat setiap hari, Kak?" tanya Claretta polos.
"Tentu tidak, Retta. Aku membuat benda-benda ini hanya saat aku mendapat ide tentang apa yang akan aku buat," pungkas Brixton.
Mereka kemudian asik memanggang udang pada benda tersebut.
"Oh ya, Retta, kau adalah keturunan ilmuwan, kakek dan ayahmu adalah seorang ilmuwan. Kau juga pasti bisa menciptakan benda-benda keren dan menjadi seorang ilmuwan hebat," ucap Brixton.
"Ya, jika aku menginginkannya, tapi sayangnya aku tidak menginginkannya, Kak. Aku tidak suka berada di dalam satu ruangan dan gagal berulang kali untuk menciptakan satu benda. Lebih suka memecahkan suatu misi rahasia, pasti keren!" tutur Claretta dengan bersemangat.
"Wah, keren, kau pasti bisa!" ucap Brixton memberi semangat.
Ting.
Suara dari jam tangan Brixton. Ia melihat layarnya kemudian menekannya dan keluarlah hologram dengan gambar ayahnya, yaitu Prof. Alex.
"Brixton, apa kau bersama Claretta?" tanya Prof. Alexander pada sang anak.
"Ya, Ayah. Retta aman bersamaku," jawab Brixton.
"Kalau begitu, cepat kalian kemari."
"Baik, Ayah,"
Lalu hologram tersebut menghilang.
"Ayo, kita kembali ke laboratorium," ajak Brixton yang sedang asyik menikmati udang bakarnya.
"Baiklah tapi tunggu aku habiskan ini," ucap Claretta dengan mata memberi isyarat pada udang yang sedang dimakannya.
"Baiklah."
Setelah gadis kecil itu selesai memakan udang bakarnya, mereka pun pergi ke laboratorium. Tepatnya berada di pinggiran kota Geneva, derngan sepeda terbang Brixton.
***
Di halaman laboratorium CERN yang sangat luas dan hijau nampak orang-orang berbaju putih tengah berkumpul. Mereka adalah para ilmuwan yang hendak pulang seusai rapat.
Claretta dan Brixton mendarat tepat di hadapan ayah mereka, yang berada di pinggir mobil Bugatti Veyron milik Lucas Ariano.
"Darimana saja kau, Putri Kecil? Ayo, kita pulang," ucap Crish pada Claretta.
"Aku tadi melihat-lihat festival, Dad. Baiklah ayo," jawab Claretta.
Claretta, Crish dan Lucas lalu memasuki mobil tersebut.
"Sampai jumpa, Kakak," ucap Claretta ketika ia telah berada di dalam mobil dan hendak berangkat.
"Sampai jumpa, Retta," ujar Brixton sambil melambaikan tangannya.
Bugatti Veyron itu melaju menyusuri jalan kota Geneva yang lengang.
"Daddy, di sungai Rhone sedang ada festival kapal. Di sana sangat menyenangkan, aku bisa melihat banyak kapal besar dan indah." Claretta menceritakan pengalamannya tadi dengan semringah.
"Kau sudah kesana bersama Brixton, kan?" tanya Crish.
"Iya, sudah, Dad," jawab Claretta singkat.
Setelah cukup lama menyusuri jalanan, mereka pun akhirnya memasuki halaman sebuah rumah dengan arsitektur eropa yang sangat kental. Halaman yang sangat luas dan terawat, ada kolam ikan juga di salah satu sisinya.
Crish menghentikan mobilnya di bagasi. Lalu, mereka semua turun dan masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah suasana khas eropa sangat terasa dan terkesan sangat berkelas. Pembangunan rumah ini melibatkan seorang arsitek kelas atas. Sengaja dilibatkan untuk menciptakan bangunan tradisional yang berpadu dengan laboratorium pribadi di lantai dua.
"Mom ...!" teriak Claretta sambil menghambur ke arah ibunya, Allice, yang sedang duduk di ruang keluarga bersama neneknya.
Setelah itu, mereka semua telah berkumpul sambil menonton televisi dan minum teh khas Geneva yang terkenal dengan aromanya.
Mereka saling bertukar cerita, termasuk Claretta yang dengan semangat menceritakan pengalamannya bersama Brixton tadi siang.
Ting.
Suara dari jam yang dipakai Crish. Munculah hologram dari jam tersebut dengan gambar seorang lelaki paruh baya. Ia adalah Vinsoon Maasif ketua intelegent Asean yang juga ayah Allice Maasif, istri Crish.
"Malam, Crish, apa kau masih di Geneva?" tanya Vinsoon.
"Malam, Ayah. Iya aku masih di Geneva. Ada apa, Ayah?" tanya Crish penasaran.
"Cepat pulanglah! Kami membutuhkanmu, besok kau harus sudah berada di sini!" Vinsoon berkata dengan nada penekanan.
"Baik, Ayah," jawab Crish singkat, lalu hologram pun menghilang.
"Ada apa, Dad? Tak seperti biasanya, Ayah terlihat risau?" tanya Allice pada suaminya Crish.
"Entahlah, Sayang. Besok kita harus kembali ke Indonesia," jawab Crish dengan wajah bingung.
"Benarkah? Tak bisakah kalian lebih lama lagi tinggal disini? Satu hari saja," tutur Neela dengan penuh harap.
Hingga sukses membuat Crish bingung untuk menjawabnya. Ia terdiam.
"Mengertilah, Sayang, akan pekerjaan Crish. Ia harus berkorban untuk manusia. Mungkin saat ini ada sesuatu yang mengancam kehidupan manusia," tutur Lucas menjadi penengah sekaligus memberi pengertian pada istrinya.