Tuhan, mengapa dunia ini seolah menolakku? Mengapa nasib terus mendorongku ke titik terendah dalam hidup? Ini semua terlalu berat untukku.
Aku sudah sangat lelah, tidak bisakah Engkau membawaku ke sisiMu saja?
Tuhan, jika aku mengakhiri penderitaanku ini, apakah Engkau akn membenciku? Apa Engkau akan menghukumku di atas sana?
Aku sudah cukup bersabar selama ini, tidakkah itu cukup? Mengapa tidak sedikit pun Engkau menunjukkan kemurahan hatiMu?
Aku sudah terlalu bosan dengan pnderitaan ini, jika di atas sana Engkau akan menghukumku, aku akan meneremanya. Setidaknya aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda meski sama-sama menderita.
Tunggu!
Tapi, apakah jatuh dari sini akan langsung membuatku mati? Aku tidak ingin terluka lebih banyak lagi.
Tidak!
Jika aku terlalu banyak berpikir, aku akan ketakutan dan mengurungkan diri untuk melakukannya.
Jadi, aku hanya harus melompat, 'kan?
Baiklah, lakukan saja dalam hitungan ketiga!
Satu ....
Dua ....
Tiga!
Brugh!
Aku terjatuh di atas permukaan yang angat keras,. Kepala dan badanku terbentur cukup keras. Ini sakit, sungguh!
Tapi, bukankah seharusnya aku ke depan dan bukannya ke belakang? Dan, bukankah seharusnya aku jatuh di air?
"Nak, kamu baik-baik saja? Apa kamu terluka?"
Aku mencoba menegakkan tubuhku smbil memegangi kepalaku. Meski awalnya pandanganku kabur, perlahan aku bisa melihat kembali dngan cukup jelas.
Ada seorang wanita tua yang berlutu di dekatku, ia terlihat sangat cantik dan harum.
Mungkinkah ia seorang bidadari? Ah, atau mungkin malaikat?
"Tidak apa sayang, semua akan baik-baik saja. ibu ada di sini bersamamu."
Wanita tua itu berbicara padaku.
"Kamu tinggal di mana? Ibu akan mengantarmu pulang," ucap wanita tua itu dengan sangat lembut.
Sepertinya aku salah. Ia bukanlah bidadari ataupun malaikat. Untuk apa juga malaikat mau mengantarku pulang ke rumah?
"Ibu bisa pergi, saya bak-baik saja." sahutku pelan.
Ingin rasanya aku menangis saat itu juga. Kenapa harus ada orang yang menyelamatkanku? Sudah susah payah aku mengumpulkan keberanian untuk melompat. Sekarang, apa yang harus kulakukan?
"Tidak! Ibu tidak akan membiarkanmu sendirian. Kalau kamu tidak ingin pulang, bagaimana kalau kamu ikut ibu saja?"
Bukannya aku tidak ingin pulang, aku sangat ingin. Akan tetapi, panti asuhan tempatku tinggal sudah dibubarkan dan dirobohkan.
Aku benar-benar sebatang kara sekarang.
"Kamu suka es krim? Ada kedai es krim yang sangat enak di dekat sini."
Wanita tua itu masih merayuku untuk ikut dengannya. Ia terlihat sangat baik, mungkin ia takut jika aku akan mencoba melompat lagi jika ia meninggalkanku.
"Ayo kita nikmati beberapa es krim yang manis di sana!" seru wanita tua itu sambil menarikku untuk berdiri, dan setengah menyeretku menuju mobilnya.
Aku menghela napas berat. Sungguh, tubuhku masih gemetaran, lututku juga masih terasa lemas. Ini menakutkan, aku pasti sudah mati jika saja wanita ini tidak menolongku.
Wanita itu pun memasukkanku ke dalam mobil mewahnya. Ia lalu membawaku pergi ke sebuah kedai es krim yang cukup sepi.Ia juga memesankan bebrapa es krim dan wafle untukku.
"Apa ada yang sakit? Kepalamu terbentur cukup keras tadi. Haruskah kita ke dokter?" Wanita itu terlihat sangat khawatir.
"Saya baik-baik saja." sahutku untuk yang kesekian kalinya.
"Nak, saat hidup begitu indah, kenapa kamu mau mengakhiri hidupmu seperti ini?"
Reflek aku tertawa mendengar ucapan wanita itu. Bagaimana ia bisa dengan begitu mudahnya mengatakan itu? Saat hidup begitu indah? Sungguh, ini melukai perasaanku.
Aku pun mencoba mendongakkan kepalaku dan melihat wajah cantiknya.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya wanita itu. Ia nampak kebingungan.
"Tidak ada, maafkan saya. Hanya saja, sangat lucu mendengar Ibu mengatakannya dengan begitu mudah." sahutku mencoba sesopan mungkin.
"Apa kamu memiliki kehidupan yang sulit? Ibu tidak tahu apakah Ibu bisa membantu, tapi ibu adalah pendengar yang baik."
Pendengar yang baik? Sejujurnya, aku tidak membutuhkannya. Pendengar yng baik atau apa pun itu. Aku tidak suka membicarakan hidupku yang menyedihkan.
Akan tetapi, karena aku tidak jadi mati, kurasa aku membutuhkannya. Mungkin saja jika ia mendengarkan betapa menyedihkannya hidupku ini, ia akan mrasa kasihan, lalu memberiku sejumlah uang untuk biaya makanku beberapa hari ke depan. Aku harus mengandalkan belas kasihan, setidaknya untuk saat ini.
"Mungkin saja Anda tidak akan mengerti apa yang saya rasakan karena Anda tidak mengalaminya." Aku menatap wanita itu ragu.
"Ibu akan berusaha untuk memahami kamu," ucapnya tanpa ragu.
Baiklah.
"Saya ditemukan di depan pintu panti asuhan saat masih bayi. Itu adalah sebuah panti asuhan kecil dengan jumlah anak yang cukup banyak, kami serba kekurangan. Saya sudah melalui masa-masa yang sulit sejak masih kecil." Aku memulai, dan wanita itu mendengarkan dengan seksama.
"Saya selalu bekerja keras untuk setidaknya mengurangi beban ibu panti. Saya belajar dengan sangat keras untuk mendapatkan beasiswa. Tapi apa gunanya itu? Sekolah dengan jalur beasiswa, berarti menjadi murid buangan di sekolah. Mereka menganggap saya seperti parasit yang bisa sekolah dari belas kasihan mereka yang memiliki orang tua kaya. Tidak heran karena orang tua mereka menyumbang banyak untuk sekolah."
Wanita itu masih mendengarkan.
"Dan tiba-tiba saja, panti tempat saya tinggal, dibubarkan karena pemilk tanah ingin membangun sesuatu di sana. Tidak ada panti lain yang mau menampung saya karena saya sudah cukup besar dan mampu mengurus diri saya."
Wanita tersebut terlihat sedih mendengar kisahku.
"Lalu beasiswa saya dicabut begitu saja hanya karena salah seorang anak dari dewan sekolah tidak menyukai saya." Aku melanjutkan.
"Oh, astaga!" pekik wanita itu kesal.
"Saya pergi ke sana ke mari untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, tidak ada yang mau mempekerjakan gadis putus sekolah seperti saya. Saya sendirian, tanpa tempat tinggal dan uang. Saya hanya bisa makan dari nasi sisa yang orang buang. Tapi, yang terburuk adalah, beberapa preman datang dan mencoba melecehkan saya. Sungguh, saya tidak bisa membayangkn kehidupan dari sisi manakah yang indah. Semuanya suram, dan gelap."
Wanita itu hanya terdiam dengan mulut terkatup rapat dan mata terbelalak. Bagus, kurasa ia sudah mengerti betapa menyedihkannya hidupku ini. Oh, sungguh! Aku masih merasa kesal karena dia telah menyelamatkanku.
"Saya yakin, Ibu pasti bisa mengerti alasan saya ingin mengakhiri hidup saya. Tapi karena toh saya masih hidup, tolong kasihani saya. Berikanlah saya sejumlah uang agar bisa melanjutkan hidup."
Aku menelan ludahku kasar. Aku tahu betapa tidak tahu malunya aku. Wanita ini sudah menolongku, bisa-bisanya aku masih meminta uang kepadanya.
"Uang? Apa hanya itu yang bisa kamu pikirkan?" ucap wanita itu masih dengan ekspresi yang sama.
Apa hanya itu yang bisa kupikirkan?
Uang?
"Tentu saja, satu-satunya yang saya butuhkan saat ini adalah uang." sahutku singkat.
"Lupakan soal uang, ibu punya solusi yang lebih baik dari itu!" serunya dengan penuh keyakinan.
Solusi untuk masalahku? Wanita ini? Apa yang akan dia lakukan untuk membantuku?
"Ah, Ibu mau mencarikan saya kerja? Terima kasih, saya memang sangat memerlukannya."
Aku yakin mataku berinar-binar sekarang. Bahkan sebelum ia mengiyakan pertanyaanku, aku sudah sangat bahagia membayangkan aku memiliki pekerjaan, bisa makan tanpa mengobrak-abrik tempat sampah, dan tidak tidur di masjid lagi.
"Tidak!"
Semua harap dan anganku langsung lenyap begitu saja hanya dengan mendengar satu kata yang wanita itu ucapkan.
"Jadilah anakku!"
Kepalaku mulai berdenyut nyeri saat mendengarkan ia berbicara.
"Tolong jangan mengejek saya! Kalau Ibu tidak mau memberi saya uang, ya sudah, saya tidak akan memaksa maupun mengutuk Ibu!" seruku kesal.
Wanita itu langsung cemberut dan menatapku tajam.
"Bercanda? No! Ibu rasa ini sempurna! Dengar, ibu sudah berusia 38 tahun, tidak menikah dan tidak memiliki anak! Ibu juga anak tunggal, tidak memiliki saudara dan kerabat dekat! Bukankah kita sama-sama sebatang kara? Kita bisa saling melengkapi."
Aku masih tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Oh, bukankah ini cukup rumit? Tentu saja bagus jika aku benar menjadi anaknya. Dia kaya, baik, dan aku tidak perlu lagi mengemis belas kasihan orang hanya untuk sesuap nasi. Tapi, bagaimanapun juga, kami adalah orang asing. Bagaimana dia bisa memutuskan untuk menjadikanku anak begitu saja?
"Ibu sangat cantik, kenapa tidak menikah?" tanyaku ragu.
"Karena ibu ini mandul! Tidak ada pria mana pun yang mau menikah dengan wanita yang tidak akan pernah bisa memberi mereka keturunan." jawabnya dengan santai.
"Ada banyak sekali bayi yang baru lahir yang ditelantarkan, kenapa tidak mengadopsi saja?"
Wanita itu tersenyum dengan sangat manis.
"Tidak mudah bagi seorang pria untuk menerima anak yang bukan darah daging mereka."
Cukup masuk akal.
"Jadilah anakku! Ibu akan memberikan kehidupan yang indah untukmu!"
Kalimat yang baru saja wanita itu ucapkan, adalah kalimat paling indah yang pernah kudengar seumur hidupku.