Baixar aplicativo
4.94% Story of Holland / Chapter 19: Sahabat Baru untuk Holland

Capítulo 19: Sahabat Baru untuk Holland

Diederick memperkenalkan istri beserta anaknya kepada keluarga Schyler. Begitupun dengan Albert Schyler yang memperkenalkan anak dan istrinya. Mereka semua saling berjabat tangan, terkecuali Marysa. Anak perempuan itu selalu saja berdiri di belakang tubuh Evelien Schyler, padahal Evelien sudah menyuruh Marysa untuk membalas uluran tangan Holland yang sedari tadi mengulurkan tangan. Marysa menolak untuk berjabat tangan dengan Holland. Terpaksa, Holland menurunkan tangannya dengan kecewa. Padahal ia ingin berteman, namun gadis keras kepala itu terus menatap Holland dengan tatapan sinis.

"Mary, ajaklah Holland bermain!" perintah Evelien kepada Marysa yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Marysa menggelengkan kepala, menolak permintaan sang ibu.

"Kenapa? Bukannya kau selalu ingin memiliki seorang teman?" tanya Evelien. Marysa hanya diam sembari terus bersembunyi di belakang Evelien.

"Marysa, bolehkah aku menjadi temanmu?" tanya Holland tiba-tiba. Marysa sangat terkejut saat mendengar pertanyaan Holland. Ia tak menyangka jika lelaki tampan itu ingin berteman dengannya.

"Apa kau yakin?" tanya Marysa.

"Sangat yakin," balas Holland.

"Baiklah. Mulai sekarang kita berteman," ucap Marysa sembari tersenyum lalu ia mengulurkan tangan. Holland terlihat senang dengan respon yang diberikan Marysa. Dengan cepat ia menerima uluran tangan gadis itu dan membalas senyumannya. Pasangan Schyler dan pasangan van Devries ikut senang melihat anak-anak mereka yang tengah memulai pertemanan. Marysa langsung mengajak Holland ke kamar, menunjukkan segala mainan mewah yang ia miliki. Sementara itu para orang tua mulai duduk di ruang tamu, membicarakan tentang kehidupan mereka di negeri jajahan ini.

Holland yang merasa sedih karena ditinggal Heleen ke Belanda kini sudah bisa tersenyum senang. Ia juga tak menyangka jika ia akan mendapatkan pengganti Heleen secepat itu. Walaupun kini Holland sudah mendapatkan pengganti Heleen, ia merasa tak sesenang saat ia bermain dengan Heleen. Sifat dan sikap Marysa begitu berbeda dengan Heleen. Gadis itu sangat manja dan tak bisa diatur, ia bermain sendirian tanpa mempedulikan Holland yang sedari tadi melihatnya bermain. Gadis itu juga tak mengizinkan Holland untuk menyentuh semua mainan miliknya. Ia hanya menunjukkan, namun tak meminjamkan. Gadis itu juga sering sekali memarahi Holland, padahal selama di kamarnya, Holland tak pernah berbuat hal aneh.

"Hei Holland! Berani sekali kau menyentuh boneka milikku!" tegur Marysa ketika melihat Holland yang tak sengaja menyentuh boneka milik Marysa. Boneka itu tergeletak tak jauh dari tempat duduk Holland.

"Maafkan aku, aku tak sengaja menyentuhnya," balas Holland. Gadis itu hanya diam sembari memasang wajah kesal. Ia mengambil boneka miliknya dan melemparkan boneka tersebut ke sembarang arah.

"Jika kau memegang benda kesayanganku lagi, aku akan mengusirmu dari kamarku!" ancam Marysa. Holland hanya mengangguk. Marysa kembali bermain sendirian.

"Apa kau memang terbiasa bermain sendirian, Marysa?" tanya Holland tiba-tiba. Marysa menoleh ke arah Holland dengan tatapan sinis.

"Jika aku mau, aku bisa saja bermain dengan anak-anak inlander di luar sana. Namun bermain dengan mereka bukanlah kemauanku, aku tak suka berada di dekat mereka. Mereka itu menjijikkan!" jawab Marysa tanpa menoleh ke arah Holland.

"Jika kau tak ingin bermain dengan para inlander, kenapa kau tak bermain dengan anak dari bangsa kita? Bukannya di sekitar rumahmu ini ada anak Netherlands?" tanya Holland lagi. Kali ini pertanyaan Holland membuat Marysa kesal. Anak gadis itu menghampiri Holland dengan wajah kesal.

"Tahu apa kau tentang tempat tinggalku? Apa pantas seorang tamu bertanya seperti itu? Kau ini siapa? Berani sekali bertanya seperti itu kepadaku!" ucapnya murka.

"Apa yang salah dari pertanyaanku? Semua orang berhak bertanya seperti apapun jika memang ia tak mengetahuinya," balas Holland tak mau kalah.

Marysa benar-benar kesal dengan ucapan Holland, ia terus mengernyitkan kening sembari menatap Holland dengan tatapan tajam.

"Akan ku adukan kau kepada orang tuaku!" ancamnya lalu pergi meninggalkan Holland. Holland tak merespon ucapan Marysa, ia hanya diam sembari memikirkan kesalahan apa yang ia lakukan. Ia merasa jika pertanyaannya tadi tak ada yang salah. Ia benar-benar tak mengerti dengan sikap Marysa.

Tiba-tiba saja Marysa kembali dengan Nyonya Evelien di belakangnya. Holland yang semula duduk langsung berdiri. Ia tersenyum manis ke arah Evelien yang juga membalas senyumannya. Marysa yang berdiri di depan Evelien terus mengomel tentang kesalahan Holland yang membuatnya kesal. Ia tak terima dengan semua pertanyaan yang Holland lontarkan. Evelien tersenyum mendengar keluhan anaknya itu.

"Marysa, mungkin Holland tak bermaksud untuk membuatmu kesal. Memang apa yang salah dengan pertanyaannya?" tanya Evelien.

"Pertanyaannya itu seperti menghinaku, Ma," ujar Marysa.

"Tidak, Nyonya. Aku tidak bermaksud untuk menghina Marysa, aku hanya ingin tahu kenapa Marysa tak bermain dengan anak-anak Netherlands lainnya," timpal Holland.

"Diam kau!" hardik Marysa kepada Holland.

"Tak usah marah, Sayang. Kau hanya tinggal menjawab apa yang dia tanyakan, tak usah sampai memanggil Mama kemari. Mama jadi merasa tak enak dengan keluarga van Devries. Lagi pula, tak ada salahnya kan jika Holland bertanya seperti itu?" tanya Evelien dengan sangat lembut. Marysa hanya terdiam sembari menunduk kesal.

"Ya sudah. Mama mau ke ruang tamu lagi ya? Tak enak rasanya meninggalkan tamu di sana," ucap Evelien sembari mencium ujung kepala Marysa, lalu ia pun pergi meninggalkannya. Marysa yang masih merasa kesal pun langsung menutup pintu kamar dengan sangat keras. Lalu ia menatap Holland dengan tatapan tajam sembari menghampirinya.

"Kau tak usah marah seperti itu, Marysa. Maafkan aku jika pertanyaanku membuatmu kesal, aku tak bermaksud apapun," ucap Holland yang merasa bersalah. Marysa memejamkan mata dan menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia mencoba untuk mengendalikan emosi.

"Ya sudahlah, terserah kau saja!" ucapnya. Ia pun kembali bermain dengan mainannya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Marysa," ujar Holland yang masih penasaran.

"Aku tak peduli. Urus saja urusanmu, jangan urusi hidupku!" balasnya dengan ketus.

"Tanpa kau jawab pun, aku sudah tahu jawabannya." Ucapan Holland berhasil membuat Marysa kembali menatapnya. Namun kali ini Marysa menatap Holland bukan dengan tatapan tajam, melainkan dengan tatapan bingung. Ia tak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan lelaki itu. Ia hanya diam, menunggu Holland melanjutkan ucapannya.

"Aku yakin kau sangat kesal dengan anak-anak Netherlands lainnya di sekitar rumahmu ini. Mereka menjauhimu kan? Kau tahu apa alasan mereka menjauhimu?" tanya Holland.

"Aku tidak tahu dan aku tidak peduli dengan mereka. Mereka itu hanyalah anak-anak menyebalkan, sama sepertimu!" balas Marysa sembari memelototi Holland.

"Apa yang menyebalkan dari mereka dan aku? Bukannya kau yang memiliki sifat menyebalkan itu? Sifat paling menyebalkanmu adalah sifat pelit. Kau menjadikanku temanmu, tapi kau tak mengizinkanku untuk memegang beberapa mainanmu itu. Seharusnya sebagai teman, kau memperbolehkannya, Marysa. Tak salah rasanya jika anak-anak Netherlands itu menjauhimu karena sifat pelitmu," tutur Holland. Marysa sangat terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Anak lelaki itu sangat berani mengutarakan isi hatinya, apapun yang dia ucapkan benar-benar membuat Marysa kesal. Marysa mengerutkan kening dan menatap Holland dengan tatapan tajam.

"Kau tak usah kesal ataupun marah kepadaku, Marysa. Apa yang aku katakan adalah hal yang mungkin saja akan dikatakan kebanyakan anak-anak Netherlands kepadamu. Seharusnya kau membuang sifat pelitmu itu. Biarkan semua orang menyentuh mainan milikmu, biarkan mereka berada di dekatmu dan hilangkanlah rasa ketidakpedulianmu terhadap temanmu. Pedulilah dengan orang-orang di sekelilingmu, perhatikan mereka, ajak mereka untuk bermain. Dengan begitu, kau akan mendapatkan banyak teman. Kau tak usah memandang mereka bangsa Netherlands ataupun inlander, jika kau ingin berteman, bertemanlah dengan siapapun. Percayalah! Kau akan memiliki lebih dari 1000 teman," ujar Holland panjang lebar. Kerutan yang terlihat di kening Marysa perlahan menghilang, ia terdiam sambil menundukkan kepalanya.

"Kau benar, Holland. Aku ini terlalu pelit, aku terlalu menyayangi semua benda di kamarku hingga tak bisa meminjamkannya kepada orang lain. Apa yang kau ucapkan itu memang benar adanya. Aku memang tak pantas mendapatkan teman," ucap Marysa pelan, namun masih terdengar oleh Holland. Setelah mendengar ucapan Marysa, perlahan Holland mendekati gadis di hadapannya itu.

"Semua ini belum berakhir, Marysa. Kau masih memiliki banyak kesempatan untuk mendapatkan teman. Asalkan kau menghilangkan sifat burukmu itu." Holland memegang pundak Marysa dengan kedua tangan. Marysa yang semula menunduk mulai mendongakkan kepalanya.

"Benarkah?" tanya Marysa memastikan. Holland mengangguk dengan yakin.

"Baiklah. Mulai hari ini, aku berjanji akan menghilangkan sifat pelit dan ketidakpedulianku kepada semua orang. Aku akan mengizinkan siapapun meminjam atau memegang mainan-mainan di kamarku. Bahkan jika mereka mau, mereka boleh memilikinya. Aku akan berteman dengan siapapun, baik bangsaku maupun bangsa inlander. Aku ingin memiliki lebih dari 1000 teman di dunia ini." Marysa mengucapkan apa yang ia inginkan dengan sangat percaya diri. Holland tersenyum lebar mendengar ucapan yang begitu bersemangat dari mulut Marysa.

"Kau adalah teman pertamaku, Holland," lanjutnya sembari menatap Holland. Holland hanya mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan gadis manis di hadapannya itu. Semenjak hari itu, Marysa dan Holland berteman. Holland berhasil merubah sifat dan sikap menjengkelkan Marysa. Marysa pun berhasil membuat Holland kembali ceria setelah perginya Heleen. Tak ada orang tua yang tak senang melihat anaknya bahagia bersama anak seumuran lainnya. Keluarga van Devries dan keluarga Schyler begitu bahagia melihat keakraban yang dijalin oleh anak-anak mereka. Semenjak hari itu pula, tak ada yang bisa memisahkan dan menghancurkan persahabatan Holland dan Marysa.

Bersambung...

[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]

Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C19
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login