Setelah lelah akibat menangis, Kensky tertidur dengan tubuh tanpa selimut. Pakaian yang minim membuatnya terasa dingin saat hamparan suhu udara mengenai pahanya yang putih mulus.
Aktivitas hari pertamanya di kantor juga cukup melelahkan, sehingga Kensky terlalap tanpa mendengar bunyi notifikasi berkali-kali yang masuk di ponsel barunya itu.
Karena ponsel itu sudah ada nomor kontak untuk digunakan yang diberikan si pengirim, Kensky menghargai dan membiarkan nomor itu di dalam ponsel. Nomor kontaknya yang lama terpaksa tidak digunakan lagi dan disimpan.
Perlahan tubuhnya mulai menggigil karena dingin. Tak tahan dengan suhu udara yang menusuk hingga ke bagian tubuhnya yang terbuka, Kensky langsung membuka mata. Setelah matanya benar-benar terbuka, gadis itu melirik suhu ruangan yang ternyata angkanya di bawah normal. "Tapi kenapa dingin sekali, ya?" Ia melirik ke arah jendela kamar yang ternyata masih terbuka.
Dengan berat ia terpaksa bangun dan mengunci jendela. Kensky melirik jam dinding yang ternyata masih pukul 03.00 WIB. Ia terkejut karena sempat ketiduran.
Saat kembali ke atas ranjang empuk berwarna putih, ia menatap ke arah ponsel baru sambil tersenyum. Sampai sekarang pun ia masih tak percaya kalau itu nyata.
Kensky berbaring dan menyalakan layar ponsel. Lagi-lagi ia dibuat terkejut oleh sepuluh pesan yang ternyata dari CEO. "Kamu ini sebenarnya siapa?" katanya pelan saat melihat nama kontak yang hanya satu-satunya berada di ponsel itu, "Apa kau CEO atasanku?" Ia tersenyum geli saat membayangkan bahwa CEO si pengirim pesan itu adalah Dean. "Apa kau seorang pemimpin, sehingga menuliskan kontakmu dengan nama CEO? Atau nama kamu memang CEO?"
Kensky membaringkan diri menghadap langit-langit. "Itu tidak mungkin. Mana ada orang yang bernama CEO. Dan kalau pun kau adalah CEO atasanku, lantas dari mana kau mengenal ibuku?"
Ia semakin penasaran. "Siapa dirimu? Dan dari mana kau mendapatkan foto Mommy?" Ia menatap haru. "Tapi aku sangat berterima kasih padamu, CEO. Siapa pun dirimu, aku akan selalu mengingatnya. Dan aku berharap suatu saat aku berharap kau mau menampakkan diri di hadapanku."
Kensky ingat, bahwa sejak kecil ibunya tidak punya keluarga maupun kerabat dekat. Ibunya yang bernama Barbara itu adalah sosok wanita cantik, kaya raya dan selalu membuatnya penasaran. Kehidupan ibunya selalu menjadi misteri bagi Kensky. Barbara bahkan tidak pernah sama sekali menyebutkan siapa Nenek, Kakek, Paman maupun Bibinya.
Karena memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, ia selalu terpicu ingin bertanya, tapi di saat usianya yang ketujuh tahun__ di mana saat ibunya memberikan kotak hadiah yang katanya kotak rahasia__ Kensky ingin sekali bertanya tentang keluarga sang ibu. Tapi siapa sangka kalau malam itu adalah malam terakhir ia bertatap muka dengan Barbara. Tepat di malam hari ulang tahun Kensky, ibunya meninggal karena kecelakan.
Akibat kenangan itu, Kensky segera bangkit dari ranjang lalu menuju lemari pakaian. Ia membuka kunci kemudian duduk di depannya. Tangannya meraih kotak berwarna merah yang ukurannya 20×20 itu.
Diusapnya kotak itu dengan lembut. "Mom, tidak terasa tinggal berapa hari lagi genap enam belas tahun aku menyimpan kotak ini." Ia menatap sedih kotak yang masih terikat rapi dengan pita cantik berwarna gold. Kenangan malam itu seakan dirangsang lagi, tapi karena tak ingin mengingat kenangan pahit itu, Kensky mengalihkan pikirannya dengan harapan dan keyakinan.
"Aku berharap saat kotak ini dibuka nanti, Mom bisa memberikanku petunjuk di dalamnya. Aku ingin tahu keluargaku, Mom, aku ingin ..." Ia menahan tangis. Karena tak ingin dirinya terhanyut oleh kesedihan, Kensky menyimpan kembali kotak merah itu di dalam lemari lalu menguncinya. Kenangan akan malam saat hari ulang tahunnya kembali terulang, tapi Kensky langsung menepiskannya.
Ia naik ke atas ranjang dan mulai membaca satu-satu pesan itu yang masuk tadi di ponselnya. Sepuluh pesan itu ternyata sama, hanya saja pengirimnya mengirimnya secara berulang-ulang.
"Jangan pernah kau buang nomor ini, ya, Sky? Gunakan nomor ini selalu di ponselmu agar aku bisa mengabarimu setiap hari. Dan jika kau perlu sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya. Aku akan selalu siap membantu dan melindungimu. Salam dari CEO."
Mata Kensky kembali nanar. Sambil tersenyum lembut ia berkata, "Apakah kau malaikat yang dikirimkan Mom untuk melindungiku?"
Siapa pun dia, Kensky tidak mempermasalahkan, karena dia yakin kalau CEO misterius itu pasti adalah kerabat ibunya.
Jari-jarinya yang lentik mulai menekan huruf-huruf di atas papan keyboard. Dengan doa dan harapan, ia berharap suatu saat dirinya bisa bertemu dengan CEO misterius itu. "Terima kasih banyak Mr. CEO. Tapi aku berharap suatu saat kau bisa menampakkan dirimu di hadapanku."
Setelah berhasil mengirim pesan itu, Kensky menatap foto ibunya yang sedang tersenyum di layar handphone. "Mom, aku ingin sekali bertemu. Oh iya, Mom! Kau tahu, aku sudah mendapatkan pekerjaan. Besok hari pertama aku bekerja di kantor itu. Mom tahu, CEO di perusahan itu sangat tampan, tapi sayangnya dia aneh. Masa dia bertemu denganku dan mengaku bahwa dirinya calon suamiku. Itu kan gila, Mom?!"
Kensky kembali mengingat tentang kejadian saat dirinya bertemu Dean untuk pertama kalinya. Tanpa sadar bibirnya membentuk senyum tulus saat membayangkan Dean memeluknya di dalam ruangan. "Mom, aku kan sebentar lagi ulang tahun, seperti kata Mommy dulu, aku boleh pacaran saat studi-ku sudah selesai. Berarti, sekarang aku boleh kan pacaran dengan atasanku? Sepertinya anakmu ini sudah jatuh cinta padanya, Mom."
Kensky tersadar dari lamunannya. "Tidak, tidak! Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin berpacaran dengannya. Siapa tahu dia yang salah. Mungkin saja calon istrinya adalah Soraya bukan aku."
Mengucapkan nama Soraya membuat hati Kensky terasa sakit. Entah kenapa ia tak ingin Dean menjadi suami Soraya. Dengan cepat ia menarik napas panjang. "Tapi aku bersumpah, Mom, wajahnya tampan sekali. Seandainya Mommy juga ada di sini dan melihatnya, Mom juga pasti akan jatuh cinta padanya." Ia tertawa geli membayangkan sosok Barbara yang sudah tua telah jatuh cinta pada Dean yang masih muda dan mempersona. "Maaf, Mom, maksud aku jatuh cinta sebagai menantu.
"Tapi aku rasa semua wanita pasti akan jatuh cinta padanya." Kensky teringat akan perkataan Dean yang mana mereka sudah dijodohkan. "Tapi aku heran, Mom, kenapa dia bisa tahu nama lengkap Daddy, ya? Padahal aku belum menyebutnya, lho. Katanya juga aku sudah dijodohkan dengannya sejak lama oleh Daddy. Apa itu benar, Mom?"
Kensky mengarahkan layar ponsel tepat di wajahnya seakan-akan sedang bicara langsung dengan foto Barbara. "Apa sebaiknya aku menanyakan hal itu pada Daddy, Mom?" Ia mengerutkan bibirnya yang merah. "Aku jadi penasaran, Mom, kenapa ya Daddy mau menjodohkan aku dengan dia?"
***
Di kamar yang besar dengan ranjang yang berantakan, terlihat Dean baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggang. Rambutnya yang basah bahkan masih meneteskan air hingga jatuh ke dada.
Drtt... Drtt...
Dering ponsel membuat Dean segera mendekati nakas. Ketika melihat Rebecca sebagai pemanggil, dengan cepat ia menyambungkan panggilan itu. "Ada apa?"
"Bernar, apa benar kau menerima anak tiriku bekerja di kantormu?"
Dean mengerutkan alis. "Anak tiri? Siapa?"
"Kensky. Masa kau tidak tahu?"
"Oh, dia." Dean bergerak ke arah kasur untuk meraih jam tangan. "Aku rasa Soraya sudah menceritakanya padamu, kan?"
"Tidak, dia tidak menceritakannya padaku. Seandainya saat makan malam Eduardus tidak bertanya mengenai hasil wawancara mereka tadi, aku tidak akan tahu kalau Kensky ternyata ikut mendaftarkan diri di perusahanmu."
Dean berjalan mendekati pintu pembatas yang ada di sudut kamar. Dibukanya pintu berwarna hitam yang senada dengan cat dinding lalu masuk ke dalam ruangan yang ternyata adalah ruangan ganti. Di sana terdapat beberapa lemari pakaian dan lemari-lemari lainnya. Dean meraih kemeja biru muda dengan setelan jas hitam yang mewah. "Lalu kenapa? Apa dia membuat masalah?"
"Tidak, tapi kan kau tahu dia adalah anaknya Eduardus, musuh besarmu."
"Bukannya kau dan Soraya juga istri dan anak dari musuhku?" Dean meletakkan ponselnya di atas meja berkaca lalu membesarkan suara. Sambil mengenakan pakaiannya, ia mendengarkan setiap nada tidak suka yang dilontarkan Rebecca terhadap Kensky.
"Kami memang istri dan anak musuhmu, tapi kami tidak ada hubungan darah dengannya. Sementara dia ... dia anak kandungnya Eduardus, Bernar, darah dagingnya. Kau ingat itu!"
Dean selesai mengancingkan kemejanya. Dengan wajah datar ia menatap dirinya di depan kaca. "Kau tidak perlu membentakku, Mrs. Oxley. Aku tahu itu. Itulah alasannya kenapa aku menerima gadis itu di perusahanku."
"Ja-jadi kau sudah punya rencana sendiri?"
"Ya."
"Apa yang akan kau lakukan padanya? Apa kau ingin memanfaatkannya untuk balas dendam?"
"Itu urusanku, Rebecca. Apapun yang akan kulakukan padanya, itu terserah aku. Kau sendiri, apa kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik, Mrs. Oxley?"
"Tentu saja, aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik. Sejak bulan lalu aku selalu rutin meletakkan pil yang kau berikan ke dalam minuman dan makanannya."
"Bagus, kau benar-benar istri yang jahat, Rebecca." Dean menyeringai, "Lakukanlah seterusnya sampai obat itu benar-benar bereaksi."
"Tenang saja, Bernar, selama kau menjamin kehidupanku dan Soraya, aku akan selalu melakukan apa saja yang kau perintahkan."
"Baiklah. Langsung kabari aku jika obat reaksinya sudah terlihat."
"Baik, Bernar, tapi ..."
"Tapi apa?" tanya Dean sambil mengikat dasinya.
"Apa kau ingin aku memberikan pil itu pada Kensky?"
Dean meremas dasi hingga buku-buku jarinya memutih. "Tidak perlu. Kau tidak perlu melakukan itu, Rebecca. Biar aku sendiri yang akan menangani putrinya. Kau cukup melumpuhkan ayahnya saja. Aku ingin dia melihat bagaimana Eduardus hidup di jalanan seperti yang pria itu lakukan padaku dan ibuku dulu. Aku juga ingin dia mati dengan cara sama seperti yang dia lakukan pada ibuku juga pada ...."
"Oh iya, Dean," sergah Barbara. "Terima kasih karena kau sudah memberikan jabatan yang bagus untuk Soraya."
"Itu tidak masalah. Hal itu sepantasnya kulakukan karena kau telah membantuku. Tapi ingat, jika kau mengambil alih dan menyentuh Kensky sedikit pun, aku tidak akan segan-segan membatalkan perjodohanku dengan Soraya."
"Jangan, Bernar. Baiklah, aku tidak akan menyentuhnya. Tapi tunggu ... kau tidak sedang jatuh cinta padanya, kan?"
"Aku hanya ingin dia menyaksikan setiap perubahan yang ditimbulkan Eduardus. Aku ingin gadis itu melihat setiap proses di mana ayahnya yang serakah itu akan hidup susah dan penyakitan. Aku hanya ingin dia ikut menyaksikan sendiri bagaimana aku akan membalas dendam terhadap ayah kandungnya yang juga adalah ayah tiriku." Kata-kata terakhir diucapkan penuh penekanan.
"Baiklah, Bernar, aku mengerti. Aku juga percaya padamu."
"Aku juga demikian, Mrs. Oxley. Aku tak ingin dikecewakan, begitu juga dengan Anda, bukan?"
Setelah mendapat jawaban puas dari Rebecca, Dean memutuskan panggilan itu. Ia membuka dan medekati jendela kamar lalu mengenang kembali apa yang pernah dilakukan Eduardus terhadap keluarganya.
Lelaki yang kini berusia tiga puluh tiga tahun itu bahkan masih sangat ingat saat-saat di mana ia dan ibunya memiliki kehidupan yang damai tanpa Eduardus. Kehadiaran Eduardus di tengah-tengah kehidupan Dean dan ibunya bagaikan setetes tinta hitam yang jatuh ke dalam susu putih. Lelaki itu telah merebut kebahagiaan mereka, merampas rumah, uang dan mengusir mereka ke jalanan hingga ibunya meninggal.
26 tahun yang lalu:
"Lepaskan aku, Eduardus! Lepaskan aku!"
"Pergi kau dari sini! Aku tak butuh wanita penyakitan sepertimu. Istri macam apa kau ini yang sakit-sakitan tanpa melayani suami."
Dean yang usianya mendekati delapan tahun hanya bisa menangis saat melihat ibunya diseret oleh Eduardus dari dalam kamar. Ketika Eduardus mendorong wanita itu ke tangga, Dean dengan cepat mencegahnya agar ibunya tidak terjatuh. "Ibu?!" pekiknya keras sambil memeluk ibunya.
"Untuk apa kau menahannya? Biarkan dia mati! Dia wanita tidak berguna."
"Tutup mulutmu, Mr. Oxley!" pekik Dean. "Dia ibuku! Harusnya kaulah yang keluar dari rumah ini, bukan kami!"
"Dean ...."
Brak!
Bunyi tamparan membuat wanita itu menghentikan perkataannya. Dilihatnya bibir Dean yang berdarah akibat pukulan keras dari tangan Eduardus.
"Berani-beraninya kau membentakku, hah?! Dasar anak kurang ajar!" Ia melayangkan tangan untuk memukul Dean lagi.
"Jangan!" cegah ibunya. "Jangan sakiti dia, Eduardus! Jangan sakiti dia." Ia mulai menangis.
"Ibu!" Dean menangis keras sambil menyembunyikan wajah di perut sang ibu. Bibirnya berdarah, matanya bengkak, sementara pipinya menimbulkan cairan merah yang mengendap di dalam pembulu darah.
"Kau tak pantas melindunginya. Dia anak kurang ajar dan butuh ajaran." Eduardus hendak menyerang, tapi wanita itu mencegahnya.
"Kumohon jangan, Eduardus." Ia berlutut sambil memeluk Dean. Dengan terbatuk-batuk ia berkata, "Apa yang kau inginkan, katakanlah? Aku akan mengabulkannya asalkan jangan pukul putraku."
"Kenapa tidak dari tadi kau mengeluarkan pertanyaan seperti itu, hah?" Nada Eduardus berubah pelan. Ia terhuyung sedikit karena alkohol yang menguasainya. "Aku ingin semua hartamu. Aku ingin rumah ini, uangmu dan semua perhiasanmu."
Uhuk! Uhuk! "Ambil-lah jika itu membuatmu senang, asalkan jangan kau melukai anakku dan diriku."
"Kalau begitu pergilah kalian dari sini. Aku ingin hidup bahagia sendiri di rumah ini. Aku ingin hidup tenang tanpa dirimu dan putrmu yang kurangajar ini."
Dean mendongak menatap ibunya. "Bu, kita akan tinggal di mana kalau kita keluar dari rumah ini? Ini sudah larut malam, Bu. Ibu juga sedang sakit."
"Tidak apa-apa, Sayang, kita bisa tidur di pertokoan untuk sementara sampai pagi datang."
Dean berdiri menghadap Eduardus. "Kau suami yang tidak bertanggung jawab. Teganya kau mengusir istrimu yang sedang sakit dari rumahnya sendiri?"
Eduardus terbahak. "Hei, anak kecil! Jangan sok menceramahiku. Aku menikah dengan Ibumu bukan karena cinta, tapi karena harta. Hanya pria bodoh yang mau bertahan dengan janda penyakitan seperti ibumu ini." Alkohol dalam dirinya membuat lelaki itu berkata jujur.
Sang Ibu yang mendengar hal itu langsung menangis. Dean yang penuh amarah ingin sekali melampiaskan emosinya, tapi tidak bisa. Ia hanya bisa mengepalkan tangan sambil menatap Eduardus.
Sebelum menikah wanita itu tidak pernah sakit. Tapi sejak kehadiran Eduardus di rumah itu, ibu Dean sering sakit-sakitan. Dean curiga kalau sakit ibunya itu disebabkan oleh Eduardus. Dan setelah mendengar pengakuan lelaki itu tadi, Dean yakin bahwa tuduhan itu benar.
"Tunggu apalagi? Cepat kalian pergi dari sini! Aku muak melihat kalian."
"Ayo, Sayang," ajak ibunya sambil memeluk Dean lalu berdiri
"Tapi, Bu? Ibu sedang sakit."
"Tidak apa-apa, Sayang, ibu bisa menahannya."
Dengan terpaksa Dean pun membantu sang ibu menuruni tangga. Setelah tiba di anak tangga yang terakhir, ia menatap pintu kamarnya untuk terakhir kali.
Eduardus yang masih berada di posisi semula langsung berteriak. "Di mana kau menyimpan semua perhiasanmu, hah?"
Ibu Dean berbalik. "Di lemari pakaian."
Dean mengepalkan tangan. "Aku berjanji, Bu, aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku akan membuatnya menderita. Aku akan membuatnya merasakan apa yang kita rasakan saat ini. Aku berjanji, Bu. Sumpah!"
Drtt... Drtt...
Getaran ponsel menyadarkan Dean dari masa lalunya. Tanpa ia sadari tangannya meremas ponsel itu dan terkejut saat merasakan getarannya. Ia mengulurkan tangan lalu menatap layar yang ternyata satu panggilan masuk dari sosok yang ia cintai. Sambil tersenyum ia dengan cepat menghubungkan panggilannya, "Halo, Mom?"
"Dean, kau di mana?"
"Aku masih di rumah, Mom, sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor." Ia bergerak menuju pintu.
"Dean, besok ulang tahun kantor. Kau tidak lupa, kan?"
"Tidak, Mom."
"Baguslah. Apa kau punya rencana untuk besok?"
Dean menuruni tangga secepat mungkin. "Tentu saja, Mom. Rencanaku ini bahkan sangat istimewa."
"Benarkah? Rencana apa itu?"
"Rahasia, dong." Dean terkekeh. "Aku akan mengabari Mom nanti, oke?"
"Ah, kau ini memang selalu membuat mommy penasaran."
Dean tertawa. "Aku janji, Mom, aku akan berbagi rahasia itu dengan Mommy besok. Tenang saja."
"Baiklah, Sayang. Kalau begitu mom serahkan semuanya padamu."
"Siap! Mommy tenang saja. Mommy pasti akan setuju dengan rencanaku ini."
"Ya sudah. Sekarang cepatlah, nanti kau terlambat. Tidak baik kalau seorang pemimpin mencerminkan hal buruk bagi bawahannya."
Dean tertawa. "Siap, Bu Bos. Bye."
Continued__