Malam itu, meskipun belum mendapat balasan pesan dari Yohan, tapi Ozan tetap memutuskan tekadnya untuk bermain kerumah Yohan. Dengan berpenampilan khas anak remaja, Ozan berjalan ke arah garasi untuk menaiki mobil kesayangannya, yang ia beli hasil dari kerja kerasnya sendiri.
Saat sudah berada di dalam mobil, remaja blasteran itu urung menyalakan mesin mobil, lantaran bunyi pesan masuk dari HPnya. Ozan merogoh HP yang ia simpan di kantong celana jeans, melihat layar HP itu, tertera di sana.
Satu pesan dari next victim.
Zan... Maaf aku lagi nggak di rumah. Kapan-kapan aja kalo mau main.
Ekspresi wajah Ozan mendadak berubah menjadi kesal. Ia meremas kuat HP miliknya lalu memasukan kembali HP itu ke dalam saku celananya. Ia melanjutkan niatnya menyalakan mesin mobil, lalu pergi ke suatu tempat. Mencari hiburan guna mengusir rasa kesalnya, adalah pilihan yang tepat bagi Ozan. Entahlah. Ozan merasa jika Yohan sudah membohongi dirinya. Ia yakin sekali kalau Yohan masih berada di rumahnya.
Setelah Ozan memarkirkan mobilnya, Ozan berjalan menuju tempat dimana ia bisa bersenang-senang, sekaligus bisa mendapatkan uang.
Saat sudah berada di dalam tempat itu, Ozan mengambil sebatang rokok, membakar rokok menggunakan pematik, lalu menghisapnya. Sambil berjalan mencari tempat duduk, Ozan menggelang-gelangkan kepalanya kekanan, dan kekiri mengikuti alunan musik yang sedang dimainkan seorang DJ.
Terlihat Ozan melambaikan tangan pada seorang yang juga sedang melambaikan tangan ke arahnya. Menjatuhkan rokok yang baru ia hisap, lalu menginjaknya sebelum ia berjalan menemui orang yang memanggilnya barusan.
Suasana ruang discotik terlihat remang-rmang. Hanya cahaya dari bola lampu penuh warna yang memancarkan cahaya ke segala penjuru ruangan.
"Apa kabar Om?" Sapa Ozan setelah ia duduk di dekat orang yang sudah ia kenal sebagai pelanggannya.
"Mana barang yang kamu janjiin sama om waktu itu?" Tanya orang itu to the point.
"Sabarlah om," Jawab Ozan. "Ini barang istimewa om, jadi harus ekstra sabar."
"Yakin nggak mengecewakan?" Tanya orang yang diketahui bernama Galih. Ia adalah orang yang rela mengeluarkan banyak uang, demi memenuhi kepuasan seks nya kepada anak laki-laki yang masih muda.
Sedangkan Ozan selalu bisa memberikan apa yang diinginkan oleh Galih. Sebagai imbalannya, Ozan selalu mendapat bayaran yang memuaskan. Tidak hanya Galih, banyak pria-pira hidung belang lain yang suka meminta jasa Ozan untuk menyediakan anak muda yang bisa diajak bersenang-senang. Pelanggan Ozan tidak hanya laki-laki yang mencari kepuasan dengan gadis-gadis muda yang cantik. Beberapa diantaranya juga laki-laki gay yang ingin dipuaskan oleh remaja ganteng. Salah satunya adalah Galih.
Ozan mengambil HP di dalam saku celannya. Setelah Ia menyalakn HP itu, Ozan duduk merapat pada pria yang bernama Galih. Ozan menujukan beberapa foto yang ia simpan di galeri ponselnya.
"Gimana? Suka?" Tanya Ozan sambil melihat wajah Galih yang tengah menatap foto remaja putra di layar HPnya.
Senyum nyengir terbit dari mulut Galih, terlihat buah jakun di lehernya naik turun saat mengamati foto tersebut. "Kapan kamu bawa dia ke saya?"
"Dia itu sebenarnya anak baik-baik Om, anak orang kaya, jadi nggak butuh duit kayak anak-anak lainnya. Agak susah om, jadi harus sabar."
Galih hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan dari Ozan.
"Kalo bukan karena Om Galih berani bayar harga tinggi, aku enggak akan mau Om." Lanjut Ozan.
"Dia teman Sekolahmu?" Tanya Galih lantaran ia melihat remaja yang berada di dalam foto itu, masih memakai seragam sekolah.
"Itu dia masalahnya Om," Jawab Ozan. "Dia itu masih temen sekolahku. Mangkanya aku nggak berani ceroboh." imbuh Ozan kembali.
"Trus, yakin bisa bawa dia buat om?"
"Jangan khawatir Om, aku udah punya rencana," jawab Ozan seraya mengangkat sebelah alisnya.
Galih tersenyum nyengir, manik matanya melirik penuh arti ke arah Ozan. "Hem... Dasar Licik," goda Galih. "Kalo kamu bisa cepet bawa dia buat om, nanti kamu om kasih bonus dua kali lipat. Om jadi nggak sabar pingin cepet peluk dia.''
"Yakin nih, dua kali lipat?" Senyum Ozan menyeringai saat mendengar kata bonus. Ia semakin tidak sabar ingin mempertemukan Galih dengan remaja putra yang ada di dalam foto tersebut.
"Kapan om pernah bohong?" Tegas Galih.
Ozan menarik sudut bibirnya, manik mata Ozan melirik Galih dengan lirikan yang sulit diartikan. "Tapi aku juga udah lama pingin sama dia om, jadi biar aku dulu, nanti baru aku kasih dia sama om." Ucap Ozan di dalam hatinya.
Ozan memasukan kembali HPnya ke dalam saku. Suara musik DJ yang masih mengalun dengan kencang, membuat ia kembali mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik. Pandangannya ia edarkan di sekitar diskotik sambil mencari mangsa yang bisa ia ajak untuk bersenang-senang malam ini.
***
Yohan sedang duduk bersilah di atas ranjangnya. Wajahnya terlihat begitu serius saat mendengarkan Redo menceritakan tentang Ozan.
"Gitu," ucap Redo menutup ceritanya. Ia beringsut menyandarkan tubuhnya di kepala dipan. "Makanya, aku tuh nggak suka kalo kamu deket sama Ozan. Soalnya korban dia tu bukan cuma anak perempuan, anak laki-laki yang lagi butuh duit juga dia jual sama tante girang. Bahkan sama om-om juga."
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Yohan hembuskan secara perlahan. Kalau boleh jujur ia merasa syok mendengar cerita tentang Ozan. Sulit dipercaya, anak semuda itu sudah berani terjun ke dalam dunia prostistusi. "Emang udah berapa lama dia menjalani bisnis trafficking?"
"Aku enggak tau, yang jelas itu fakta. Cuma temen satu team futsal aja yang tau." Jawab Redo.
Mendengar jawaban Redo, Yohan hanya memanggut-manggutkan kepala sambil memanyunkan bibir bawahnya. Sorot matanya menatap lurus wajah Redo. "Oh... jadi cuma itu alasan kenapa kamu enggak suka liat aku pulang bareng Ozan. Kirain ada yang lain."
"Yang lain apa?" Heran Redo.
"Enggak, lupain," gugup Yohan. Merasa salah tingkah, Yohan menarik selimut, ia berbaring sambil menutupi sekujur tubuhnya menggunakan selimut tebal.
Merasa penasaran, Redo tidak membiarkan Yohan tidur lebih dulu. Ia butuh penjelasan dari pernyataan Yohan yang terkesan ambigu. Oleh sebab itu Redo menarik selimut yang menutupi tubuh Yohan, hingga membuat bagian kepala Yohan muncul dari dalam selimut. Redo mendekap tubuh Yohan supaya tidak menarik selimutnya kembali.
"Yang lain apa Yoh?" Tanya Redo dengan jarak wajah yang begitu dekat.
"Enggak ada, aku cuma salah ngomong." Jawab Yohan sambil berusaha menyingkirkan tubuh Redo yang sedang memeluknya erat. "Awas ah ngantuk."
Redo mempererat erat pelukkannya. Sorot matanya menatap lurus ke arah mata Yohan. "Yoh..." ucapnya lembut. Jarak wajah yang begitu dekat membuat debaran di hatinya menjadi lebih kencang.
"Apa?" Jantung Yohan juga tidak mau kalah cepat berdetaknya.
"Kayaknya ada yang perlu kita omongin."
"Soal apa?" Tanya Yohan, hembusan napas Redo membuat Yohan menelan ludahnya susah payah.
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Redo hembuskan secara perlahan. "Kita udah lama temenan, tapi akhir-akhir ini aku ngerasa kaya ada yang beda sama kita." Ujar Redo. Nada suaranya terdengar pelan, lantaran jarak mulut yang begitu dekat.
Terlihat Yohan hanya mengerutkan kening, menunggu apa yang akan di sampaikan sama Redo.
"Sebenarnya... emang ada yang lain selain aku kuatir kalo Ozan macam-macam sama kamu. Aku... aku nggak sukanya_" Redo menggantungkan kalimatnya, entahlah berat sekali menyuarakan isi hatinya. Padahal sebelum ia datang kerumah Yohan, Redo sudah menyusun kata-kata yang tepat. Tapi anehnya, semua hilang saat ia sudah berada dekat dengan orang yang bersangkutan.
"Kenapa nggak sukanya?" Tanya Yohan lirih.
"Aku... aku cemburu."
Deg... pengakuan Redo membuat debaran di dada Yohan semakin tidak terkontrol. Cemburu? Apa itu artinya Redo menyukainya?
"C-cemburu...?" Gugup Yohan.
"Iya... aku cemburu kalo kamu deket sama orang lain." Aku Redo. Wajahnya terlihat tulus saat menyatakan cemburu.
"Aku... aku juga nggak suka kalo kamu jalan sama Ema."
Pengakuan Yohan membuat senyum Redo mengembang. Ternyata dugaannya benar, marahnya Yohan tadi siang itu bukan marah biasa, tapi ada perasaan cemburu di dalamnya.
"Berarti kita sama dong Yoh? sama-sama cemburu."
Pernyataan Redo membuat rona wajah Yohan bersemu merah. Untuk menutupi rasa malunya, tangan Yohan menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya.
"Yoh..." panggil Redo sambil menggerak-gerakan tubuh Yohan. "Kok malah tidur? Jawab Yoh. Kamu cemburu kan?"
"Tau..." jawab Yohan dari dalam selimut.
"Jangan gitu dong Yoh... jawab yang jelas. Aku kan udah bilang kalo aku cemburu." Ucap Redo, sambil menatap kepala Yohan yang tertutup selimut. "Bilang dong Yoh... Yoh..."
"Tau... ah berisik ngantuk ni."
Redo sudah terlanjur mengungkapkan isi hati yang sebenarnya. Ia ingin semuanya jelas. Butuh kepastian apakah Yohan juga merasakan hal yang sama. Oleh sebab itu Redo masih terus mendesak sambi menggerak-gerakan tubuh Yohan yang masih dibalut selimut.
"Yoh... kayaknya aku musti jujur sama kamu, aku nggak mau kita temenan. Aku... aku.... suka sama kamu. I love you..."
Di dalam selimut rona wajah Yohan semakin memerah. Apa iya Redo benar-benar mengatakan itu. Sejujurnya ia merasa sangat senang, hanya saja rasa malu lebih mendomasi sehingga ia berat membalasnya.
"Aku nggak peduli aku laki-laki, kamu juga sama laki-laki. Tapi aku udah terlanjur sayang sama kamu Yoh...." aku Redo masih berusaha membuka selimut yang menutupi Yohan.
"Kenapa diem Yoh... i love you. Jawab Yoh..."
Beberapa kali Redo mengatakan i love you, namun sama sekali tidak mendapat respon dari Yohan. Ia merasa jika Yohan juga memiliki perasaan yang sama. Hal itu membuat Redo menjadi geram.
"Yoh! I LOVE YOU!!" Ucap Redo kembali. Kali ini ia menggunakan nada yang lebih tinggi lantaran kesal. "I LOVE YOU YOH...!!"
"Toooo....!" jawab Yohan dari dalam selimut.