Kepulangan Edward hanya di sambut seutas senyum yang hambar. Ia memeluk istrinya yang tidak menunjukkan kesenangan.
Sonia juga lebih banyak menghabiskan waktu di studio balet di banding di kamarnya, ia tahu bahwa Edward akan membuka laptop sembari duduk di meja kerjanya. Pemandangan yang membuat darah Sonia mendidih karena kesalnya, dulu ia jatuh cinta pada Edward karena lelaki itu pekerja keras, rajin dan setia untuk anak sekelas kolomerat sepertinya. Namun kehidupan menikah yang hampir dua tahun ini di laluinya, membuat Sonia sadar bahwa uang bukanlah satu-satunya yang membuat bahagia.
Begitu selesai berlatih balet, Sonia keluar dari studio di ujung rumahnya itu dan melihat Steve juga Edward duduk bersama. Ia hanya melenggangkan kakinya dan mengambil minuman dari kulkas.
"Sayang, sudah selesai latihannya?" tanya Edward.
Sonia menoleh lalu mengangguk. "Aku akan ke atas dan mandi,"
Edward mengangguk. Tidak lama setelah Sonia hilang dari pandangan setelah menapaki anak tangga ke lantai dua, Edward pamit pada Kakaknya untuk menyusul sang istri.
Steve hanya tersenyum mengerti, dan kembali membaca koran di depannya. "Tidak menyangka, adik kecilku sudah dewasa!" lirih Steve sembari tersenyum. Entah bayangan apa yang ada di kepalanya begitu Edward naik ke lantai dua dengan bahagia.
Sonia baru saja membuka baju dan meletakkan nya di keranjang cucian, kini tubuh indahnya tidak di lapisi satu benang apapun. Edward datang dari balik tubuhnya. "Sayang, rindu!" kata-kata itu keluar dari mulut Edward yang kini menyangga kan dagunya di pundak kiri Sonia, dan memeluknya dari belakang.
"Aku mau mandi, sana keluar dulu bau keringat"
"Kalau begitu ayo kita mandi bareng!"
Tanpa aba-aba Edward memegang pinggang Sonia dan masuk ke dalam toilet tepat di bawah shower. Dia menyalakan shower sehingga Sonia langsung basah dan Edward menciumi nya di bawah aliran air itu.
Sonia yang tidak di berikan kesempatan untuk berbicara, tangannya mulai bekerja membuka baju yang di pakai suaminya itu dan menaruhnya di bawah kaki sehingga basah kuyup. Kini keduanya sudah bertelanjang bulat. Satu tarikan ke atas membuat Edward bisa menempatkan Sonia di atasnya. Dia menghimpit tubuh istrinya itu ke dinding dan menyatukan diri, hentakan mulai ia lakukan sembari mencumbu leher yang jenjang dan buah persik yang ranum milik istrinya. Suara Sonia terdengar sangat keras, desahannya luar biasa. Namun baru saja ia memulai merasakan kenikmatan, Edward sudah mengakhiri permainannya.
Dengan diam Sonia hanya menahan sakit kepalanya begitu Edward melepaskan diri dari dirinya. Edward mandi lebih dulu dan keluar, baru kemudian di ikuti oleh Sonia.
Suaminya itu sedang mengeluarkan obat dan meminumnya dari sebuah toples kecil, ini pertama kalinya Sonia melihat obat itu! Lagi pula ini bukan jadwal suaminya meminum obat.
"Obat apa itu?" tanya Sonia mengagetkan Edward yang baru saja menelan kapsul yang ia keluarkan tadi.
"Ah sayang, vitamin untuk daya tahan tubuh"
"Biasanya kamu akan meminum vitamin pada jam makan siang," ujar Sonia, karena tahu kebiasaan suaminya itu.
"Aku meminumnya baru-baru ini, jadwal untuk di minum di pagi hari!"
Edward mendekat pada Sonia dan mengecup mesra bibir istrinya.
"Ayo makan, kita makan bersama Steve juga!" Edward keluar lebih dulu sementara Sonia berganti baju.
Setelah menuruni anak tangga ia melihat suaminya dan Steve sudah duduk di meja makan, posisi Sonia yang berhadapan dengan Steve, ia mulai mengoles selai pada roti. Sonia memang memiliki kebiasaan olahraga sebelum sarapan.
Jam juga masih menunjukan pukul 9 lewat sedikit. Mereka membicarakan masa kecil mereka dan bagaimana Sonia juga Edward bertemu. Steve memang sangat dekat dengan adiknya itu. Sebenarnya mereka memiliki satu saudari namun gadis bernama Carine Leonardo itu berada di Australia untuk menekuni bisnisnya sebagai Designer yang di akui di dunia juga.
Kecantikannya juga tidak terbantahkan karena dia bisa merawat diri.
Sonia yang tertawa terpingkal-pingkal saat menceritakan masa kecilnya membuat tatapan Steve lagi-lagi seperti kemarin.
"Kapan Carine akan pulang ke New York?" tanya Steve pada Edward.
"Entahlah dia cukup sibuk dengan pekerjaannya mempercantik busana orang, tapi mungkin dia akan kembali sebelum Natal"
Steve mengangguk, ia berharap akan bertemu dengan adiknya itu sebelum ia kembali ke Belanda.
"Kapan uji klinis hasilnya keluar?" tanya Edward "Obatmu maksudku!" lanjutnya.
"Akhir pekan ini, aku sangat menantikan hasil yang memuaskan aku sudah mengorbankan lebih dari dua tahun menguji obat ini!"
"Aku berharap hasilnya sesuai dengan ekspektasi mu, dan bisa membantu banyak orang!" ujar Sonia.
"Thankyou sister! Kamu memiliki pemikiran yang sama dengan Carine dia juga adalah sistem suport banget!"
Sonia mengangguk sembari tersenyum.
Mereka menyelesaikan makan nya, dan Edward sudah bersiap setelahnya untuk pergi ke perusahaan. Itulah rutinitas yang akan di lakukan nya sepengetahuan Sonia.
"Sayang, bukankah hari ini kamu bisa berangkat setelah makan siang?" Sonia heran melihat suaminya yang sudah memakai seragam hari ini.
"Aku ada urusan dadakan, jadi berangkat lebih cepat" jawab Edward.
Lelaki itu pergi menggunakan mobil sport miliknya, hanya beda warna saja dengan mobil milik Steve. Sonia tidak bertanya lagi sampai suaminya itu pergi.
Edward tidak pergi ke kantor, dia belok ke rumah sakit untuk mengecek kembali keadaan nya. Dokter juga langsung mengenali lelaki yang pekan lalu menjadi pasiennya.
Setelah melakukan pengecekan dan menunggu tes keluar, Dokter mengatakan bahwa Edward benar-benar mengalami Azoospermia. Jantung Edward seperti ingin loncat dari tempatnya. "Apakah ada solusi untuk ini?" tanya Edward berharap.
"Sulit untuk mengatasi Azoospermia, bahkan orang yang terlibat sehat dan bugar bisa terkena penyakit ini! Solusinya ada dengan pengobatan terapi dan operasi, namun itu belum menjamin kesembuhan, jika paska operasi terjadi suatu kendala," jelas Dokter.
Edward menarik nafas panjang, ia menerima resep Dokter kembali! Obat-obatan yang harus ia minum lagi.
Edward kembali ke mobilnya dan menggenggam sebuah obat yang ia tebus tadi. Seketika dia memukul setir mobilnya beberapa kali, emosinya meledak. "Aku sudah minum obat itu dengan rajin, laku mengapa aku harus meminum obat-obatan bini lagi jika hasilnya tidak bisa terjamin, apakah jika melakukan operasi itu bisa menyembuhkan juga!" teriakan Edward membuat pembuluh darah di leher dan tangannya terlihat.
Ia mengatur nafasnya, dan memasukan obat itu ke dalam laci mobil. Ia menancap pedal gas sehingga mobil yang di kendarai nya melaju. Tampak bulir air mata keluar dari ujung matanya, ia hanya menyekat sekilas. Bukan kesakitan di matanya yang perih, namun ada yang membara di dalam dadanya. Menusuk lebih dalam sampai tak lepas dari pikiran, sungguh untuk pertama kalinya Edward hampir prustasi.