Ketiganya menunjukkan diri secara ajaib di sebuah tempat yang terlihat asing. Di sana keadaannya cukup ramai. Ada banyak orang yang berlalu lalang melewati mereka.
Namun ketika Honey memeriksa dirinya, dia menyadari kalau mereka kini dalam keadaan tembus pandang. Seperti angin yang tak dapat dilihat, kehadiran mereka tidak disadari sama sekali oleh orang-orang itu. Beberapa dari manusia itu bahkan melewati ketiganya begitu saja.
"Kita dimana?" tanya Honey pada dua vampir di sampingnya yang juga sibuk memperhatikan sekitar. Masih tak percaya dengan apa yang dia alami.
Larry menoleh padanya dan menyahut, "Melihat keadaannya, sepertinya saat ini kita kembali ke 409 tahun yang lalu, Nona. Kalau tidak salah ini adalah pasar rakyat tempat istana vampir sempat dibangun."
"409 tahun yang lalu? Sungguh?" Honey menutupu mulutnya karena tak menyangka.
Kembali diamatinya keadaan sekitar. Honey menyadari kalau cara berpakaian orang-orang itu memang terlihat aneh dan kuno. Seperti menonton film tahun dulu saja rasanya.
'Sepertinya tidak diragukan lagi kalau kami telah melampaui ruang dan waktu. Astaga, aku nggak bisa percaya hal ini.'
"Tapi aku tak ingat apapun…."
Night tiba-tiba bergumam dengan pelan sambil terus melayangkan pandangannya ke segala penjuru. Ia berusaha keras untuk mengenali tempat itu. Namun kalau dibaca dari ekspresinya sang vampir sepertinya masih kebingungan.
"H-Huh? I-Itu bukannya…."
Honey tiba-tiba melihat sesuatu yang menarik. Gadis itu sedikit berteriak ketika menunjuk arah yang dimaksud. Night dan Larry tampak ikut menoleh ke arah itu. Mata keduanya ikut melebar begitu menangkap hal yang menarik perhatian perhatian sang gadis.
Seorang pemuda yang tampak familier terlihat tengah membelah keramaian. Ia adalah Night. Tepatnya kehidupannya ratusan tahun yang lalu.
"Cuacanya sangat cerah. Suasana hatiku menjadi lebih baik…."
Terdengar gumaman ringan dari mahluk itu. Sang vampir tiba-tiba berhenti di tengah kerumunan, lalu mengalihkan perhatiannya ke segala penjuru di pasar kecil itu. Terlihat berusaha menikmati setiap bagian kecil dari tempat itu.
Sebenarnya tidak ada yang terlihat istimewa selain sebuah kegiatan yang biasa terlihat di pasar; berbagai barang dagangan yang terpajang sepanjang jalan, para penjual yang menjajakan dagangannya, pembeli yang menawar, hingga tukar menukar antara pembeli dan penjual. Semuanya terlihat biasa saja, namun bagi Night semua itu memberikan hiburan tersendiri baginya. Dia terlihat begitu betah berada di sana.
"Haaah… beginilah seharusnya hidup. Ada banyak hal yang bisa dipikirkan dan dibicarakan, ada banyak orang untuk diajak berteman. Bukan seperti bangsa vampir yang hanya memikirkan tentang mangsa dan adu kekuatan," gumamnya sambil tersenyum miris.
Night menghabiskan beberapa menit untuk berkeliling di tempat itu. Beberapa kali ia singgah di depan barang yang menarik perhatiannya, mengajak bicara manusia yang dengan sabar meladeninya, hingga membeli hal yang menarik perhatian. Yang jelas ia tampak begitu sangat berusaha berbaur dengan mereka semua.
Namun begitu dirinya asyik mengagumi sebuah sapu tangan yang tadi dengan iseng dibelinya, tiba-tiba ia merasakan sesuatu menabrak punggungnya dengan cukup keras. Ketika ia berbalik dilihat seseorang telah dalam posisi terduduk di tanah. Orang itu terlihat sedikit kesakitan di bawah kakinya.
"S-Sepertinya aku mengingat bagian ini.…"
Night di masa sekarang tiba-tiba bergumam. Tampak sedikit memejamkan matanya seakan berusaha mengingat sesuatu. Sementara Honey yang berdiri di sampingnya tampak hanya menatap heran sang vampir sejenak, sebelum kembali menyaksikan kejadian di depannya yang terlihat seperti sebuah adegan film.
"Tuan Putri!!"
Sebuah teriakan lain terdengar tak lama setelahnya. Seorang perempuan paruh baya tampak berlari dengan sedikit panik memenuju mereka. Tampak langsung memeriksa orang yang masih terduduk di tanah tadi.
"Tuan putri, anda tidak apa-apa—"
"Sst…" Ucapan perempuan itu terhenti begitu terdengar desisan dari orang yang dia tolong. "Sudah berapa kali kukatakan untuk tidak memanggilku begitu di sini," bisik si pelaku penabrakan dengan begitu pelan
Night tersenyum tipis. Bisa dipastikan kalau siapapun orang ini, dia pasti melakukan hal yang sama dengan yang saat ini juga Night lakukan. Kabur dari istana.
Night mencoba melirik sosok itu lagi, berusaha melihat wajahnya. Namun karena sebuah cadar sutera yang menutupi wajahnya, Night tidak bisa melihat lebih jauh. Ia tak bisa melihat wajah orang itu.
"H-Hm, m-maafkan saya Tuan Putri."
Perempuan itu berbisik dengan nada yang sangat rendah agar hanya sosok itu yang mendengarnya. Namun tentu saja Night adalah sebuah pengecualian. Sebagai vampir ia memiliki telinga yang tajam.
Dengan bantuan perempuan tadi, sosok yang dipanggil Tuan Putri itu akhirnya dapat kembali berdiri. Keduanya kini kembali berhadapan dengan Night yang sejak tadi hanya diam menyaksikan keduanya.
"Mewakili nona ini saya meminta maaf dengan segala kerendahan hati pada anda, Tuan. Harap agar anda tidak menaruh dendam atas kejadian ini," ucap perempuan paruh baya itu sambil membungkuk hormat, sementara sang tuan putri tampak masih diam sambil menundukkan kepalanya. Terus berusaha terus menyembunyikan wajahnya.
"Ikan yang hanyut karena air pasang sudah seharusnya menyalahkan awan yang menurunkan hujan, bukannya langit yang menaungi mereka." Night bergumam pelan untuk menyahuti permintaan maaf itu. Lalu sambil tersenyum mahluk itu menambahkan, "Bukan Anda yang bersalah, Nyonya. Jadi tidak seharusnya Anda yang minta maaf. Melainkan nona ini, yang hanya diam dan menyembunyikan wajahnya. <engapa bukan dirinya yang mengucapkan penyesalan itu secara langsung?"
Perempuan paruh baya itu tampak melirik sosok di depannya. Sedikit panik ketika berkata, "Ta-Tapi Tuan, begini…"
"Tabrakan itu bahkan tidak parah. Justru aku yang terluka." Terdengar protesan sang Tuan Putri dari balik cadar yang menutupi bibirnya. "Salahmu juga karena tak melihat jalan."
Night sedikit menyeringai mendengarnya.
"Ada beberapa hukum yang patut diketahui oleh semua orang yang hidup di dunia ini, Nona. Di mana salah satunya adalah meminta maaf saat melakukan sebuah kesalahan terhadap orang lain. Tadi jelas Andalah yang menabrakku, maka sudah sepatutnya Anda meminta maaf untuk itu. Kecuali orang tua Anda tidak pernah mengajarkan hal seperti ini?" laden Night tak mau kalah.
Wanita paruh baya itu menyergah cepat. "Mohon jaga ucapan Anda, Tuan. Asal Anda tahu kalau beliau ini adalah—"
"Cukup."
Sang Tuan Putri kembali mencegah perempuan paruh baya itu. Melarangnya bicara lebih banyak.
Sempat mereka bertemu mata. Sebelum akhirnya gadis itu berkata dari balik wajahnya yang masih tertunduk, "Baiklah. Saya akui kalau saya yang bersalah. Mohon maafkan saya, Tuan."
Night tersenyum kecil. Namun ia belum terlalu puas. Entah kenapa ia ingin terus menggoda manusia asing ini.
"Kalau kau bicara dengan seseorang, bukankah sudah seharusnya Anda menatap matanya? Anda juga tak seharusnya menyembunyikan wajah seperti ini. Karena kesannya seperti Anda terpaksa melakukannya."
Kembali terjadi keheningan sejenak. Night hanya berdiri menunggu tindakan gadis itu untuk selanjutnya, dimana dia masih terdiam di balik setiap lapisan kain yang menutupi wajahnya. Sementara sang dayang tampak berusaha membujuk Night untuk membiarkan mereka pergi.
"Baiklah. Aku mengerti."
Setelah menunggu beberapa saat gadis itu akhirnya kembali bersuara. Secara perlahan, salah satu tangannya bergerak menurunkan membuka cadar yang menutupi sebagian besar wajahnya. Memperlihatkannya kepada Night untuk pertama kalinya.
"Saya minta maaf atas kejadian tadi. Saya tidak melakukannya dengan sengaja, jadi mohon untuk tidak menaruh dendam, Tuan."
Untuk pertama kalinya gadis itu berbicara sambil menunjukkan wajahnya.
Kegegeran langsung terjadi setelahnya. Apalagi bagi Honey.
"L-Lho? W-Wanita itu... Wanita itu k-kenapa terlihat mirip denganku?" kata Honey yang benar-benar tergagap. Ekspresinya tampak kaget begitu dapat melihat wajah sang tuan putri. "A-Apa wanita itu, si tuan putri, adalah… diriku?" tanyanya melirik Larry dan Night secara bergantian. Meminta penjelasan kepada kedua mahluk itu.
***