Baixar aplicativo
3.12% Biarkan Cinta Memilih / Chapter 9: Delapan

Capítulo 9: Delapan

"Sal, kayaknya si Bella juga demen deh sama Farel. Dia cuma sok jual mahal gitu. Biar lo kelihatan ngejar-ngejar Farel sedangkan Farel ngejar-ngejar Bella. Dia mau jatuhin harga diri lo!"

Salsha memutar bola matanya malas dan memasukkan liptint yang baru saja ia pakai kedalam sakunya. Tanpa Dinda beritahu pun Salsha paham akan hal itu. Salsha mengenal Bella lebih dari siapapun mengenal gadis itu. Salsha tahu bagaimana busuknya hati Bella.

"Gue tahu!" balas Salsha.

"Terus kenapa lo diam aja?" Dinda merapikan seragamnya.

"Darimana sejarahnya gue diam aja? Lo lihat kan gue selalu nyindir Bella." Salsha membalikkan badannya membelakangi kaca toilet. "Harusnya gue yang heran sama lo. Kenapa tiba-tiba lo ikut nyindir Bella. Biasanya juga, nggak."

Dinda tersenyum miring. "Karena sekarang, Bella udah rebut orang yang gue suka."

Salsha menatap Dinda heran. "Siapa?"

"Aldi!" jawab Dinda cepat. "Gue gemes banget sama Bella, kenapa dia bisa sedekat itu sama Aldi padahal baru juga kenal. Sedangkan gue susah banget kalo mau dekat sama Aldi."

Salsha memutar bola matanya. Pertanyaan yang bersarang di otaknya hanya apa yang menarik dari Aldi sehingga Dinda begitu menyukai lelaki itu.

"Terserah lo, deh."

"Makanya lo harus bantuin gue dapetin nomor Aldi biar gue juga bisa bantuin lo nge bully Bella." Dinda menaik turunkan alisnya. "Kita sama-sama untung, 'kan?"

"Gue nggak janji, ya. Gue males berurusan sama murid baru songong itu!" Salsha melangkahkan kakinya meninggalkan toilet yang di susul oleh Dinda di belakangnya.

*****

"Sal, gue mau nyari makan diluar. Lo mau ikut?"

Aldi mengetuk-ngetuk pintu kamar Salsha untuk mengajak gadis itu mencari makan malam diluar. Aldi tahu jika Salsha memiliki penyakit magh dan tidak boleh terlambat makan. Dan di rumah ini, Salsha adalah tanggung jawabnya.

Tak ada sahutan dari dalam. Aldi kembali mengetuk kamar Salsha. "Heloo, Sal. Lo mau ikut, nggak?"

Tetap saja tak ada jawaban dari dalam kamar. Jika bukan karena orang tua Salsha yang menyuruhnya untuk menjaga gadis itu, mungkin sekarang Aldi akan pergi sendiri dan tak memedulikannya.

"Gue hitung sampe tiga, kalo lo nggak keluar gue pergi, nih."

"Satu!"

Sementara Salsha sedang fokus memainkan ponsel miliknya dan pura-pura tidak mendengar panggilan Aldi. Salsha masih marah dan tak ingin berbicara sepatah kata pun kepada lelaki itu karena masalah kemarin dan tadi pagi.

"Dua!"

Salsha menutup kupingnya dengan kedua tangan. Meskipun lapar, ia tak ingin pergi berdua dengan lelaki itu.

"Tiga! Lo tetap nggak mau keluar, 'kan? Kalo gitu gue pergi sendiri."

Tak ada suara lagi, hanya suara langkahan kaki yang menjauh. Salsha menutup matanya, perutnya berbunyi nyaring. Tetapi ia enggan untuk bergerak dari tidurnya.

Tak ingin mempertahankan egonya, Salsha berdiri dan berjalan menuju balkonnya. Di bawah, Aldi ingin memasuki mobil.

"Eh, Aldii tunggu! Gue keluar sekarang!'" teriak Salsha.

Tak ingin berlama-lama, Salsha meraih jaket dan keluar dari kamarnya itu. Mungkin saja Aldi akan menertawainya, tapi Salsha tak peduli itu. Yang penting perutnya bisa terisi.

Selama di perjalanan, hening masih menerpa mereka. Salsha sama sekali tak mengeluarkan suaranya sementara Aldi berceloteh ria. Ia bernyanyi, bersiul untuk menarik perhatian Salsha tetapi sayangnya gadis itu masih diam.

"Lo mau makan apa?" tanya Aldi.

"Terserah!" jawab Salsha acuh.

"Berasa kayak nanyak ke pacar jawabnya terserah. Sementara lo bukan pacar gue," kekeh Aldi.

Salsha tertawa mengejek. "Oh yaa? lucu?"

Aldi semakin tertawa apalagi melihat ekspresi wajah Salsha. "Serius, lo mau makan apa?"

"Terserah lo aja."

"Nasi goreng?" tanya Aldi.

"Gue nggak mau makan nasi. Ntar gue gendut."

"Bakso?"

"Gue nggak mau makan yang berkuah," tolak Salsha lagi.

"Ya trus lo mau makan apa?" Aldi mulai kehilangan kesabarannya.

"Ya terserah lo!"

Aldi menghentikan mobilnya dan menatap Salsha tajam. "Lo kalo nggak niat makan mending pulang, deh. Lo itu bukan pacar gue yang tanpa lo kasih tau mau lo apa, gue langsung tau. Tania aja nggak seribet lo nentuin makanan."

"Nggak usah banding-bandingin gue sama orang lain. Gue ya gue, dia ya dia!" balas Salsha sengit. Salah satu hal yang Salsha benci dari Aldi adalah sifat membandingkannya. Aldi senang sekali membandingkan orang lain, tanpa ia tahu kalau semua orang punya ciri khasnya tersendiri dan tak bisa di samakan.

Aldi menghela nafasnya, mencoba menahan amarah yang hampir meluap. "Sekarang lo mau makan apa, Sal?"

Salsha memalingkan wajahnya ke depan. "Terserah lo aja. Gue ngikut."

*****

Setelah perdebatan panjang di mobil tadi, akhirnya Aldi membawa Salsha untuk makan sate. Seperti keinginan Salsha untuk tidak makan nasi dan makanan yang berkuah.

Baik Salsha dan Aldi sama-sama menikmati makanan mereka. Tak ada percakapan antara keduanya. Salsha masih enggan bersuara sementara Aldi malas untuk berbasa basi dengan gadis itu.

Salsha mengingat permintaan Dinda tadi siang untuk meminta nomor telepon Aldi. Menurut Salsha momen ini adalah momen yang pas untuk menjalankan niatnya itu.

"Ekheem." Salsha berdehem pelan sembari menatap Aldi. "Gue minta nomor lo dong."

Aldi menghentikan makannya sejenak kemudian menatap Salsha."Nomor gue?"

Salsha mengangguk. "Iya. Emang disini siapa  lagi orang yang gue kenal selain lo? Bego ya kadang-kadang."

Aldi menyipitkan matanya dan memajukan wajahnya ke arah Salsha. "Lo ngapain minta nomor gue? Udah cinta lo sama gue?"

Salsha bergidik geli dan menoyor kepala Aldi. "Amit-amit gue cinta sama lo. Mimpi!"

"Trus kenapa lo minta nomor gue? Pasti karna lo mulai naruh perasaan sama gue, 'kan?" goda Aldi dengan menaikturunkan alisnya.

"Sotoy!" sembur Salsha. "Bukan buat gue, tapi buat Dinda. Ya kali gue mulai cinta atau apalah sama lo. Mimpi lo jangan kejauhan."

"Dinda?" tanya Aldi. Salsha mengangguk. "Teman lo yang mulutnya sebelas dua belas sama lo itu?"

Salsha mengangguk lagi. "Gue sebenarnya heran sih kenapa Dinda bisa suka sama lo. Tampang lo biasa aja. Nggak keren juga 'kan. Tapi Dinda bisa suka sama lo. Lo pake pelet kali, ya?"

"Sembarangan lo kalo ngomong." kali ini Aldi yang menoyor kepala Salsha. "Gue nggak pake pelet. Ya emang dasar cewek-cewek emang terpesona sama gue. Lo juga, tapi lo pura-pura nggak terpesona aja. Ngaku lo!"

Salsha tertawa mengejek. "Oh yaa? Mimpi kali, lo! Gue terpesonanya sama Farel bukan sama cowok nggak jelas kayak lo."

Aldi hanya menghendikkan bahunya acuh dan kembali menyantap sate di depannya.

"Jadi mana nomor lo?" minta Salsha lagi.

"Mana hape lo biar gue catat," kata Aldi akhirnya. Tak ada juga salahnya berteman dengan Dinda.

Salsha menyerahkan ponselnya kepada Aldi. Aldi mengetik beberapa digit nomor di ponsel Salsha tersebut dan menyerahkannya kembali kepada pemiliknya.

Playboy juga nih cowok. Udah punya pacar di Bandung, deketin Bella dan sekarang sama Dinda pun mau. Playboy cap kadal, dasar! Batin Salsha.

"Besok juga gue hapus nih nomor," kata Salsha.

Aldi tak menjawab, ia fokus memakan satenya. Salsha pun sama, ia kembali memakan sate di depannya. Pandangannya beralih ke depan, ia melihat sepasang kekasih yang tengah bercanda ria sembari suapan-suapan.

Dengan pandangan kosong, Salsha berkata. "Enak kali ya punya pacar. Biasa mesra-mesraan di depan umum gitu."

*****


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C9
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login