Perasaan Ravi menjadi tidak enak dan gelisah, maka dia langsung berlari menuruni tangga untuk keluar ke halaman rumahnya dengan tergesa-gesa. Setelah dirinya menemukan sosok pria asing itu yang memegang sebuah pedang berlumuran darah.
Kaki Ravi menjadi lemas ketika matanya menangkap pemandangan yang tidak pernah ingin dia lihat. Di rerumputan yang hijau terbaring Daniel dengan luka perut menganga yang Ravi sangat yakini oleh sabetan pedang dari pria asing itu. Kous putih polosnya berlumur noda darah yang mengerikan, mengotori rerumputan seperti tumpahan cat merah.
Air mata yang tidak Ravi sadari telah mengalir deras kala dirinya mencapai Daniel. Dia berlutut menggenggam telapak tangan Daniel yang mulai mendingin. Daniel yang masih setengah sadar berkedip lemah menatap Ravi, tangannya balik menggenggam Ravi dengan lembut.
"Raymond? Raymond panggil seseorang. Panggil, Raymond. Siapa saja. Tolong Daniel," teriak Ravi histeris, dia melihat ke sekeliling dengan liar mencari seseorang yang dapat membantunya, tetapi tidak ada siapapun. Orangtua mereka tidak ada di rumah semakin membuat Ravi panik dengan jantung memompa cepat.
Tidak ada jawaban dari Raymond, membuat Ravi menoleh pada Raymond yang berdiri kaku di belakangnya. "Ada apa Raymond? Cepat panggil seseorang, tolong Daniel!"
"Tetapi Ravi," kata Raymond ragu dengan air mata yang ikut keluar menatap antara Daniel dan Ravi bergantian. Ravi ingin berteriak merobek keputusasaannya dengan keadaan ketika dia melihat darah Daniel yang mengalir dari perutnya.
"Apa lagi? Tolong," lirih Ravi putus asa menggenggam erat tangan Daniel menyalurkan harapan untuk bertahan yang dia coba bagi pada Daniel. Di mana orang-orang ketika Ravi sangat-sangat membutuhkan mereka?
"Ravi?" bisik Daniel hampir tak terdengar. Napas Daniel tampak tersendat-sendat, seakan tenggorokannya tercekik menutupi rongga pernapasannya. Ravi semakin tidak berdaya, dia takut. Sungguh. Kemungkinan-kemungkinan terburuk telah bertengger di dalam pikirannya sekarang, membuat Ravi mual.
Ravi menatap Daniel yang berkedip lemah. Genggaman tangan Daniel semakin erat di telapak tangan Ravi, hingga Ravi bisa merasakan bagaimana dunianya seakan hancur lewat genggamannya. Dia terus menggaungkan doa-doa di dalam hatinya. "Daniel, aku ada di sini. Kamu akan baik-baik saja."
"Jangan menangis." Daniel berkata dengan susah payah, air mata Ravi semakin deras, ketika dia melihat senyum tipis di bibir kakaknya. Kepala Ravi seperti terasa dihantam dengan keras hingga telinganya berdengung, ketika bayang-bayang menakutkan menari-nari di pikirannya. Mengapa Raymond diam saja?
Ravi bergumam lemah. "Daniel, aku akan meminta bant-,"
Kata-kata Ravi terputus ketika tangannya ditarik lembut oleh Daniel. Lalu semuanya menjadi gelap.
Tidak, tunggu. Daniel?
***
Ravi terbangun dari tidurnya dan langsung melirik pada jam yang bertengger di atas nakas. Dia merentangkan tangannya lelah karena tertidur dengan posisi yang salah sambil membaca buku. Ravi mungkin telah tertidur tanpa sengaja selama dua jam membuat tenggorokannya mengering.
Ravi bangkit keluar kamar dan mendapati Raymond meringkuk tepat di depan pintunya. Dia dengan cepat berdiri saat menyadari kehadiran Ravi.
Ravi meneliti wajah Raymond yang telah dipenuhi jejak air mata pada pipi Raymond yang memerah. Ravi mengangkat alisnya dan bertanya, "Mengapa kamu menangis?"
Tubuh Raymond menjadi kaku di hadapannya ketika mendengar Ravi mulai berbicara membuat Ravi mengernyit dengan heran melihat reaksinya. Raymond tidak menjawabnya dia hanya menunduk menatap lantai yang seolah lebih menarik baginya.
"Kenapa menangis?" tanya Ravi sekali lagi dengan lembut, mencoba membuat Raymond berbicara. Dia bertanya dalam pikirannya apakah Daniel yang membuat Raymond seperti ini? Apakah Daniel mengatakan sesuatu yang buruk terhadap Raymond?
Namun, Raymond malah menggeleng pelan dan menjauhi pandangan Ravi dan Ravi tahu bahwa ada sesuatu yang salah telah terjadi pada Raymond.
"Ravi?" Ravi seketika langsung menoleh mendapati ibunya memanggil dari tangga, Ravi langsung menghampirinya.
"Ada apa, Ibu?" tanya Ravi.
"Ajak Raymond minum teh di bawah, Ibu baru saja selesai memanggang kue cokelat kering,"jawab ibunya ringan.
Sudut bibir Ravi tertarik ke atas membentuk senyuman. Dia melihat Raymond masih setia untuk memandangi lantai dan tidak akan membicarakan alasannya menangis, dia menarik lengan Raymond yang masih berdiri kaku di depan pintu untuk membawanya ikut menuruni tangga menyusul ibunya.
***
Di meja makan sudah tersaji teh dan kue kering, membuat Ravi langsung menyeret kursi untuk dia duduki. Kepala Ravi menoleh ke sana kemari mencari eksistensi Daniel yang biasanya duduk di depan televisi atau berkeliaran menggangu Ravi di jam seperti ini. "Ibu, di mana Daniel?"
Ibunya yang bernama Diana terbatuk pelan hingga Ravi langsung menyodorkan segelas air yang di teguk ibunya hingga tandas. Dia baru menyadari mata Diana yang bengkak dan memerah. "Ibu kenapa? Habis menangis?"
"Tidak, Ibu baru bangun tidur. Kita makan saja langsung," kata Diana lembut dengan senyuman. Ravi memperhatikan bagaimana mata ibunya sesekali jatuh ke depan pintu kamar Daniel dan kembali menatap makanan dengan ekspresi tertutup. Faktanya Diana tidak pernah tidur siang, hal itu membuat Ravi bertanya-tanya untuk alasan apa ibunya berbohong.
Ravi tidak membawa percakapan itu lebih panjang lagi, dia membiarkannya berlalu. Namun Ravi tetap memperhatikan Diana pelan-pelan, dia semakin lama mengkhawatirkan ibunya kalau-kalau sesuatu terjadi padanya. Raymond juga tampak aneh dia terus-menerus menunduk mengaduk teh asal hingga suara dentingnya tampak nyaring di suasana hening mereka sekarang.
Baru kali ini Ravi merasa tidak nyaman di meja makan dengan keheningan yang panjang yang tampak terasa salah. Bertanya-tanya apa yang semua orang tutupi dari dirinya.
"Ibu, Ravi ke kamar," kata Ravi pada akhirnya dan terkejut dengan suaranya sendiri yang terdengar kasar.
Ravi langsung menuju kamarnya kembali, tidak peduli apakah Raymond akan menyusulnya atau tidak. Dia berjalan menuju jendela memperhatikan rumah-rumah di hadapannya yang tampak sama persis. Beberapa bulan ini kegiatan Ravi hanya di isi di rumah, menunggu panggilan dari lamaran pekerjaan yang dia coba masuki hanya untuk mengisi waktu luang Ravi yang membosankan.
Ravi tersadar dari lamunannya saat mendengar suara ketukan pintu sangat pelan dari luar kamarnya. "Masuk saja."
Raymond datang berdiri tepat di belakang Ravi, hingga Ravi berbalik menghadapnya dan bersandar di jendela. "Ada apa?"
Raymond mengangkat wajahnya, Ravi hampir ingin menarik napasnya dalam saat iris berbeda warna bersitatap dengan mata Ravi. Itu sangat jernih, hingga Ravi sulit untuk mengalihkan pandangannya. Dia tidak menyukai bagaimana cara kerja jantungnya yang cepat saat merasakan panas tubuh Raymond di hadapannya. "Aku, ingin melihat Ravi."
Kening Ravi berkerut dengan bingung yang terlalu sulit menafsirkan perkataan Raymond. Setelah dari meja makan perasaan Ravi sudah tidak enak dengan bagaimana cara ibunya mengalihkan pertanyaannya saat bertanya di mana Daniel berada. "Untuk apa?"
"Agar aku baik-baik saja," lirih Raymond.
"Apa maksudmu?"
Raymond menggeleng pelan, rambut acaknya bergoyang mengikuti. Melihat hal itu, Ravi hampir saja berkeinginan untuk membenamkan jemarinya pada helai hitam Raymond dan merapikannya. Kemudian memukul dirinya dalam hati dengan keinginan dirinya yang jauh dari kata normal pada Raymond ini.
"Aku pikir kamu tidak akan menutupi sesuatu dariku," kata Ravi hati-hati.
Ravi masih menahan dirinya untuk tetap menatap Raymond, dia ingin membuatnya berbicara. Namun, jika Raymond tidak ingin mengatakannya maka Ravi tidak mengapa.
"Ravi?"
"Hm?" gumamnya mengangkat halus alisnya.
"Ravi tidak membenciku, kan?"
Ravi memperhatikan Raymond yang melihatnya dengan perhatian penuh serta alisnya tenggelam di balik poni rambutnya, menunggu Ravi untuk menjawab. Ravi menggeleng dan balik bertanya, "Mengapa kamu bertanya seperti itu?"
"Agar aku bisa meminta maaf pada Ravi."
Kilau pada mata Raymond meredup tatkala bola matanya yang menggelap dan pandangannya menjadi tidak fokus. Ravi sigap maju memeluk bahu Raymond saat tubuhnya oleng ke depan. "Raymond?"
Tidak ada jawaban yang Ravi dapatkan, hanya napas pelan teratur yang membelai telinganya, menciptakan rasa panas pada pipi Ravi. Tidak salah lagi, Raymond tertidur. Namun sebelum tertidur Ravi masih bisa mendengar Raymond berbisik dengan gelisah. "Bukan aku yang melakukannya."
Ravi bernapas sepelan mungkin di larut malam ini, dia bersandar di dinding untuk mendengar pergerakkan apapun di kamar sebelah. Namun di sana tetap hening hanya suara angin musim semi yang berderak di luar sana, menciptakan dedaunan menari mengikuti alunan angin. Apa yang salah dengan Daniel? Dia mengurung diri sejak dua hari yang lalu, Ravi yakin itu. Walaupun ibunya mengatakan Daniel sedang pergi ke luar kota dan tidak tahu kapan akan pulang.
Jika pun memang benar Daniel sedang pergi, kakaknya pasti akan berpamitan padanya. Ravi kadang sesekali mendengar pergerakkan di ujung kamar Daniel, benda jatuh, sesuatu yang pecah mungkin saja itu sebuah gelas kaca. Namun, secepat suara itu muncul, hal itu akan tenggelam kembali di balik keheningan seperti tidak pernah terjadi sebelumnya.
Ayah, ibu bahkan Raymond seperti menutupi hal ini dari Ravi. Mereka kadang berpura-pura seolah tidak mendengar Ravi bertanya ketika dirinya membawa percakapan tentang kehadiran Daniel saat mereka sedang berbincang-bincang bersama.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Ravi pada dirinya sendiri. Dia semakin merapatkan kakinya ke dada.
Ravi tersentak mendengar suara seperti geraman teredam dari luar jendelanya. Dia bangkit berdiri mengabaikan pening yang muncul di kepalanya ketika dia bergerak terlalu cepat. Ravi mengintip terlebih dahulu untuk melihat asal suara. Namun, pandangannya terbatas, suara itu datang jauh di sebelah kiri tak terjangkau penglihatan Ravi.
Ravi membuka sedikit jendela, hingga apa yang dia pandang di sana membuat napasnya tercekat. Bagaimana tidak, di sana seorang pria berambut perak dengan telinga runcing, melayang menggunakan sayap putih mengepak di belakang punggungnya. Dia mengenakan baju aneh yang menempel di tubuhnya, sekilas itu seperti baju besi kokoh yang melekat di sana. Pria itu tampak sebangsa dengan Raymond. Ravi tidak tahu mengapa dia ada di sekitar balkon Daniel dan kehadirannya membawa perasaan tidak menyenangkan bagi Ravi.
"Masih hidup rupanya. Bisa jadi aku kurang memberimu racun." Dia tertawa dengan sinis, lalu bibirnya menyeringai ketika Daniel keluar dengan terseok-seok. Ravi menarik napas tajam, ketika pada akhirnya dia dapat kembali melihat Daniel walaupun dalam kondisi seperti ini.
Benar dugaan Ravi, Daniel ada di kamarnya, tidak dalam kondisi baik. Bagaimanapun hati Ravi terasa tercubit dengan kebohongan yang dia terima, tidak ada yang memberitahunya tentang hal ini. Tentang racun, tentang siapa pria ini, dan hubungannya dengan Daniel.
"Tidak ada tempat berbicara untukmu di sini. Jadi pergilah," desis Daniel tajam dan kasar. Bahkan dari kata dan nada yang Daniel lontarkan membuat Ravi menggigil di baliknya. Dia tidak pernah mendengar Daniel berbicara seperti ini sebelumnya, bahkan dengan Raymond.
"Santai, aku ingin menikmati setiap penderitaanmu. Jadi, aku akan kembali menciptakan hari-harimu dan bocah sialan itu seperti di neraka." Kebencian mengalir lancar dari kalimat yang dikeluarkan pria berambut silver itu, dia kembali menatap Daniel dengan matanya berkilat berbahaya, wajahnya mengeras di dalam rahang perseginya. "Aku tidak ingin mengakhirinya begitu cepat."
Daniel berdecih, dia kali ini melangkah mantap, jemarinya terkepal erat di sisi tubuhnya. "Berani kamu menyentuh keluargaku, aku akan membuat kejadian lima puluh tahun lalu terulang lagi."
Pria itu terkekeh dengan sinis. "Aku tidak sabar menunggunya."
Ravi tersentak dari tempatnya mengintip ketika mata pria asing itu bergulir bertatapan dengan Ravi untuk sepersekian detik dan pria itu menyeringai kemudian terbang menjauh.
Dia melihatku.
Ravi melesat kembali bersandar di dinding merasakan gemuruh hebat jantungnya yang berdetak. Dia tidak pernah membiarkan ketakutan menguasai dirinya, tetapi tentang tatapan itu, tatapan itu penuh dengan kebencian dan perhitungan yang dengan jelas menguar dari pria itu. Ravi bergidik ketika dia masih merasakan dan mendengar suara dari pria asing di dalam kepalanya.
Siapa dia? Apa yang di sembunyikan Daniel? Apa yang diketahui Daniel sementara Ravi tidak tahu? Kejadian apa yang terjadi lima puluh tahun lalu?
Kalimat tanya serupa terus berdengung bersahutan di pikiran Ravi membuatnya tak nyaman. Di dalam pergolakan batinnya, tanpa sadar air mata Ravi meleleh membasahi pipinya yang terasa dingin oleh angin musim semi. Dia merapatkan kakinya ke dada membuat dirinya senyaman mungkin. Dia adalah seoarang laki-laki, tidak seharusnya dirinya bertingkah begitu lemah seperti ini.
Ketukan pelan dari pintu membuyarkan lamunan Ravi, dia menghapus jejak air mata di pipinya. Melirik cermin sebentar yang menempel di dinding dan menghembuskan napas pelan. Dia berjalan ke sisi pintu tidak ingin membohongi siapa pun bahwa dia sebenarnya tidak tidur.
Ravi membuka pintu hanya untuk melihat Raymond berdiri di hadapannya sedang memeluk badannya sendiri. Ravi mengerutkan alisnya memandang Raymond dengan raut wajah pucat, dan kehilangan rona. Akhirnya Ravi membuka suara di tengah keheningan malam dan cahaya redup dari mata Raymond yang bersinar hampir mengalihkan fokusnya. "Ada apa?"
Raymond belum menjawabnya dia terus meneliti Ravi dengan pandangannya, Ravi sejujurnya sangat tidak nyaman diperhatikan seperti ini, tetaoi dia tidak menyerah bahkan untuk mengalihkan tatapannya.
"Kenapa Ravi tidak tidur?" Akhirnya Raymond sangat pelan membuka suaranya dengan berbisik.
Ravi berkedip dia mengalihkan pandangannya ke belakang kepala Raymond dan menjawab, "Aku belum mengantuk. Ada apa, Raymond? Butuh sesuatu?"
"Ravi jangan takut, ada aku di sini," katanya tiba-tiba. Ravi tercengang pada apa yang dikatakan Raymond barusan. Dia dapat merasakan pipinya yang menghangat, kecepatan detak jantungnya meningkat seiring Raymond yang melangkah mendekat perlahan pada ruang Ravi berpijak.
"Bagaimana kamu bisa berpikir aku ketakutan?" ucapnya menatap langsung mata berbeda warna Raymond.
"Aku tahu apa yang Ravi pikirkan, dan apa yang Ravi rasa."
"Tidak, kamu tidak tahu," sangkal Ravi. Dia tidak mengatakan bahwa dia tidak percaya pada Raymond, tapi Ravi merasakan privasinya merasa terganggu. Dia tidak pernah ingin berbagi apapun kecuali kebahagian pada orang lain.
"Aku tahu. Pria itu tidak akan pernah bisa menyakiti Ravi."
Mata Ravi melebar, dia terkejut dengan dengan perkataan Raymond. Perutnya terasa terpelintir ketika suara pria asing berambut silver itu kembali memasuki kepalanya. Dia entah mengapa merasakan kemarahan di benaknya, mengenai bagaimana kedua orangtuanya berbohong, dan Raymond bahkan tidak mengatakan apapun padanya. "Dia memang tidak menyakiti Aku. Tapi dia menyakiti Daniel, aku tahu itu. Aku percaya bahwa kamu memang tahu apa yang Aku pikirkan, tapi kamu tidak pernah tahu apa yang aku rasakan kemarin dan sekarang. Jika kamu tahu, kamu tidak akan diam saja seperti ini." Ravi menggeleng kepalanya, merasakan air mata yang dia coba bendung. "Kamu tidak tahu apapun. Ayah, ibu, Daniel bahkan kamu Raymond, aku tidak tahu apa yang kalian sembunyikan dariku. Aku tidak tahu lagi harus berbicara apa. Kembalilah ke kamarmu, aku ingin tidur."
Ravi tidak ingin melihat bagaimana reaksi Raymond, atau dia pasti akan menyesali setiap perkataannya. Ketika Ravi mundur untuk menutup pintu, pergelangan tangannya tiba-tiba di genggam oleh Raymond. Ravi melihat antara tangannya dan wajah Raymond. Dari mana keberanian Raymond muncul? Bukankah Ravi telah mengatakan untuk tidak menyentuhnya seperti ini?
Ravi menepisnya. "Jangan sentuh. Aku benar-benar kecewa."
"Ravi maaf, karena aku tidak bisa memberitahu yang sebenarnya."
Ravi tidak tahu apa yang dilakukannya. Dia sejujurnya tidak ingin marah pada Raymond. Itu adalah haknya, karena walaupun Raymond mengatakan dia adalah milik Ravi, tetapi bagi Ravi Raymond adalah milik Ramond sendiri. Namun, mengapa Ravi justru bertingkah seperti ini?
"Tidak ada kata maaf, untuk orang melakukan kesalahan dengan sengaja. Pergi dari hadapanku." Setelah mengatakan itu, mata Ravi melebar menatap Raymond yang bahunya terkulai. Ravi menutup mulutnya dan menggeleng tidak berdaya. Apa yang dia katakan?
Ravi kembali menggeleng, dia bukan ingin mengatakan itu. Kalimat itu keluar secara tiba-tiba dari bibirnya. Tanpa sadar air matanya turun, dia melihat ekspresi sedih timbul dari Raymond, tetapi tangan Ravi lebih dulu menutup pintu dengan keras.
Apa yang salah dari dirinya?
Você também pode gostar
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi