Baixar aplicativo
0.49% THE SCANDALS / Chapter 2: PRIA ASING?

Capítulo 2: PRIA ASING?

Andrea menghapus air matanya, mencoba menjawab pertanyaan Felix.

"Iya, aku dalam perjalanan. Maaf Felix aku lupa," ujar Andrea.

Felix terdengar mendesis, sepertinya ia kesal dengan jawaban Andrea.

"Aku tunggu di tokonya saja," ujar Felix.

"Oh baiklah Felix. Aku akan segera ke sana."

Felix mematikan teleponnya. Andrea bergegas menuju halte bus. Beruntug karena busnya segera tiba.

Ia segera naik ke bus itu dan berangkat menuju toko pakaian yang dituju Felix.

Tak sampai dua puluh menit Andrea sampai dan ia segera berlari menuju toko yang dimaksud.

"Maafkan aku. Aku ada urusan penting," ujar Andrea sambil terengah engah.

Felix nampak mengangkat alisnya dan melirik ke arah Andrea.

"Kau bau minuman? Kau minum semalam saat aku pergi?" tanya Felix seolah menginterogasi Andrea.

"Emmh ... " Andrea nampak bingung menjawab Felix. Tak mungkin ia menceritakan apa yang terjadi padanya ke Felix.

"Sudahlah, cepat kita masuk," kata Felix sedikit kesal.

"Iya," jawab Andrea.

Mereka lantas melangkah masuk ke sebuah toko pakaian kantor. Andrea memilihkan beberapa pakaian kerja untuk Felix.

Beberapa kali mencoba dan Felix terlihat tak suka.

"Baiklah, terserah kau mau yang mana," ujar Andrea.

Felixpun tersenyum, ia lantas memilih sebuah setelan yang terpasang di manekin. Dan memang setelan itu sangat bagus.

"Permisi, saya mau yang ini," ujar Felix pada pramuniaga.

"Yang ini ya Tuan? Baik saya ambilkan," ujar pramuniaga.

Andrea tersenyum saat Felix terlihat senang membeli setelan jas itu. Ia bahagia, pria yang ia cintai akan segera menjadi orang sukses.

"Kau bahagia sekali?" tanya Andrea sambil merangkul lengan Felix.

"Tentu saja. Impianku akan segera menjadi kenyataan," ujar Felix.

"Aku senang jika kau bahagia," ujar Andrea seraya meninggalkan Felix menuju ke kasir untuk membayar pakaian pilihan Felix.

Padahal dalam hatinya ia sangat bingung karean perbuatan teman teman Felix semalam.

Ia tak tahu Bruno dan Rendy sebejat itu. Bagaimana jika mereka memberitahu Felix? Apakah Felix akan membelanya atau malah malu padanya.

"Totalnya lima juta lima puluh ribu rupiah. Sudah termasuk pajak," ujar kasir.

"Apa? Lima juta?" Andrea tercengang mendengar ucapan kasir.

"Iya, pakaian ini memeng memiliki kualitas yang terbilang bagus. Dengan harga yang tak terlalu mahal dibanding dengan merk lain," ujar kasir.

Andrea nampak bingung. Ia melihat ke aplikasi mobile banking miliknya. Saldo tabungannya hanya ada sepuluh juta.

"Bagaimana Kak? Mau pakai kartu kredit atau cash?" tanya kasir.

Andre menghela napas dan mencoba tersenyum.

"Kartu kredit aja. Saya cicil enam bulan," ujar Andrea.

"Baik, Kak," ujar kasir.

Andrea menyelesaikan transaksinya lalu membawa pakaian itu dan menyerahkan pada Felix yang masih asyik melihat lihat baju baju yang lain.

"Kapan kau akan berangkat kerja?" tanya Andrea.

"Eum, mungkin bulan depan. Aku masih harus melakukan satu kali test wawancara lagi," jawab Felix.

"Hem, baiklah. Ayo kita pulang. Aku lelah sekali," ujar Andrea.

"Kau darimana semalaman?" tanya Felix.

"Aku di rumah Tiara," ujar Andrea berbohong.

Felix mengernyitkan dahinya. Namun ia tak berkata apapun.

****

Felix sudah rapi dengan pakaiannya. Ia mendapat tawaran pekerjaan di instansi pemerintahan. Namun ia tak pernah memberitahu Andrea.

Andrea hanya tahu, bahwa ia mendaftar di perusahaan swasta besar sebagai karyawan biasa.

"Permisi, saya mendapat panggilan kerja di sini. Bisa saya bertemu dengan Pak Bambang Sujatmiko?" ujar Felix pada bagian informasi.

Petugas di bagian informasi mengamati Felix dari atas sampai bawah. Seakan akan matanya siap menggeledah setiap inchi dari Felix.

"Tunggu sebentar," jawab petugas wanita itu. Ia lantas memberikan sebuah buku jurnal ke Felix.

"Isi dulu daftar tamu ini. Lalu tunggu lima belas menit di sana. Jika belum ada panggilan tunggu sampai ada yang memanggil dari ruangan di sana," ujar petugas sambil menunjuk ke sebuah ruangan tertutup.

Di depan ruangan itu ada kursi tunggu yang di sana juga ada orang orang yang telihat cemas sedang menunggu.

"Baik," jawab Felix sambil mengisi buku tamu. Setelah itu ia bergegas ke kursi tunggu.

Beberapa lama Felix menunggu bersama beberapa orang. Meskipun sebenarnya tak banyak. Namun jarak dari satu orang ke orang lain lumayan lama. Bahkan ada yang samapi dua jam.

"Wawancara macam apa selama ini?" gerutu Felix sambil melihat ke arah jam tangan yang dibelikan oleh Andrea.

"Aahh!" suara pekikan seorang wanita mengagetkan ruangan itu.

Felix menoleh ke arah datangnya suara. Nampak seorang wanita cantik memakai pakaian kantor.

"Cantik sekali," gumam Felix.

Wanita itu ternyata tak sengaja menjatuhkan minuman yang ia bawa. Ia terkejut karean minuman itu mengenai sepatunya yang terlihat mahal.

"Saya ambilkan lagi ibu walikota," ujar seorang pria di belakangnya.

'Walikota? Wanita cantik itu walikota? Bagaimana bisa aku tak tahu?' gumam Felix dalam hati.

Entah karena jarak yang dekat atau karena simpati. Felix tiba tiba mengeluarkan sapu tangan dan mengelap sepatu walikota cantik itu.

"Hei, jangan!" ujar wanita itu ramah.

"Tidak apa, sepatu Anda akan rusak jika terkena air," ujar Felix sambil membersihkan sepatu walikota cantik itu.

Di badge nama wanita itu tertulis nama Karlina Ayu Septiyani. Felix merasa asing dengan nama itu. Bukankah, walikota belum ganti? Tapi kenapa ia tak tahu jika wanita ini adalah walikotanya.

"Maaf, kalau saya tak sopan," ujar Felx.

"Oh tidak, justru saya berterimakasih. Maaf ya saya terburu buru," ujar wanita bernama Karlina itu.

"Iya," jawab Felix.

Karlina dan beberapa ajudannya melangkah masuk menuju ruangannya.

Felix melihatnya dari belakang. Ia berdecak kagum melihat bagaimana cantik dan anggunnya walikota itu.

"Sejak kapan walikota kota ini perempuan?" gumam Felix bingung.

Tak berapa lama Felix masuk ke ruang wawancara. Di dalam ia ditanya tentang banyak hal.

Namanya masuk ke instansi pemerintahan memang banyak persyaratannya. Apalagi dia hanya seseorang yang belum berpengalaman dan baru lulus kuliah.

"Terimakasih Tuan Felix. Tunggu kabar dari kami melalui email. Jika dalam dua minggu tak ada email dari kami. Maka berarti Anda gugur dalam seleksi kali ini," ujar salah seorang pewawancara.

"Baik, terimakasih batas kesempatan yang diberikan pada saya," ujar Felix.

***

Berbeda dengan Felix yang sedang bersemangat menggapai masa depan. Andrea justru terpuruk di dalam rumahnya yang sederhana.

Dia tak henti hentinya menangis menyesali kejadian yang tengah menimpa dirinya.

"Apa salahku? Kenapa ini terjadi padaku? Aku jijik pada diriku sendiri!"

Suara tangisannya bahkan mungkin bisa terdengar dari luar kamar jika ada orang lain.

Sayangnya ia tinggal sendiri. Orangtua Andrea tak tahu entah dimana. Sejak kecil ia tinggal di rumah ini sendiri.

"Arrgh," Andre memegangi bagian pangkalnya. Ia sudah menahan nahannya sejak bersama Felix tadi pagi.

Ia berusaha turun dari ranjang hendak ke kamar mandi. Badannya serasa babak belur. Sebenarnya apa yang sudah mereka lakukan padanya.

KRING! KRING!

Dering ponselnya membuatnya terkejut. Ia buru buru mengangkatnya.

"Hallo," sapa Andrea.

"Apa benar ini nomer nona Andrea Fransiska?"

"Iya?" Andrea nampak bingung dengan suara yang tak ia kenal.

"Benar Anda bekerja di salon Cendana?"

"Iya benar?" jawab Andrea bingung.

"Kami ingin mengajukan komplain karena atasan kami mengalami ruam ruam di sekitar leher setelah melakukan treatmen di salon Anda."

Andrea tak mengerti dengan ucapan orang di telepon itu. Bagaimana bisa ia yang dikomplain.

"Kenapa Anda menghubungi saya? Anda bisa menghubungi pihak salon. Saya hanya melakukan pekerjaan saya. Semua jenis kosmetik dikeluarkan atas seijin salon."

"Maaf, pihak salon bilang mereka tak bertanggung jawab karean Anda yang bertanggung jawab atas pelanggan Anda sendiri."

"Astaga."

***

Andrea berlari sambil menahan sakit di pangkal tubuhnya. Ia datang menuju sebuah apartemen.

JEGREK!

Seorang pria membuka pintu apartemen itu. Andrea berusaha bersikap ramah pada orang itu.

"Saya Andrea Fransiska," ucap Andrea ramah.

"Masuk!" ujar pria itu dingin.

Andrea nampak bingung. Ia tak paham mengapa ia harus masuk ke sebuah apartemen untuk menerima komplain dari pelanggan.

Memasuki apartemen itu, Andre disuguhi ruangan ruangan mewah yang memanjakan matanya.

"Maaf, dimana pelanggan yang akan komplain?"

"Duduklah!" ujar pria tinggi besar dengan wajah yang dibilang tampan. Namun ia sama sekali tak tersenyum pada Andrea.

Andrea duduk di ruang tamu dengan bingung. Dan tiba tiba saja pria itu melemparkan berkas berkas ke hadapan Andrea.

"A - apa maksudnya ini?"

"Surat tuntutan," ujar pria itu

"Tuntutan? Hanya karena salah cat rambut? Maaf, dimana pelanggan yang Anda maksud. Saya tak pernah menangani Anda!" pekik Andrea yang merasa ada sesuatu yang tak beres.

"Kau kekasih dari Felix Ardhinata?" tanya orang itu tanpa ekspresi apapun.

"Felix? Ada apa dengan Felix?" Andrea mulai panik karena pria itu tiba tiba menyebutkan nama Felix.

"Kekasihmu adalah antek dari salah seorang pejabat besar di negara ini. Dan kau, pasti tahu sesuatu tentangnya."

Andrea terbelalak tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pria ini. Ia tak mengerti. Selama ini Felix hanyalah mahasiswa pintar di sebuah universitas yang sedang mencoba peruntungan melamar kerja di perusahaan.

"Sepertinya kau sudah dibohongi kekasihmu," ujar pria asing itu.

Next ...


Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C2
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login