Jam menunjukkan pukul 06:15, gadis bernama Nadia itu sudah selesai melakukan semua pekerjaan rumah, mulai dari menyapu, memasak untuk sarapan, dan lain sebagainya. Sekarang ia juga sudah mengenakan seragam sekolah nya, bersiap untuk berangkat sekolah.
Di rumah itu, ia tinggal bersama dengan kedua orangtuanya dan juga seorang adik yang hanya berjarak 4 bulan darinya. Kenapa 4 bulan? Ya, karena mereka berdua berbeda mama namun satu papa. Ada kejadian panjang yang mengharuskan dirinya berpisah dengan ibu kandungnya sendiri.
Nadia tidak pernah menunggu keluarganya untuk sarapan, gadis ini berbeda dengan adiknya. Jika ia ikut sarapan ataupun makan bersama, maka seluruh anggota keluarga nya akan meninggalkannya sendiri di ruang makan dan mereka lebih memilih untuk tidak makan.
Hal seperti ini sudah biasa, atau lebih tepatnya semenjak 6 tahun yang lalu saat ia masih berusia 9 tahun. Setelah ia di tinggalkan oleh ibu kandungnya sendiri.
"Lebih baik aku berangkat sekarang, sebelum mereka turun untuk sarapan. Hari ini aku tidak ingin mengacaukan aktivitas mereka dengan kehadiran ku," lirih gadis bermanik cantik itu, sambil tersenyum kecut dan memandangi meja makan.
"Aku berangkat..." ucapnya lagi dengan nada pelan.
Nadia berpamitan, tetapi entah pada siapa ia berpamitan. Rasanya sudah lama ia tidak berpamitan kepada siapapun. Ia pun juga tak pernah di anggap kehadirannya, lalu kenapa ia harus berpamitan jika ia akan pergi? Begitu pikirnya.
Jarak antara rumah keluarga Nadia dengan sekolahnya tidak terlalu jauh. Mungkin hanya sekitar 6-7 menit berjalan kaki, sudah sampai di sekolah elite itu.
Nadia berjalan perlahan menyusuri koridor sekolah. Wajahnya tak henti menampilkan senyum manis pada siapapun yang menyapa nya sepanjang perjalanan nya. Nadia memang cukup populer, di sukai banyak siswa-siswa di sekolah nya. Namun, mereka hanya menyukai kecantikan fisiknya saja. Tidak ada yang benar-benar tulus untuk menyukai Nadia yang baik hatinya itu.
Gadis itu masuk ke dalam kelas dan duduk manis di bangkunya. Tidak lama kemudian, seorang siswi berkulit tan masuk kelas dengan senyuman lebar seantero jagat raya. Siswi itu bahkan langsung duduk di bangku kosong samping Nadia.
Dan siswi itu adalah Yeri Amanda, sahabat karib Nadia sejak pertama kali masuk menginjakkan kaki di SMA Pelita Bangsa.
"Nad, kamu udah selesai ngerjain tugas hari ini belum?" tanya Yeri yang baru saja meletakkan tas sekolahnya.
Nadia menghela nafas sejenak, kemudian tersenyum melihat Yeri sahabatnya itu. Tangannya meraih buku dalam tas sekolah nya, lalu memberikan buku itu pada Yeri.
"Aaa~~ terimakasih Nadia cantik... Jadi makin sayang," Yeri memeluk Nadia dengan gemasnya.
"Singkirkan tanganmu," ucap Nadia pelan.
Nadia itu sedikit risih jika ada yang bermanja-manja padanya. Terlebih lagi itu adalah Yeri yang terkadang sampai lupa batasan hingga mencium Nadia juga. Huh, bukankah cukup risih? Atau justru sangat risih.
"Kamu selalu aja kayak gini," gadis berpipi chubby itu mempoutkan bibirnya kesal lalu membuka mulai bukunya.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini juga, Yer?" tanya Nadia pada Yeri yang kini sudah sibuk menyalin pekerjaan nya.
"Apa maksud kamu? Jangan bilang kamu udah nggak mau lagi kasih aku contekan ya?" sahut Yeri tanpa memalingkan pandangannya dari buku.
"Ah, bukan kayak itu. Tapi, kita kan udah kelas 3. Kalau kamu kayak gini terus menerus gimana kamu bisa lulus ujian nasional nanti?" tutur Nadia sambil memandang Yeri dengan tatapan memelas karena kasihan pada sahabatnya itu.
Bukan maksud Nadia tidak mau memberikan bantuan lagi pada Yeri, tetapi jika terus menerus seperti ini maka yang rugi bukanlah Nadia melainkan Yeri sendiri, bukan?
"Tenang aja, nggak perlu khawatir tentang aku, Nad. Aku udah punya taktik sendiri kalau aku nggak bisa di luluskan," sahut Yeri dengan enteng.
Nadia menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak paham maksud Yeri.
"Taktik kayak gimana?" tanya Nadia dengan polos.
Yeri mengalihkan perhatiannya dari buku-buku di hadapannya itu. Matanya memicing tajam menatap Nadia. Sementara Nadia sama sekali masih belum paham.
"Kamu mau tau?" tanya Yeri balik.
Nadia mengangguk kuat. Ia penasaran dengan apa yang akan di katakan oleh sahabatnya ini. Sepertinya, ini ide yang cemerlang.
"Taktik nya adalah ... Mengencani kepala sekolah!"
Sial, lupakan tentang ide cemerlang. Nadia harus ingat kalau sahabatnya ini memang sedikit aneh dan menyebalkan. Bagaimana bisa berkencan dengan kepala sekolah? Apa Yeri itu berniat menjadi simpanan suami orang?
"Ahahahaha"
Tawa Yeri pecah melihat ekspresi Nadia yang berubah menjadi masam. Bagaimana tidak? Nadia sangat serius dengan apa yang akan di katakan oleh Yeri, tapi sahabatnya itu benar-benar memancing emosinya.
"Kamu tuh ya, aku padahal udah serius banget dengerin saran dan taktik dari kamu. Sayangnya aku lupa kalau otak kamu agak gesrek," decak Nadia sebal.
Yeri hanya terkekeh dan melanjutkan aktivitasnya menyalin pekerjaan rumah milik Nadia. Nadia pun terdiam memandangi sahabatnya itu. Hanya Yeri yang selalu ada di sampingnya selama ini, yang membelanya ketika dalam masalah, yang menghiburnya ketika sedang sedih dan juga membantunya ketika sedang kesusahan.
Bagi Nadia, Yeri adalah sebagian hidupnya. Yeri berharga bagi Nadia, karena hanya Yeri yang memberi cinta tulus pada Nadia. Meski Yeri terkadang sangat menyebalkan, tetapi Yeri juga tidak pernah sampai melukai perasaan Nadia, jika ia salah maka sudah pasti dirinya akan langsung meminta maaf pada Nadia. Begitu juga sebaliknya.
Saat Yeri masih sibuk dengan pekerjaan nya, Bianca Arsa Wijaya -adik Nadia- masuk kelas bersama dengan dua orang sahabat nya. Lia dan Yuna. Adiknya itu selalu dan selalu terlihat bahagia. Ya, memang hidup Bianca jauh lebih bahagia di bandingkan dengan Nadia.
Kasih sayang yang penuh dari kedua orangtuanya, memiliki banyak teman dan penggemar yang banyak di sosial media. Anak-anak mengenal Bianca sebagai primadona sekolah, walaupun sebenarnya Nadia lebih cantik dan anggun. Tetapi, Bianca jauh lebih populer dari Nadia.
Ketiga siswi itu duduk di bangku setelah masuk ke dalam kelas.
"Hei, Apa lo berdua udah dengar kabar kalau hari ini bakalan ada murid baru?" Yuna membuka suara.
"Oh ya? Kenapa gue nggak tau sama sekali?" sahut Lia antusias.
"Gue denger, dia lumayan ganteng loh. Tapi, gue sendiri sebenarnya juga belum tau pasti," lanjut Yuna sambil menyengir tak berdosa.
"Bi, Lo nggak penasaran apa sama cowok baru nya? Atau jangan-jangan lo juga udah tau tentang kabar ini?" Lia menyenggol siku Bianca yang duduk di sampingnya itu.
Sementara Bianca yang sedari tadi hanya fokus pada ponselnya itu pun mengalihkan perhatiannya pada kedua temannya yang sedang sibuk bergunjing tentang murid baru. Benar-benar sangat menyebalkan bagi Bianca jika harus membahas hal yang seperti ini.
"Apanya yang spesial dari murid baru sih? Ck, ganggu doang lo berdua," cebik Bianca dan melanjutkan aktivitas memainkan ponselnya.
"Dih, ntar kalau tau si murid barunya ganteng palingan juga di Pepet," gerutu Lia.
Bianca memukul lengan Lia kasar. "Berisik!" ketusnya karena benar-benar terusik.
Sementara Yuna terkekeh melihat Lia memasang raut kesal karena Bianca memukul nya. Bianca itu tipekal orang yang sangat kasar dan terkesan kejam. Dia bahkan tidak segan-segan untuk memukul, menendang, atau bahkan lebih kasar lagi pada orang yang berani mengusik dirinya.
Tidak lama kemudian, guru datang bersama dengan seorang siswa tampan paripurna. Dan seketika seluruh perhatian langsung tertuju pada guru laki-laki itu, juga murid yang sedang berjalan di belakangnya.
Kini dua orang guru dan murid itu sudah berdiri di depan kelas.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Pak Chen.
"Pagi..." sahut anak-anak dengan kompak.
"Hari ini kalian mendapat teman baru. ."
Pak Chen memandang siswa baru yang saat ini sedang berdiri di sampingnya itu. "Perkenalkan dirimu," pintanya kemudian.
"Halo, teman-teman. Perkenalkan nama aku Rafandra Mahardika, aku pindahan dari Surabaya dan salam kenal," ucap siswa itu memperkenalkan diri dengan singkat.
Siswa itu memperkenalkan dirinya singkat sambil menampilkan eyesmile-nya yang sangat menarik. Siswa itu tinggi semampai, berkulit putih dan memiliki tubuh dengan proporsi yang ideal. Satu kata untuknya "Menawan".
"Udah gue bilang kan kalau bakalan ada murid baru di sini. Mana ganteng lagi," bisik Yuna pada Lia dan Bianca.
Lia mengangguk tanpa mengalihkan pandangan mereka dari Rafa. Sementara Bianca masih terlihat acuh dan terkesan tidak perduli dengan Rafa yang kini sedang tersenyum dan memandang seisi kelas.
"Duh, stok cowok ganteng di sekolah ini jadi makin bertambah. Aduh, pusing ganteng banget nggak kuat aku," oceh Yeri yang membuat Nadia menggelengkan kepalanya takjub.
"Terus apa masalahnya?" sahut Nadia.
"Masalah nya adalah... Kenapa nggak ada satupun yang mau pacaran sama aku," Yeri mendecak pelan.
Nadia terkekeh mendengar jawaban dari Yeri. Bisa-bisanya sahabatnya itu membahas hal seperti ini, di saat dirinya serius berpikir bahwa para makhluk tampan di sekolahnya itu akan membuatnya dalam masalah.
"Hei, Bukannya kamu bilang mau mengencani kepala sekolah?" goda Nadia sambil menyenggol lengan Yeri.
"Heh, mulutnya yang bener..." dengus Yeri kesal. Ia mencubit pinggang ramping Nadia pelan, membuat Nadia meringis geli.
Sahabat Nadia itu mendengus kasar, lalu segera mengalihkan pandangannya dari Nadia. Nadia gemas dengan tingkah Yeri hingga ia tertawa kecil sendiri.
Hingga tanpa Nadia sadari, ada yang memperhatikan nya sejak tadi ...
"Manis banget senyumannya..."
..
"Duduklah di bangku kosong yang kamu inginkan," perintah Pak Chen yang di tanggapi anggukan kecil oleh Rafa.
Anak baru itu berjalan menuju bangku kosong paling belakang. Sebenarnya ada dua bangku kosong, yang satu bangku paling belakang yang tepatnya belakang Yuna dan yang satu lagi di samping Yeri. Rafa lebih memilih untuk duduk di bangku paling belakang sendiri daripada ia harus duduk dengan Yeri. Ia sendiri tidak tahu kenapa, yang jelas ia lebih suka duduk sendiri.
Saat berjalan menuju bangkunya, Rafa tidak mengalihkan pandangannya dari menatap Nadia. Namun hal ini justru menjadi salah paham bagi Yeri yang memiliki tingkat kepercayaan diri lebih dari rata-rata. Yeri dengan kepercayaan dirinya mengira bahwa Rafa sedang memperhatikan dirinya.
Yeri menyenggol lengan Nadia pelan.
"Apa dia menyukai aku? Kenapa dia duduk di belakang ku?" bisik Yeri.
"Entahlah, mungkin iya..." sahut Nadia sambil menggelengkan kepalanya pelan. Nadia ini sama sekali tidak habis pikir dengan sahabatnya, tapi ia tetap memaklumi hal itu.
Nadia sudah tau dengan pasti bahwa temannya satu ini benar-benar memiliki tingkat kepercayaan diri yang luar biasa. Bagaimana mungkin ada orang yang langsung jatuh cinta di pertemuan pertama nya? Yeri sepertinya terlalu banyak menonton Drama Korea dan sinetron Indonesia. Sehingga dirinya menjadi Korban Drama.
Sementara Yuna mendengus kesal. "Ck, kenapa dia nggak duduk di samping gue aja sih?" cebiknya.
"Karena lo sama sekali nggak menarik," celetuk Bianca.
"Kenapa tuh mulut bisa jahat banget sih?" balas Yuna kesal.
"Mulut gue emang udah dari sono nya kayak gini. Kenapa, Lo nggak suka?" debat Bianca tak mau kalah.
"Gue nggak tau mau ngomong apaan lagi kalau sama lo. Nyebelin banget sumpah," decak Yuna yang sudah benar-benar kesal dengan Bianca.
Remaja berambut panjang itu pun mengalihkan pandangannya tak mau menatap Bianca lagi, kemudian ia beralih menatap Rafa yang saat ini sudah sibuk merapikan beberapa buku-buku pelajarannya di atas bangkunya sendiri.
Bianca yang melihat Yuna memandangi Rafa langsung mengerutkan keningnya heran, sebab Yuna memandangi Rafa dengan tatapan yang jelas seakan-akan mengatakan bahwa Yuna menyukai si Rafa itu.
"Yuna, Lo suka sama dia?" tanya Bianca langsung pada intinya.
Yuna menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia memang sedikit tertarik dengan siswa baru bernama Rafandra itu.
"Nggak usah suka sama dia. Lo ataupun Lia nggak boleh suka sama dia," ucap Bianca dingin.
"Kenapa?" sahut Yuna dan Lia bersamaan.
"Nggak ada alasan, dan pada intinya kalian berdua cuma nggak boleh dekat ataupun suka sama si Rafandra itu," balas Bianca tegas.
"Lagi? Lo peringat in kita buat nggak suka sama cowok, lagi? Lo--"
"Kenapa? Lo nggak terima dan mau protes?!" potong Bianca saat Lia belum menyelesaikan ucapannya.
Lia langsung menciut karena ia memang takut dengan Bianca ketika marah. Menyeramkan baginya, juga bagi Yuna. Dan akhirnya kedua siswi itu menganggukkan kepala secara bersamaan. Lebih baik menuruti perkataan Bianca daripada mereka berdua harus terkena masalah yang rumit.
"Ya udah iya..." putus mereka bersamaan.
Bianca tersenyum menyeringai. "Ra.. Fan... Dra? Hm, menarik.." ucap nya sambil memainkan bolpoin di tangannya, dan menaikkan sebelah alisnya memandangi Rafa yang saat ini justru sedang memandangi Nadia.
Pelajaran di kelas 12 IPA 1 itu berlangsung dengan tenang dan semua penghuni kelas memperhatikan pelajaran dengan seksama, terkecuali Bianca yang sedari tadi hanya memperhatikan segala gerak gerik yang di lakukan oleh Rafa.
Siswi cantik itu tau kalau sedari tadi Rafa selalu sibuk memperhatikan Kakaknya, tetapi hal ini benar-benar membuat Bianca tidak menyukainya. Bukan tanpa alasan, sedari dulu Bianca memang tidak suka jika ada cowok yang mendekati Nadia. Entah apa alasannya, tetapi yang jelas Bianca tidak akan membiarkan siapapun untuk mendekati kakaknya itu.
Nadia sendiri juga sudah tau bagaimana kelakuan adik tirinya itu, di mana ia harus di paksa selalu mengalah dari adiknya. Dan Nadia tidak pernah mempermasalahkan semua itu karena jika ia berdebat atau bertengkar dengan sang adik pasti pada akhirnya dia yang akan di salahkan. Jadi, sebisa mungkin Nadia selalu mengalah dan selalu menghindar dari segala kejadian yang akan membuat dirinya bertengkar dengan sang adik.
***
Bel istirahat sudah berbunyi. Di mana bunyi itu serasa bagai panggilan ke alam surga bagi seluruh murid di SMA Pelita Bangsa. Satu persatu murid di dalam masing-masing kelas, hingga tidak terkecuali dengan kelas 12 IPA-1 itu keluar menuju kantin sekolah. Ini adalah jam untuk makan siang.
Dan di kelas 12 IPA-1 itu hanya tinggal beberapa orang saja. Nadia, Yeri, Bianca, Rafa dan dua siswa lainnya.
"Kamu mau makan di kelas lagi? Bawal bekal lagi ya?" tanya Yeri yang baru selesai memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tasnya.
Nadia mengangguk dan mengeluarkan bekal nya. "Kamu nggak ke kantin?" tanya Nadia balik.
"Nggak, aku lagi males jalan ke kantin. Lagian, aku juga lagi niat buat diet. Kalau mau nyicil bekal kamu aja, boleh nggak?" oceh Yeri panjang lebar.
Nadia tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Sahabatnya itu langsung tersenyum lebar menampilkan deretan gigi rapinya. Sementara tanpa mereka sadari, sejak tadi Bianca memandang Nadia dan Yeri dengan tatapan tak suka. Padahal Nadia tidak pernah mengganggu Bianca sama sekali, bahkan Nadia tidak pernah ingin terlibat apapun dengan Bianca.
Hingga tidak lama kemudian, Rafa beranjak dari tempat duduknya. Sontak saja membuat Bianca langsung mengarahkan pandangannya pada Rafa dan ia juga ikut berdiri dari duduknya.
"Maaf, aku ganggu kalian nggak?" suara Rafa berhasil mengalihkan perhatian Nadia dan Yeri yang sibuk menikmati makan siang mereka.
"Eh, enggak. Ada apa?" sahut Yeri dengan ramah, sementara Nadia hanya cuek dan terus memasukkan makanan ke dalam mulut kecilnya.
"Boleh kasih tau ke mana arah kantin?" tanya Rafa dengan ragu, dan sedikit melirik Nadia yang sama sekali tidak peduli padanya.
"Aaa... Kantin?" tanya Yeri balik sambil mengunyah makanannya.
Rafa mengangguk.
"Ke sa--"
"Bareng aku aja yuk!" Bianca menyela Yeri yang baru saja ingin memberitahu Rafa.
Rafa langsung mengalihkan pandangannya melihat Bianca, kemudian tersenyum ramah. "Kamu juga mau ke kantin?" tanyanya pada Bianca.
Bianca mengangguk cepat dan tersenyum lebar. Sepertinya Bianca memang memiliki niat yang sama seperti apa yang dulu ia lakukan pada Nadia, ia akan menjauhkan semua orang yang ingin dekat dengan kakak tirinya itu.
"Baiklah, ayo!" final Rafa pada akhirnya.
Mereka berdua pun keluar dari kelas meninggalkan Yeri dan Nadia. Yeri di buat melongo melihat Bianca yang begitu lancang memotong pembicaraannya. Meski Yeri tau kalau Bianca itu siswi yang -sedikit- bandel dan menyebalkan, tapi apakah ia tidak memiliki akal yang bisa ia gunakan untuk berpikir bahwa menyela pembicaraan orang itu tidak baik?
Yeri benar-benar kesal dengan saudara tiri sahabatnya itu.
"Ck, bocah kurang ajar itu!" geram Yeri kesal sambil membanting sendok di tangannya.
Nadia menyunggingkan senyum. "Kenapa? Harusnya kamu udah tau gimana sifat adikku kan?" sahut Nadia tidak perduli, dan terus memasukkan makanan ke dalam mulut kecilnya.
"Eh, kenapa sih dia bisa punya sifat kayak gitu sama orang lain? Aku tau kalau kamu sama dia itu cuma saudara tiri, tapi kalian kan tetap satu papa dan satu darah. Kenapa sih dia gak bisa tiru sifat baik kamu sedikit aja... Sedikit!" decak Yeri yang masih belum terima dengan sikap Bianca padanya.
"Nggak di ajarin sopan santun apa gimana sih tuh anak!" lanjut Yeri yang masih ingin memaki Bianca.
"Jangan ngomong kayak gitu, Yer. Aku nggak suka kalau kamu jelek-jelekin adik aku," lirih Nadia.
"Lagi? Kamu belain dia lagi? Apa kamu nggak sadar, semakin kamu ngalah dari dia, kamu itu semakin terlihat nggak berguna!" geram Yeri.
Entah kenapa tiba-tiba Yeri begitu kesal pada Nadia. Apa dia marah karena Bianca memotong pembicaraannya dengan Rafa? atau memang Yeri yang marah karena dia sudah tak tahan dengan Nadia yang selalu mengalah dari adiknya itu.
"Yeri..." lirih Nadia dengan sangat pelan.
Nadia tau jika Yeri itu sedang marah pada adiknya, tetapi ia juga tidak boleh jika sampai memaki Bianca seperti itu. Nadia benar-benar tidak suka jika ada yang membuat marah adiknya, ataupun menyakiti perasaan adik tirinya itu.
"Udahlah, aku minta maaf sama kamu. Aku terlanjur kesal sama kelakuan adek kamu, tapi nggak seharusnya aku marah sama kamu kayak gini. Aku minta sekali lagi, dan aku nggak bermaksud," ucap Yeri memelas. Memang terkadang Yeri ini jika sedang marah sekali lupa diri.
Nadia tersenyum tipis karena Yeri memang tidak bermaksud untuk menyakiti perasaannya. "Aku mengerti," sahutnya.
..
Você também pode gostar
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi