Baixar aplicativo
73.14% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 79: MCMM 78

Capítulo 79: MCMM 78

Happy Reading ❤

"Dek, kamu hari ini ke rumah ayah?" tanya Banyu pada Nabila yang sedang sarapan. Sementara itu Aidan terlihat sedang memakai sepatu, bersiap untuk ke sekolah.

"Iya mas. Nanti pulang sekolah pak Manto akan menjemput ke sekolah. Mas Banyu mau ikut?"

"Nggak. Kebetulan hari ini mas harus ketemu dengan dekan. Katanya pihak kampus mau menawarkan beasiswa S2. Sorenya kakak mengajar bimbel. Salam saja buat ayah. Oh ya, nanti kamu tolong tanyakan ke ayah kapan jadwal periksanya lagi. Kalau nggak salah dokter di Malaysia sudah merujuk ke salah satu rumah sakit disini untuk melanjutkan pengobatan. Mungkin sebulan lagi ayah baru akan balik ke sana."

"Mas Banyu yang akan dampingi ayah ke Malayasia, kan?"

"Insyaa Allah, kalau dapat ijin dari kampus mas akan menemani ayah."

"Nyu, kemarin Senja kesini," ucap Aminah sambil menyiapkan bekal untuk ketiga anaknya.

"Oh ya? Ada apa bu? Dia baik-baik saja kan? Dua hari lalu dia memang sempat telpon Banyu."

"Dan, sana kalian cepat berangkat. Jangan ngebut-ngebut bawa motornya. Kalau sampai ibu dapat laporan kamu ngebut, motornya akan ibu kembalikan ke ayahmu." Aminah mengingatkan Aidan.

"Baik bu. Nih Aidan sudah siap, kok. Tuh tinggal tuan putri yang belum beres sarapan."

"C'mon mas Aidan, adek sudah siap kok." Nabila berpamitan pada Aminah dan Banyu. "Bu, kalau mau ada titipan makanan buat ayah nanti ibu telpon pak Manto aja suruh ambil kesini."

Sepeninggal Aidan dan Nabila, Aminah menatap anak sulungnya yang sedang asyik menyantap sarapan.

"Bu, ada apa sih ngeliatin Banyu kayak gitu?"

"Nyu, kapan terakhir kamu bertemu Senja?"

"Sebelum antar ayah ke Malaysia. Setelah itu komunikasi kami hanya melalui telpon atau wa saja."

"Kamu sadar kamu adalah orang ketiga dalam hubungan Senja dan suaminya?"

"Banyu bukan orang ketiga, bu. Senja memang memutuskan akan bercerai dengan Awan. Kebetulan saja Banyu hadir di saat yang kurang tepat.

"Kenapa kamu tidak kembali pada Gladys?"

"Nggak mungkin bu. Gladys sudah menemukan pasangannya yang sepadan dengannya."

"Kamu masih merasa minder kepada Gladys? Kamu itu sekarang pengusaha lho, walaupun usahamu masih kecil-kecilan."

"Banyu nggak minder. Hanya saja Gladys memang sudah memilih Lukas sebagai calon suaminya. Gibran yang kasih tau aku."

"Dia ambil keputusan itu karena kamu lebih memilih Senja. Ibu nggak tau apa yang sudah kamu katakan pada Gladys sehingga gadis itu memilih mundur."

"Kok kita jadi membahas soal Gladys sih? Tadi ibu mau cerita tentang Senja kan?"

"Senja kemarin sore datang kesini bersama Mila. Dia menemui ibu untuk minta maaf atas sikap keluarganya kepada kita dulu. Sepertinya dia berusaha merebut hati ibu." Banyu tersenyum mendengar berita yang Aminah sampaikan. Hatinya sungguh bahagia karena akhirnya Senja mau kembali padanya.

"Ibu mau menerima dia kan?" Aminah tak berkata apapun. Ia hanya mengambil nafas dalam-dalam dan menghelanya perlahan.

"Nyu, dulu ibu pernah bilang kalau ibu akan menerima siapapun wanita yang akan menjadi calonmu. Tapi ibu tak ingin kamu kembali padanya. Dia akan memiliki anak dengan suaminya. Ibu nggak mau kamu hadir di antara mereka lalu memisahkan anak dengan ayahnya."

"Tapi bu, suaminya telah menyiksa dia. Banyu nggak bisa membiarkannya. Ibu tahu kan apa alasan Banyu ingin menyelamatkan Senja."

"Itu semua karena kamu Nyu. Kamu masih hadir dalam hidup dia. Kalau saja kamu cepat memiliki pasangan, maka Senja takkan mengenangmu terus."

"Ayah juga bilang hal yang sama kayak ibu. Kalian sudah sekongkol untuk menyerang Banyu, ya?"

"Kami nggak pernah berniat menyerang kamu. Kami hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu yakin Senja akan kembali sama kamu?" Banyu terdiam mendengar pertanyaan Aminah.

"Maunya Banyu seperti itu bu."

"Sebaiknya kamu jangan buru-buru mengambil keputusan untuk kembali pada dia , Nyu. Bagaimanapun dia bagian dari keluarga Danudirja. Ayahmu pasti sudah memberitahu seperti apa keluarga Danudirja."

"Tapi bu..."

"Kalau kamu memang tak bisa kembali ke nak Gladys, setidaknya kamu jangan kembali kepada Senja." Banyu hanya mampu menundukkan kepala menatap piring yang ada di hadapannya. "Entah mengapa, ibu khawatir sesuatu terjadi sama kamu kalau terus berhubungan dengan Senja."

"Ibu nggak bisa memaafkan Senja? Ibu nggak suka sama dia?"

"Ini bukan sekedar masalah memaafkan atau suka nggak suka. Ibu lebih memikirkan keselamatanmu. Ibu nggak mau kehilangan anak hanya gara-gara kamu memaksakan cinta kalian bersatu kembali. Tolong kali ini kamu dengarkan ibu. Selama ini ibu tak banyak meminta kepadamu," pinta Aminah dengan suara menahan tangis. Kalau sudah begini Banyu tak berani membantah ucapan sang ibu.

⭐⭐⭐⭐

"Sweetie, please ijinkan aku bertemu sebentar saja," mohon Lukas melalui telpon sore itu saat Gladys bersiap pulang.

"Maaf mas, aku lelah."

"Aku takkan lama-lama mengganggumu. Beri aku waktu setengah jam untuk menjelaskan." Hal langka seorang Lukas Prawira memohon seperti ini. Tapi demi cintanya kepada Gladys ia rela melakukan hal tersebut.

"Nggak ada lagi yang perlu kita bahas, mas. Hubungan kita sudah...."

" Tidak, hubungan kita belum berakhir. Aku tak mau mengakhiri hubungan ini," tegas Lukas.

Gladys terdiam. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi Lukas. Di satu sisi ia pun merasa bersalah karena sudah membuat Lukas kehilangan akal sehatnya. Ditatapnya Khansa yang duduk di hadapannya. Khansa menatap prihatin sahabat sekaligus adik iparnya ini.

"Akan aku pikirkan. Tapi tidak malam ini. Aku benar-benar lelah, mas." Gladys langsung memutus pembicaraan tanpa menunggu jawaban Lukas.

"Dys, kenapa sih elo menolak ketemu sama Lukas? Kalian bertengkar?" tanya Khansa penasaran. Selama ini ia melihat hubungan Gladys dengan Lukas baik-baik saja. Hingga sekitar seminggu yang lalu, saat Khansa 0berkunjung ke rumah mertuanya, dilihatnya penampilan Gladys yang acak-acakan. Matanya sembab dan tampak bayangan hitam di bawah matanya. Ia tak berani bertanya karena ia tahu Gladys pasti takkan menjawab. Yang ia lakukan saat itu adalah bertindak sebagai seorang kakak dan sahabat yang baik, memeluk dan membiarkan Gladys menangis dalam pelukannya tanpa ia mencoba mencari tahu.

"Ada masalah yang crucial. Kayaknya gue harus meninjau ulang rencana pernikahan gue dengan Lukas."

"Lho, kenapa begitu? Kalian kan sudah memesan catering, meninjau lokasi, bahkan tante Meisya sudah menghubungi salah seorang desainer terkenal untuk memesan gaun pengantin buat elo," tanya Khansa heran. Sambil bertanya mulutnya tak henti memakan buah kecapi yang asem itu.

"Sa, elo ngidam apa lapar? Lagipula ngidam kok kecapi. Itu kan asem banget Sa."

"Gue nggak lapar kok. Ini cuma selingan menanti jam makan malam. Lagian ini manis kok, nggak asem."

"Gila ya makanan selingan lo berat juga. Burger, milkshake, ttopokki, dan sekarang kecapi. Random banget ngidamnya." komentar Gladys sambil melihat bekas-bekas makanan Khansa. "Kantor gue jadi berantakan gara-gara elo nih. Lagian ngapain sih makan di kantor orang."

"Ini bukan kemauan gue Dys. Keponakan lo nih yang hanya mau makan kalau di kantor lo. Coba aja lo tanya bang Ghif kalau nggak percaya," elak Khansa sambil memamerkan senyum sok manisnya.

"Alasan aja lo! Bilang aja pengen ngerjain gue. Liat aja, nanti gantian elo yang gue kerjain kalau gue hamil."

"Hamil sama Lukas?" tanya Khansa sambil menaikturunkan kedua alisnya dan tersenyum jahil. "Kalau gitu jadi dong elo menikah sama dia."

"Nggak tau ah, Sa. Kan tadi gue bilang kalau gue harus menimbang ulang keputusan untuk menikah sama dia."

"Elo cantik tapi lemot, Dys. Kalau memang belum yakin mau sama Lukas, ngapain elo minta dia datang ke rumah buat melamar," omel Khansa. "Selama ini dia kan sudah sedemikian sabarnya menunggu elo walaupun elo sering nyuekin dia."

"Gue tau kalau gue salah. Tapi ada hal lain yang membuat gue ragu untuk meneruskan rencana pernikahan ini."

"Wajar kok kalau elo tiba-tiba ragu. Gue yang sudah kenal sama bang Ghif dari kecil saja sempat kena panic attack disaat hari pernikahan kita tinggal seminggu lagi. Ternyata bukan cuma gue, bang Ghif pun sempat mengalami keraguan," jelas Khansa.

"Ini bukan sekedar keraguan biasa, Sa. Ah, elo mah nggak bakal ngerti karena elo nggak mengalami kegalauan macam ini."

"Ya, elo cerita dong sama gue. Mana gue bisa ngerti kalau gue aja nggak tau apa permasalahannya. Elo sudah nggak menganggap gue sahabat lo lagi ya?" tanya Khansa setengah merajuk.

"Gue bingung, Sa."

"Dys, elo punya gue, sahabat sekaligus kakak lo. Elo bisa ceritain apa aja ke gue."

"Tapi nanti elo cerita ke bang Ghif," ucap Gladys sangsi. "Gue nggak mau keluarga tahu."

"Kalau elo mau membatalkan pertunangan ini, keluarga kalian ya harus tahu dong alasannya."

"Tapi... "

"Gue nggak memaksa elo untuk menceritakan hal itu sekarang. Kapan elo merasa siap, elo tahu siapa yang harus lo cari." Khansa merangkul bahu Gladys. "Sudah ah jangan galau melulu. Muka lo jadi keliatan tua, jelek!"

"Sialan lo!" Gladys mencubit lengan Khansa. Tepat saat itu pintu ruangannya terbuka dan muncullah wajah Lukas dari balik pintu dengan senyum khasnya.

"Eh, ada Khansa. Sorry aku datang nggak kasih tahu kamu, sayang."

"Eh, nggak papa kok mas. Aku kesini cuma pengen ngemil.Tuh bekasnya," tunjuk Khansa sambil berdiri dari duduknya. "Dys, gue balik dulu ya. Pak Dudung dan Endah gue ajak pulang ya."

"Tapi Sa..."

"Iya biar nanti Gladys pulang sama aku saja," potong Lukas sambil tersenyum. "Aku akan pastikan dia tiba dengan selamat di rumah. Salam buat Ghiffari ya."

Sepeninggal Khansa suasana menjadi canggung. Tak satupun dari mereka yang bicara. Gladys asyik memainkan ponselnya, sementara Lukas hanya memperhatikan wajah kekasihnya tanpa bicara. Gladys dapat merasakan tatapan Lukas yang cukup intens.

"Sweetie...."

"Ngapain mas kesini? Aku kan sudah bilang kalau aku capek. Aku mau pulang. Aku nggak mau ketemu mas Lukas hari ini." Lukas menarik Gladys ke dalam pelukannya. Gladys memberontak namun tenaga Lukas jelas lebih besar daripada tenaganya. Lengan besarnya dengan mudah memerangkap tubuh mungil Gladys dalam pelukannya.

"Sweetheart, maafin aku." bisik Lukas. "Aku salah. Aku terbakar cemburu melihatmu dicium oleh pria itu. Maafkan aku karena memperlakukanmu dengan kasar. Aku benar-benar tak bermaksud melakukan itu padamu. Aku kehilangan akal sehatku karena melihatmu bersamanya. Please jangan tinggalkan aku."

"Aku nggak bisa mas."

"Tapi aku benar-benar nggak bisa kehilangan kamu, Dys. Cukup sudah aku menahan perasaanku dan melihatmu dari jauh selama beberapa tahun ini. Aku hanya ingin menjadikanmu pendamping hidupku."

Gladys menatap tak percaya pada pria yang memeluknya ini. "Mas, aku nggak mungkin menikah denganmu. Aku juga telah melakukan kesalahan dan aku .... aku belum bisa melupakan dia."

"Sayang, kalau memang lelaki itu adalah masa lalumu dan kamu belum bisa melupakannya, aku rela kamu menduakan perasaanmu. Yang penting, aku bisa memilikimu walau hatimu tak sepenuhnya untukku. Aku yakin besarnya rasa cintaku mampu membuatmu melupakan dia. Aku akan membuatmu melupakan pria b******k itu." Ucap Lukas lembut namun tegas.

Gladys menatap Lukas ragu. Masih terbayang kejadian malam itu. Tapi ia pun berkontribusi dalam kejadian itu. Apakah ia harus memaafkan Lukas? Toh Lukas tak sepenuhnya salah.

"Sweetie, mari kita lupakan masa lalu kita. Mari kita saling memaafkan dan memulai semuanya dari awal lagi. Aku tahu telah melakukan kesalahan yang cukup fatal dan membuatmu membenciku. Kuharap kamu memaafkanku karena aku pun akan memaafkanmu."

"Mas ....." Dengan intens Lukas menatap dalam-dalam mata Gladys. Ada debaran aneh di dada Gladys saat ia melihat mata itu memancarkan cinta. Ya tuhan, aku harus bagaimana, tanya hati Gladys. Melihat Gladys hanya diam saja, Lukas menyentuh perlahan dagu Gladys dan dengan lembut mencium bibir Gladys. Benar-benar hanya ciuman lembut yang tak menuntut apapun.

Awalnya tubuh Gladys menegang saat Lukas menciumnya. Ia takut hal yang sama terulang lagi. Namun lama kelamaan, lagi-lagi tubuhnya mengkhianati pikirannya. Perlahan tubuhnya menjadi rileks dan sepertinya Lukas merasakan hal itu. Dengan lembut ditariknya pinggang Gladys sehingga tubuh mereka menempel sempurna. Lukas terus mencium Gladys tanpa berusaha memaksa gadis itu untuk membalasnya. Akhirnya mereka melepaskan ciuman mereka saat terdengar ketukan di pintu. Lukas dengan enggan melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah Gladys yang bersemu merah dan kemudian dikecupnya kening gadis itu.

"Masuk!" Muncullah Tatiana dari balik pintu dan dengan ragu ia masuk ke dalam ruangan. "Ada apa mbak?"

"Ehem... mbak Gladys, saya cuma mau kasih tahu kalau besok malam ada gala diner launching produk Aelana Fashion. Mbak Aini, sekretaris bu Fiola, tadi menanyakan apakah mbak Gladys datang sendiri atau ..... " Tatiana tak melanjutkan ucapannya. Ia melirik kepada Lukas.

"Tolong kasih tahu mereka kalau besok malam kami akan datang berdua." potong Lukas sebelum Tatiana melanjutkan. "Iya kan sayang? Mbak Tia tolong infokan jadwalnya ke sekretaris saya."

"Mas, kok kamu ambil keputusan tanpa menanyakan pendapatku sih?" protes Gladys kesal dengan wajah cemberut sepeninggal Tatiana. Melihat hal itu membuat Lukas menjadi gemas dan langsung mengecup bibir Gladys.

"Apaan sih cium-cium melulu?" Sekali lagi Gladys memprotes.

"Kamu tuh menggemaskan. Aku nggak sabar bangun tidur dan melihat wajahmu yang menggemaskan ini berbaring di sampingku," jawab Lukas ringan. "Ayo kita pulang. Aku mau ajak kamu makan malam, tapi tidak ke resto steak waktu itu. Nanti kamu yang pilih mau makan dimana."

Kali ini Gladys tak memprotes ajakan Lukas. Ia ingin cepat sampai rumah. Mendebat Lukas hanya memperlama kebersamaan mereka. Saat ini hatinya belum bisa memaafkan sepenuhnya perbuatan Lukas saat itu walau di dadanya selalu ada debaran aneh karena teringat tatapan mata Lukas saat memandangnya. Tatapan memuja dan penuh cinta.

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C79
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login