Baixar aplicativo
72.22% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 78: MCMM 77

Capítulo 78: MCMM 77

Happy Reading ❤

Matahari malu-malu menampakkan sinarnya. Udara pagi itu terasa agak dingin akibat sisa hujan semalam. Gladys berlari mengelilingi jogging track yang ada di taman. Di belakangnya Endah mengikuti. Tumben banget nona mudanya ini habis subuh mengajak jogging. Padahal biasanya habis shalat subuh, Gladys lebih memilih piknik ke alam mimpi.

"Kak Gladys, istirahat dulu yuk. Endah capek nih," rengek Endah.

"Sebentar lagi, Ndah. Baru juga lima putaran," jawab Gladys.

"Kak, kaki Endah sudah lemas banget nih. Kayaknya sebentar lagi lutut Endah copot." Endah terseok-seok berusaha mengimbangi nona mudanya yang entah kenapa pagi ini memiliki energi berlebih. Padahal biasanya jogging paling pol hanya tiga putaran. Itu pun banyak berhentinya. Tidak seperti pagi ini

Gladys menghentikan langkahnya. Ia sendiri sebenarnya sudah sangat lelah tapi ia butuh pelampiasan untuk melupakan kejadian di rumah Lukas beberapa hari sebelumnya masih belum bisa ia lupakan. Ia sadar, ia memiliki andil memicu kemarahan calon suaminya itu. Tapi ia tetap tak bisa menerima perlakuan Lukas yang berusaha memperkosanya. Sudah beberapa hari sejak kejadian itu, Gladys tak mengacuhkan panggilan telpon ataupun pesan dari Lukas.

"Kak, kita minum dulu yuk di warung itu," ajak Endah dengan nafas terengah kelelahan.

"Kamu aja Ndah. Aku mau jalan sebentar." Gladys bersikeras.

"Kak, jangan dipaksain. Endah yakin kakak pasti sudah capek banget. Semalam kakak juga kurang tidur kan?"

Gladys menghela nafas kesal. Ia masih belum bisa menghilangkan keresahan hatinya. Ia tau apa yang diperbuatnya salah. Aku harus bagaimana? tanya Gladys dalam hati. Aku nggak bisa terus-terusan menghindar dari masalah ini. Aku harus bertemu dengan Lukas untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kak, ada telpon nih dari pak dokter. Mau diterima nggak?" Endah mendekati Gladys sambil membawakan ponselnya.

Gladys ragu menerima ponsel itu. Endah walaupun tidak tahu ada masalah apa antara Gladys dan Lukas, tapi bisa membaca ada masalah antara keduanya Beberapa hari terakhir ini Gladys selalu menolak apabila Lukas menghubunginya. Waktu itu Endah tidak mengikuti Gladys makan malam bersama Lukas. Jadi ia tak tahu persis permasalahan apa yang terjadi.

"Halo...." sahut Gladys ragu.

"Sweetheart, kamu dimana?" tanya Lukas dari seberang sana. "Bisa kita bertemu pagi ini? Aku jemput kamu untuk breakfast ya. Kebetulan hari ini aku praktik siang." Gladys terdiam mendengar ajakan Lukas. Ia masih bingung harus bersikap bagaimana.

"Gladys.. sweetie. I need to talk to you." Suara Lukas terdengar memelas. "I miss you."

"Mas ... aku ..."

"Aku jemput kamu jam 9 ya. Tunggu aku." Lukas memotong ucapan Gladys tanpa menunggu Gladys selesai bicara. Gladys menghentakkan kakinya dengan kesal. Heran deh, semena-mena banget sih jadi orang. Kok dia yakin banget gue masih mau ketemu sama dia! batin Gladys sengit.

"Ndah, balik yuk. Aku mau buru-buru ke butik."

"Ada apa kak? Perasaan nggak ada jadwal meeting pagi deh."

"Sudah nggak usah komen. Ikut aja. Kalau kamu mau berangkat belakangan juga nggak papa. Aku duluan." Gladys melangkah meninggalkan Endah yang masih terbengong-bengong. Tentu saja tanpa banyak komando Endah langsung berlari mengejar nona mudanya.

⭐⭐⭐⭐

Gladys baru saja selesai berdandan saat pintu kamarnya diketuk. Tak lama masuklah Ghiffari dengan wajah serius.

"Eh, abang kapan datang?" Ghiffari tak menjawab. "Bang Ghif kenapa sih? Serius amat mukanya."

"Dek, kamu ada masalah dengan Lukas?"

"Lukas? Maksud bang Ghif?" Gladys tak bisa menutupi keterkejutannya ditanya seperti itu. Ia langsung pura-pura sibuk menyiapkan tas yang sedari tadi sudah dibawanya. "Adis nggak ada masalah apapun sama mas Lukas. Biasa aja."

"Jangan bohong dek. Kemarin Lukas telpon abang. Katanya sudah beberapa hari kamu nggak bisa dihubungi. Ada apa sih dek?"

"Nggak ada apa-apa kok bang," elak Gladys.

"Dek, abang tau kamu masih ragu untuk menikah dengan Lukas. Saran abang, kamu selesaikan dulu hal-hal yang masih mengganjal dalam hubungan kalian. Selesaikan hal-hal yang masih menggantung."

"Maksud abang?"

"Kamu belum bisa melupakan Banyu, kan?"

"Nggak! Adek bisa kok melupakan dia. Kalau adek nggak bisa, ngapain adek minta mas Lukas dan orang tuanya menemui mami papi."

"Beneran? Kamu serius kan mau menikah sama Lukas? Jangan sampai hubungan kalian berantakan karena masih ada ganjalan."

"Abang cerewet ih. Sejak Khansa hamil, bang Ghif jadi lebih menyebalkan."

"Nggak sih. Abang biasa aja."

"Biasa gimana kalau sekarang abang sering menjahili adek. Padahal itu kan jobdesk nya bang Gibran. Sekarang bang Ghif dan bang Gib, dua-duanya menyebalkan."

Ghiffari hanya nyengir diomeli oleh Gladys. Ya sejak Khansa memberitahu kalau dia sudah telat 5 minggu, sifat Ghiffari jadi berubah. Jadi lebih jahil. Bukan hanya Gladys yang menjadi korban. Mami papi, para asisten rumah tangga, bahkan pak Gito tak lepas dari kejahilannya.

"Abang kesini sama Khansa?" Ghiffari menggeleng sambil merangkul bahu Gladys.

"Sahabatmu itu sejak hamil bawaannya malas. Maunya rebahan melulu. Kamu sekali-kali mainlah ke apartemen abang. Ajak dia jalan-jalan atau apalah."

"Siap bos! Eh, abang kesini mau ngapain? Jangan bilang abang kesini cuma mau ketemu adek."

"Abang mau cari sarapan. Kalau pagi-pagi begini Khansa nggak bisa cium bau makanan. Mual. Daripada dia terganggu, lebih baik abang kesini. Kemarin abang makan di rumah ambu dan abah."

Di ruang makan terlihat Cecile, Praditho, Gibran dan eyang Tari sudah siap sarapan. Kedua orang tua Praditho saat ini sedang mengunjungi anaknya yang lain.

"Eh, ada eyang. Kapan datang eyang?" Gladys langsung menghampiri eyang Tari dan memeluknya dari belakang lalu mencium pipinya dengan sayang.

"Tadi eyang dijemput sama abangmu. Nggak tahu tuh kok tumben pagi-pagi dia ajak eyang sarapan. Gimana kabarnya calon pengantin? Kamu sudah mulai perawatan, Ndhuk?"

"Ah si adek perawatan juga percuma, Yang. Kalau dasarnya buluk ya tetap aja buluk. Mau diapain juga tetap jelek," ledek Ghiffari yang duduk di samping Gibran.

"Iih... bang Ghif reseh banget sih. Kata siapa Gladys buluk? Emangnya abang nggak lihat nih kulit adek mulus, wajah adek cantik. Kok tega-teganya bilang adek buluk." rengek Gladys sambil memeluk manja sang mami. "Mi, abang tuh jahat."

"Sudah mau jadi pengantin kok masih senang merengek. Jelek tau, dek." Sekali lagi Ghiffari meledek dengan wajah polos sembari menyuap nasi goreng di mulutnya. Gibran yang duduk disebelahnya tergelak melihat wajah Gladys memerah menahan tangis.

"Sudah.. sudah. Ghif, jangan ganggu lagi adikmu. Nanti dia nangis," tegur Eyang Tari. "Kamu juga Gib. Kok malah ketawa lihat adiknya sudah mau menangis begitu."

"Dys, kemarin tante Meisya nanyain kapan kamu mau ke butik untuk pesan baju pengantin." Cecile mengelus lengan Gladys yang masih memeluknya. "Oh ya, tadi nak Lukas telpon mami. Katanya mau jemput kamu pagi ini. Kalian bertengkar? Kok mami sudah lama nggak lihat kamu pulang diantar dia. Sudah seminggu ini kamu selalu minta pak Dudung yang antar jemput kamu."

"Nggak bertengkar kok Mi. Mas Lukas jadwalnya agak padat saja. Gladys nggak mau merepotkan dia."

"Oh ya, nak Lukas juga tanya ke mami, kamu mau pesan cincin baru atau pakai cincin pertunangan yang itu?" Gladys diam tak menjawab.

"Ndhuk, kamu masih ragu menikah dengan nak Lukas?" Tiba-tiba eyang Tari bertanya. Sontak semua mata memandang Gladys.

"Mami kok menanyakan hal itu? Memangnya ada apa, Mi? Nggak mungkinlah Gladys ragu menerima nak Lukas. Lah wong dia sendiri yang lebih memilih nak Lukas daripada temannya Gibran. Awalnya kan memang dipaksa, tapi akhirnya dia sendiri yang minta dilamar kok."

"Gimana sayang? Kamu masih ragu? Kalau kamu masih butuh waktu untuk berpikir, kamu bisa menundanya." Praditho angkat bicara. Ia dapat mengerti anak bungsunya ini masih ragu dengan keputusannya untuk menikahi Lukas.

"Adis mau ngomong dulu sama mas Lukas," jawab Gladys.

"Iyo Ndhuk, kamu bahas baik-baik dengan nak Lukas. Eyang nggak mau kamu nantinya tidak bahagia. Memang eyang yang memintamu untuk segera menikah. Tapi eyang juga nggak mau kamu menyesali keputusanmu. Ikuti kata hatimu, Ndhuk."

"Bagaimana kalau kata hati Adis menyuruh menjauh?" Semua terhenyak mendengar ucapan Gladys. Mereka tak menduga akan hal itu.

"Kenapa harus menjauh, Dys. Apapun masalahnya mami yakin kalian pasti bisa menyelesaikannya. Yang lalu biarkan berlalu. Jangan terlalu terpaku pada masa lalu. Kini yang ada di hadapan kalian adalah masa depan yang akan kalian lalui bersama."

"Justru itu Mi, karena itu adalah masa depan, Adis nggak mau gegabah mengambil keputusan."

"Harusnya kamu sudah memikirkan hal ini sebelum kamu meminta nak Lukas dan kedua orang tuanya datang kesini. Sekarang kalian sudah bertunangan. Persiapan pernikahan sudah berjalan. Bahkan abangmu sudah menemukan venue sesuai konsep pernikahan yang kalian inginkan. Tanggal pernikahan juga sudah ditetapkan. Tidak sampai 6 bulan lagi kamu akan menyandang gelar Nyonya Lukas." Cecile menunjukkan kekecewaannya karena sepertinya anak bungsunya ingin merubah pikiran.

"Apa ini semua karena kamu belum bisa melupakan Banyu?" tanya Praditho tiba-tiba. "Apakah sesulit itu melupakan dia, sayang?"

Gladys tergugu ditanya seperti itu oleh papinya. Tak bisa dipungkiri ia belum bisa 100% melupakan Banyu. Namun bukan itu yang membuatnya meninjau ulang rencana pernikahannya dengan Lukas.

"Ndhuk, kamu cinta sama Banyu?" Kali ini Eyang Tari yang bertanya. Gladys terkejut mendengar pertanyaan sang Eyang. Semua orang yang berada di meja makan bisa melihat keragu-raguan di wajah Gladys. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Dek, kalau kamu memang masih mencintai Banyu kenapa kamu meminta Lukas untuk menikahimu?" tanya Ghiffari.

"Karena Banyu lebih memilih menunggu mantannya, Bang," celetuk Gibran sambil menikmati nasi goreng.

"Kalau memang Banyu lebih memilih mantannya, untuk apalagi kamu mempertahankan rasa cinta itu, Dis?" tanya Cecile tak sabar. "Sudah, nggak ada lagi yang perlu kamu pertimbangkan. Untuk apa kamu memilih pria yang tak mencintaimu? Lupakan dia. Menikahlah dengan Lukas!"

"Mi, bukan itu alasan Adis untuk berpikir ulang. Adis sadar mas Banyu tidak sepenuhnya mencintai Adis. Adis juga nggak mau menunggu sesuatu yang tak pasti. Tapi ada hal lain yang Adis nggak bisa ceritakan disini. Ada pertimbangan lain yang harus Adis pikirkan sebelum meneruskan rencana pernikahan ini. Adis harap mami bisa mengerti itu."

"Cil, biarkan Adis mengambil keputusan yang terbaik. Kita sebagai orang tua hanya bisa mensupport apapun keputusan yang dia ambil." Eyang menengahi karena dilihatnya Cecile sudah siap menyerang Gladys. Eyang Tari tau anak dan cucunya ini memiliki sifat keras kepala. Semakin dilawan, maka ia akan semakin keras.

"Eyang, mami, papi, bang Ghif, bang Gib... Adis pamit mau berangkat lebih pagi. Ada kerjaan mendesak yang ditunggu oleh klien." Gladys mohon diri. Yang lain kembali hanya bisa memandang kepergiannya.

"Diajeng, benar apa kata Mami. Biarkan Gladys mencoba menyelesaikan permasalahannya. Dia sudah dewasa. Bukan anak-anak lagi. Segala keputusan yang akan ia ambil menentukan masa depannya."

"Tapi schatz, bagaimana kalau jeng Meisya dan mas Bram tersinggung kalau tiba-tiba Gladys memutuskan pertunangannya?"

"Aku yakin mas Bram akan bisa menerima keputusan apapun yang akan diambil oleh anak-anak kita."

"Tapi jeng Meisya....."

"Kamu nggak usah terlalu memikirkan reaksi si Meisya. Mami nggak suka sama gayanya yang sok hebat itu!" Eyang Tari ikut bicara. "Sejak pertama bertemu, mami cuma bisa membatin kasihan cucuku sing ayu dapat mertua model si Meisya kuwi. Bisa makan hati tiap hari kalau Gladys punya mertua seperti itu."

"Schatz...."

"Cobalah untuk percaya sama anak bungsumu itu, Diajeng. Kalaupun mas Bram marah dan memutuskan kerja sama kita, aku nggak bermasalah. Yang penting anakku bahagia."

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C78
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login