Happy Reading ❤🥰
"Miii... buruan dong. Sudah jam segini nih. Lama banget dandannya." Ghiffari terlihat mondar mandir di ruang tamu rumah mereka yang luas.
"Mamimu belum keluar juga dari ruang rias? Adikmu mana?" tanya Praditho yang terlihat gagah dengan jas warna hitamnya.
"Wuiiiih.. papi ganteng banget pagi ini. Waduuh jangan sampai tertukar nih pengantin prianya," Celetuk Gibran yang terlihat menawan dengan batik kombinasi merah hitamnya.
"Mendadak insecure nih gue liat papi pagi ini." ucap Ghiffari yang pagi ini mengenakan pakaian pengantin serba putih. "Gib, gantengan mana gue sama papi?"
"Ya gantengan papilah," jawab Gibran sambil berlari menghindari bantal sofa yang dilempar sang kakak.
"Masyaa Allah, cucu eyang gagah banget hari. Kamu mirip sama opa mu waktu masih muda." Puji eyang Tari yang pagi itu terlihat anggun. "Eh, ngomong-ngomong mana mami dan adikmu? Belum selesai dandan?"
"Belum eyang. Nih Ghiffari juga lagi nungguin." Tak lama Cecile dan Gladys keluar dari ruang rias. Keduanya tampak cantik dan menawan dalam balutan kaftan berwarna baby pink.
"Lama banget sih, Mi?" tanya Ghiffari tak sabar.
"Itu lho tadi adikmu mendadak ngambek waktu mami tanya siapa pendamping dia di acara resepsi nanti malam."
"Lagian sih mami mau pasangin adek sama si Lukas. Adek kan sudah bilang kalau adek sudah punya pendamping. Eh, mami masih memaksa juga." sahut Gladya bersungut-sungut.
"Dek, jelek banget tau kalau kamu cemberut kayak gitu." ledek Gibran yang masuk ruangan bersama Vania, kekasihnya.
"Kak Vania kok mau sih sama bang Gibran yang rese' dan jahil gitu. Tukar aja kak sama dokter muda di rumah sakit," sindir Gladys. "Atau kak Vania sama Lukas aja. Dia kan juga dokter. Cakep, ganteng, tajir, bujang. Masa depan cerah deh. Nggak kayak bang Gibran. Sudah jelek, nyebelin, jahil, masa depan suram."
Semua orang tertawa melihat pertengkaran antara Gibran dan Gladys. Sudah bukan hal yang aneh keduanya saling meledek seperti itu.
"Qoi, mana laki lo?" tanya Gladys kepada Qori yang berdiri di samping Eyang Tari.
"Tuh lagi ngobrol sama papa Robert dan om Ditho. Biasanya ngebahas bisnis. Gue nggak ngerti." jawab Qori yang hari itu memakai kaftan yang senada dengan Gladys.
"Kalau sudah siap semua, ayo kita berangkat sekarang. Oh iya Ghif, cincin dan mahar sudah siap?" tanya Robert selaku perwakilan keluarga. "Seserahan sudah masuk mobil semua kan?"
"Gugup bang?" tanya Erick. "Tenang aja, aetelah akad nikah bakal.ada yang bikin bang Ghif lebih gugup. Iya kan sayang?" tanya Erick pada Qori yang langsung mencubit manja pinggang suaminya. Sementara itu wajahnya merona menahan malu.
"Coba kondisikan ya omongannya. Disini masih banyak yang jomblo ya." celetuk Gladys kesal.
"Yang jomblo kamu doang, dek. Yang lain sudah punya gandengan." ledek Gibran. Yang lain langsung tertawa.
"Eh, adek sudah nggak jomblo lagi ya. Adek sudah ada pasangan."
"Iya bang Gibran, nanti malam pas resepsi dibawa kok."
"Serius dek?" semua mata memandang Gladys.
"Sudah ah, kenapa jadi bahas urusan Gladys sih. Ayo buruan berangkat, nanti pak Penghulunya keburu pulang lho." ajak Galdys menghindari pembicaraan lebih lanjut.
⭐⭐⭐⭐
"Selamat ya Sa. Akhirnya setelah bertahun-tahun jalan sama abang gue, elo kawin juga sama dia." Gladys memberi selamat pada Khansa dan Ghiffari. "Bang, titip Khansa ya. Jagain dia baik-baik biar nggak diambil orang."
"Memangnya ada yang mengincar dia, dek?" tanya Ghiffari penasaran.
"Banyak bang. Tuh si Rafki anaknya wan Ahmad. Terus si Japra teman SMA kita dulu yang masih setia nungguin kalian putus. Belum lagi Reza dan Salman, teman kuliah dia."
"Wah, penggemar kamu banyak juga ya, sayang," komentar Ghiffari sambil memandang istrinya dengan penuh selidik.
"Maklumlah sayang. Istrimu ini kan cantik. Tapi nggak usah khawatir sayang, raga dan jiwaku sudah milikmu. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kita, kecuali Allah." Jawab Khansa sambil mengelus wajah Ghiffari.
"Idiih... najong banget deh gue dengar omongan lo Sa." sergah Gladys pura-pura jijik.
"Eh, sekarang elo jadi adik ipar gue. Jangan macam-macam sama gue ya." balas Khansa pura-pura marah. Semuanya tertawa melihat pertengkaran dua sahabat itu.
"Alhamdulillah akhirnya elo menyusul gue dan Qori, Sa. Semoga cepat dapat momongan ya," Wina memberi selamat kepada Khansa.
"Iya, Sa. Nggak usah ditunda-tunda untuk punya anak. Biar elo nggak kalah sama gue dan Wina," ucap Qori yang ada disitu. Semua mata memandang Qori tak percaya.
"Elo hamil? Anaknya Erick? Emangnya dia bisa bikin lo hamil?" tanya Gladys absurd. Pertanyaan yang dihadiahi jitakan di kepala.
"Sialan lo Dys. Elo mau bilang gue mandul?" omel Erick yang baru saja menghampiri mereka. "Gini-gini tembakan gue nggak pernah meleset. Iya kan sayang? Tuh buktinya bidadari gue bisa tekdung."
"Iya... iya.. gue percaya sama elo. Tapi nggak usah pake jitak kepala gue dong."
"Lagian mulut lo lémés banget sih." Erick masih mengomel. Gladys menjulurkan lidahnya untuk meledek Erick. "Nggak usah ngiri sama kita, Dys. Elo kalau mau hamil buruan kawin. Tuh tante Cecile sudah nyiapin calon buat elo."
"S***an lo Rick. Lo liat aja nanti gue bakal nyusul bang Ghif dan Khansa. Gue bakal hamil anak kembar."
"Hamil sama siapa? Pacar aja nggak punya," ledek Erick.
"Sudah sayang. Kamu kok senang banget meledek Gladys. Dia itu kan sepupu kamu. Harusnya kamu mendoakan supaya dia cepat dapat jodoh. Bukannya meledek terus." tegur Qori sambil mencubit pelan lengan suaminya.
"Iya deh iya. Sorry ya Dys."
"Alhamdulillah ya satu persatu anggota kelompok kita menikah. Habis ini siapa nih? Ayu? Intan atau mungkin Gladys?" tanya Wina.
"Gue insyaa Allah tahun depan." ucap Ayu malu-malu. "Kemarin Vito bilang nggak mau lama-lama pacaran."
"Alhamdulillah," ucap yang lain.
"Kak Haidar gimana, Ntan?" tanya Qori kepada Intan sepupunya. "Gue dengar dari om Nadhif, kak Haidar dapat beasiswa ke Inggris ya?"
"Iya. Insyaa Allah akhir tahun ini gue dan kak Haidar akan melaksanakan akad nikah. Nggak pakai resepsi karena habis itu kita mau berangkat ke Inggris."
"Wah, nggak sampai tiga bulan lagi dong." seru yang lain. "Kok jauh amat sih belajarnya?"
"Alhamdulillah dapat beasiswanya kesana. Aku pasti akan kangen banget sama kalian," ucap Intan.
"Elo gimana Dys? Beneran calon lo bakal datang pas resepsi nanti?" tanya yang lain. Gladys hanya mengangkat bahu tak acuh. Semua saling berpandangan mslihat sikap acuh Gladys.
"Dys, kenapa elo nggak sama si Banyu aja?" tanya Erick. "Dia baik lho."
"Sudah ah, nggak usah bahas soal gue. Ini harinya Khansa dan bang Ghif." Gladys ngeloyor meninggalkan para sahabatnya yang masih terbengong-bengong.
⭐⭐⭐⭐
Sesudah shalat maghrib semua bridemaids dan Bestman bersiap-siap memasuki ruangan resepsi. Ballroom di hotel van Schuman dirubah oleh anak buah Ghiffari menjadi ruangan yang indah dengan tema 1001 malam. Acara resepsi akan dimulai pukul 19.30
"Dys, mana pasangan lo? Kok belum datang juga? Gue bingung kenapa selalu telat sih pendamping lo?" tanya Qori yang sedang merapikan dasi yang dipakai Erick, suaminya.
Gladys hanya mengangkat bahu tak peduli. Padahal hatinya terasa sakit karena sejak pertemuan terakhir, Banyu tak pernah menghubunginya sama sekali. Gladys pun tidak berusaha menghubungi Banyu.
"Yuk, semuanya siap-siap. Pengantin sebentar lagi keluar dari kamar." ucap Gibran mengingatkan semua orang. Baru saja Gibran selesai bicara Banyu muncul. Senyum Gladys langsung terkembang.
"Lho, elo Nyu?" Banyu hanya tersenyum kepasa Gibran lalu ia mendekati Gladys yang tampak cantik dalam balutan kebaya berwarna emas. Gibran hanya bisa melongo saat sahabatnya menghampiri adik semata wayangnya
"Maaf aku terlambat. Tadi aku harus bertemu Mila." bisik Banyu dengan nafas memburu. Terlihat sekali ia habis berlari. "Motorku juga agak trouble sedikit."
Gladys tak menjawab. Ia memegang lengan Banyu. Para pengiring pengantin terlihat kaget saat Gladys melakukan hal itu.
"Makasih kamu mau datang, mas." bisik Gladys. "Kamu belum terlambat, kok. Pengantin belum keluar dari kamarnya. Mungkin sebentar lagi."
"Dys, ini pendamping lo?" tanya Erick. Gladys mengangguk. Qori membulatkan matanya tak percaya.
"Jadi dia yang lo maksud..... Oh my god Gladys. Kenapa nggak bilang dari kemarin sih?"
"Sstt.. nggak usah ribut ah. Tuh bang Ghif dan Khansa sudah keluar. Ayo mas, kita siap-siap." Semua terkejut mendengar nada bicara Gladys yang lembut. Namun tak ada yang berkomentar.
Acara berjalan lancar, walaupun saat mereka memasuki ruangan, para tetangga yang menghadiri acara tersebut sibuk mengomentari Gladys dan Banyu.
"Lho, itu kan mas Banyu." bisik bu Adi kepada suaminya.
"Banyu siapa?" tanya pak Adi
"Tukang sayur langganan ibu-ibu komplek."
"Itu tukang sayur? Ganteng banget. Nggak cocok jadi tukang sayur deh," sahut pak Adi.
"Ternyata beneran kenal sama keluarganya pak Ditho."
"Memangnya kenapa bu?"
"Bapak kenal sama anak bungsu pak Ditho kan? Nah, itu yang jadi pendampingnya malam ini tuh tukang sayur langganan ibu."
"Ooh..."
"Kok cuma oh."
"Memangnya bapak harus gimana?"
"Pak Ditho dan bu Cecile apa nggak malu ya anaknya berteman dengan tukang sayur?" gumam bu Adi.
"Apanya yang salah dengan tukang sayur bu? Kan sama-sama manusia."
"Ya, tapi level sosial mereka kan paati beda banget pak."
"Hush.. ibu kok mulai mengkotak-kotakkan manusia sih. Yang penting itu kan keimanannya bu. Lagipula kalau cuma berteman kan boleh sama siapa saja."
"Iya sih. Setahu ibu, pak Dhito dan bu Cecile walaupun kaya tapi nggak pernah melarang anak-anaknya bergaul dengan kalangan apapun."
"Mbak As, itu si Banyu bukan sih?" tanya Eyang Tuti yang hari itu datang ditemani oleh Astuti.
"Iya, eyang. Kok bisa-bisanya barengan sama si Gladys ya?" tanya Astuti kepo. "Pantesan pas saya ajak kesini dia menolak."
"Memangnya mbak As ajak Banyu buat ke acara ini?" tanya jeng Mita yang tiba-tiba ada di samping Astuti.
"Iih jeng Mita bikin kaget aja deh." omel Astuti. "Iya jeng, aku tuh kemarin sempat WA mas Banyu buat nemenin ke acara ini. Kan nggak enak banget datang sendirian. Keliatan banget jomblonya."
"Lah memang jomblo kan." ledek jeng Mita sambil tertawa.
"Untung saja eyang Tuti ngajak berangkat bareng. Jadi saya gak sendirian."
"Makanya buruan kawin mbak, biar ada yang menemani kondangan," celetuk bu Adi yang kini bergabung dengan mereka. "Eh, perhatiin deh. Si Gladys dan Banyu kok keliatan mesra banget ya? Apa mereka pacaran?"
"Jangan-jangan yang dimaksud sama mas Banyu tempo hari itu si Gladys." ucap jeng Mita.
"Ah, mana mungkin mas Banyu mau sama anak manja kayak dia." Astuti tak bisa menerima hal tersebut.
"Tapi kan Gladys anak orang kaya. Mas Banyu pasti maulah dapat pacar kayak gitu," tambah bu Adi. "Jaman sekarang sudah bukan hal aneh cowok itu matre."
"Tapi mas Banyu bukan tipe seperti itu ibu-ibu," bela Astuti. "Dia tuh sukanya yang sederhana, dewasa, keibuan dan feminin. Bukan yang manja model si Gladys."
"Maksud mbak As, mas Banyu senangnya yang model mbak As gitu?" Astuti langsung pura-pura memperhatikan hal lain saat diledek oleh jeng Mita.
Acara berjalan lancar tanpa ada insiden apapun. Selesai foto bersama, para pengiring pengantin berkumpul di ruang VIP.
"Jadi cowok yang kemarin lo maksud, mas Banyu ini Dys?" tanya Ayu penasaran.
"Perasaan waktu itu elo bilang sebel banget sama si tukang kritik," tambah Intan. Wina dan Qori mengangguk-angguk menyetujui ucapan Intan.
"Apaan sih kalian. Nggak usah dibahas deh. Gue nggak perlu mengenalkan lagi kan? Kalian semua sudah kenal siapa dia."
"Dek, bukannya elo benci banget ya sama dia?" tanya Gibran. Vania yang ada di sampingnya langsung mencubit pelan lengan kekasihnya.
"Nggak, siapa yang benci. Abang ngada-ngada aja nih," elak Gladys.
"Jangan-jangan sekarang elo sudah jatuh cinta sama Banyu. Iya kan?!" desak Erick. "Beneran nih Dys?"
"Apaan sih lo Rick. Please deh."
"Dek, abang beneran penasaran nih. Elo ada hubungan apa sama Banyu? Beberapa hari lalu pak Gito bilang elo pulang diantar Banyu. Abang pikir pak Gito salah ngomong. Ternyata kalian emang jalan bareng ya."
"Abang berisik deh." tukas Gladys kesal. "Abang mau tau apa hubungan adek sama mas Banyu?"
"Mas Banyu? Elo panggil dia apa? Nggak salah tuh? Kayak manggil pacar aja." Gladys tak menjawab hanya tersenyum penuh arti. Semua yang mengenal Gladys mengerti apa arti senyuman itu.
"Dek, kamu nggak bercanda kan?" tanya Vania penasaran. Gladys hanya angkat bahu.
"Bro, ini beneran?" tanya Gibran pada Banyu yang dari tadi hanya diam saja. Banyu hanya tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Tiga hari lalu Gladys bilang ke kita kalau dia bakal bawa calon suaminya ke acara bang Ghif. Apa dia yang lo maksud, Dys?" tanya Qori hati-hati. Bukannya menjawab, Gladys malah memandang Banyu yang juga balas memandangnya.
"Astagaaa!! Speechless gue." seru Gibran.
"Ada masalah bang dengan pilihan adek?"
"Abang nggak bermasalah siapapun yang lo pilih, dek. Tapi abang kaget aja lo milih dia sebagai calon." jawab Gibran.
"Hahahaha... omongan gue waktu itu jadi kenyataan. Selamat ya bro, berhasil meluluhkan hati tuan putri yang manja ini. Gue doain semuanya lancar." Erick menyalami Banyu.
"Selamat ya Dys, akhirnya elo menemukan calon imam lo." Wina memeluk Gladys hangat. "Gue doain kalian benar-benar berjodoh dan semuanya dilancarkan oleh Allah."
"Makasih Win. Gue sangat butuh doa itu," bisik Gladys sambil menahan tangis.
"Are you okay? Bismillah saja Dys, serahkan semua ke Allah. Kalau memang dia jodoh yang Allah kasih buat lo, pasti Allah akan berikan jalan. Sekarang hapus air mata lo sebelum semuanya melihat elo menangis." Wina memeluk erat sahabatnya.
⭐⭐⭐⭐
"Are you okay? Bismillah saja Dys, serahkan semua ke Allah. Kalau memang dia jodoh yang Allah kasih buat lo, pasti Allah akan berikan jalan. Sekarang hapus air mata lo sebelum semuanya melihat." Wina memeluk erat sahabatnya.
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading❤🥰
Banyu melihat Gladys menghapus air matanya saat berada dalam pelukan Wina. Keningnya berkerut. Kenapa princess menangis? Tanyanya dalam hati. Ia langsung menghampiri Gladys. Ditariknya gadis itu ke dalam pelukannya. Gladys menurut. Ia sembunyikan wajahnya di dada Banyu.
"Kita keluar sebentar yuk," ajak Banyu. "Sorry Gib, adik lo gue ajak keluar sebentar. Kayaknya dia agak pusing deh. Gue yakin dia pasti skip makan siang." Banyu langsung memberikan alasan saat semua mata memandangnya bingung. Gibran hanya mengangguk.
"Kamu kenapa princess?" tanya Banyu saat mereka tiba di luar. "Mau duduk sambil mencelupkan kaki? Sekalian kita nostalgia." Gladys menggeleng. Ia menunjuk kursi yang ada.
"Maaf kalau aku lancang menyebut kamu calon suamiku." Bisik Gladys pelan sambil mendudukkan dirinya di kursi.
"Nggak papa." Banyu ikut duduk di samping Gladys. "Aku tahu kamu dalam keadaan terdesak."
"Mas Banyu nggak marah kan?" Banyu menggeleng.
"Sudah terlanjur diucapkan juga kan?"
"Mas, kamu mau menolongku nggak?"
"Apa?"
"Bagaimana kalau kamu pura-pura jadi calon suamiku kalau seandainya nanti mami dan eyang tanya." usul Gladys.
"Kamu mau aku berbohong kepada mereka? Aku lebih memilih untuk tidak membohongi mereka."
"Apa itu artinya kamu nggak mau menolongku?" Banyu terdiam. "Please mas. Bagaimana kalau kita jalani saja dulu, as a couple. Kalau memang nanti ternyata tidak berhasil, kita bisa berjalan masing-masing."
"Princess, itu sangat berisiko. Bagaimana kalau nanti kamu semakin jatuh cinta kepadaku sementara aku tidak bisa membalas perasaanmu? Bagaimana kalau nanti tiba saatnya eyang Tari menyuruhmu segera menikah padahal di antara kita belum ada cinta. Itu sangat nggak fair buat kamu, Princess."
"Apa kamu benar-benar nggak bisa menerima diriku, mas?"
"Aku tidak bisa memberikan kepastian apapun, Princess."
"Tapi maukah kamu mencobanya mas?" tanya Gladys penuh harap dengan wajah polosnya yang mengingatkan Banyu pada Nabila bila sangat menginginkan sesuatu. Akhirnya Banyu mengangguk.
"Tapi sekali lagi kukatakan jangan terlalu berharap dan seandainya hubungan ini tak berhasil kuharap hubungan kita tetap baik layaknya seorang sahabat atau mungkin kakak adik." ucap Banyu.
"Makasih mas," Gladys langsung memeluk lengan Banyu yang duduk disebelahnya. Kepalanya disandarkan ke bahu Banyu. "Aku juga nggak tahu apakah hubungan ini akan berhasil."
Banyu menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingnya. Diraihnya tangan Gladys yang terasa dingin. "Kita jalani saja dulu. Bilang padaku bila kamu ingin mengakhirinya."
"Tolong jangan ucapkan kata-kata mengakhiri sebelum kita memulainya mas. Terima kasih. Setidaknya aku kini bisa memperkenalkanmu kepada eyang dan mami sebagai calon suamiku."
Maafkan aku, bila seandainya aku tak bisa mencintaimu princess, bisik hati Banyu.
"Woy, disini kalian rupanya. Ayo buruan masuk! Sudah mau acara lempar bunga nih." panggil Gibran yang menyusul.
"Tangkap bunga itu untukku ya mas." bisik Gladys saat mereka menuju ballroom.
"Buat apa? Beneran mau cepat menyusul bang Ghif? Beneran sudah siap menjadi seorang istri?" ledek Banyu. "Bukannya masih belum mau terikat ya."
"Nggak usah meledek deh. Katanya mau gencatan senjata, ini kok malah mancing-mancing." omel Gladys sambil mencubit pelan pinggang Banyu.
Banyu tergelak dan langsung menangkap tangan Gladys. Diangkat dan diperhatikannya tangan itu. Dipegangnya jari Gladys yang terbungkus plester.
"Ini masih sakit?" tanya Banyu sambil mengelus jari itu. An**r, kenapa gue deg-degan sih, protes hati Gladys.
"Hmm.. nggak terlalu. Lukanya nggak terlalu dalam kok."
"Beneran?" Gladys mengangguk meyakinkan.
"Next time hati-hati kalau masak. Aku nggak mau dimarahi keluarga besar Hadinoto karena princess kesayangan mereka terluka." ucap Banyu.
"Tapi aku mau belajar masak mas. Kamu dengar kan apa yang waktu itu ibu bilang. Seorang wanita harus bisa masak untuk suami dan anak-anaknya. Eyang juga pernah bilang hal yang sama."
"Kalau kamu menikah dengan orang kaya, kamu nggak perlu mengerjakan itu semua sendiri. Kamu tinggal perintah dan mengawasi," ucap Banyu.
"Hmm.. kalau kayak gitu nggak ada tantangan mas."
Tak lama acara lempar bunga akan dimulai. Semua wanita dan pria yang masih lajang bersiap-siap menangkap bunga yang akan dilempar oleh pengantin. Setelah semua siap dan MC menghitung, pengantinpun melemparkan buket bunganya. Entah apakah memang disengaja atau memang itu rencana tuhan, bunga itu mengarah ke Banyu yang berdiri di belakang Gladys. Dengan postur tubuhnya yang lumayan tinggi, dengan mudah Banyu menangkap bunga itu. Tentu saja Gladys girang bukan main. Baru saja Banyu hendak memberikan bunga itu kepada Gladys, tiba-tiba ada yang merebut bunga tersebut dari tangan Banyu. Tentu saja semuanya terkejut, terutama Gladys dan Banyu.
"Tante, kok bunganya diambil?" tanya Gladys bingung.
"Mas Banyu kan menangkap bunga ini untuk aku," jawab Astuti dengan pedenya. Lalu dengan cueknya ia melangkah pergi meninggalkan orang terbengong-bengong melihat tingkahnya.
"Mas, gimana ini?" tanya Gladys.
"Apa segitu pentingnya bunga itu untuk kamu?" Banyu balik bertanya. "Apa kamu percaya kalau menangkap bunga itu maka kamu akan menikah selanjutnya? Tanpa menangkap bunga itu kamu tetap akan menikah dalam waktu dekat, kan?"
"Ya tapi..."
"Apa kamu mau aku mempermalukan diriku sendiri dengan mengambil kembali bunga yang direbut mbak As?" tanya Banyu sambil menaikan sebelah alisnya.
"Eengh.. nggak usah mas. Biar aja si tante itu yang ambil bunganya, yang penting bukan kamu kan yang akan menikah dengannya." Banyu hanya menggedikan bahunya tanpa memberikan jawaban.
"Iih... kamu kok gitu sih. Jangan bilang kalau kamu nggak bisa mencintaiku karena sebenarnya kamu mencintai tante itu," tuduh Gladys.
"Cemburu?"
"Nggak."
"Kok marah?"
"Nggak. Siapa yang marah?"
"Tuh, muka kamu sekarang mirip Zahra kalau lagi ngambek," ledek Banyu.
"Tau ah, nyebelin banget sih!" gerutu Gladys. "Sudah yuk kita kesana. Ketemu sama keluargaku."
"Jangan sekarang, princess. Aku masih harus bicara dengan Gibran. Tuh lihat, dari tadi dia ngeliatin aku."
"Biar aku yang ngomong sama bang Gibran."
"No. Biar aku saja."
"Kamu mau bilang kalau aku memaksamu untuk menerima diriku?"
"Memang itu kenyataannya kan? Apa aku harus berbohong dengan mengatakan aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali kita bertengkar?"
"Kalau kamu mau ngomong sama bang Gibran, nanti saja setelah acara ini selesai. Aku akan menemanimu."
⭐⭐⭐⭐
Akhirnya acara resepsi selesai. Para pendamping pengantin berkumpul di honeymoon suit hotel yang disediakan untuk pengantin baru. Hotel mereka memang memiliki beberapa suite yang khusus disediakan untuk keluarga van Schumman. Mereka semua duduk dengan pandangan tertuju pada Gladys dan Banyu.
"Sekarang jelasin sama gue, gimana bisa hal ini terjadi?" tanya Gibran menuntut. "Semua nggak masuk di akal sehat gue."
"Ih, emangnya sejak kapan bang Gibran punya akal sehat," celetuk Gladys.
"Dek, jangan suka meledek kakakmu," ucap Ghiffari yang saat itu duduk sambil memeluk Khansa. "Abang juga pengen tau gimana ceritanya, tiba-tiba kalian bisa dekat. Bahkan katanya tadi kamu sempat menyebut Banyu sebagai calon suamimu."
"Ya nggak gimana-gimana bang. Adek cuma mau memenuhi keinginan mami dan eyang."
"Tapi kenapa Banyu? Sejak kapan? Padahal kalau bertemu biasanya kalian bertengkar."
"Itu kan dulu," jawab Gladys santai sehingga membuat yang lain gregetan.
"Dek, elo beneran jadian sama si Banyu?" Gibran masih penasaran.
"Ih, abang susah banget sih dikasih taunya."
"Nyu, beneran?"
"Adiklo jatuh cinta sama gue, Gib," jawab Banyu sambil tersenyum jahil. "Mohon doanya aja. Kalau memang jodoh ya bakal kejadian. Kalau nggak jodoh ya bubar. Iya kan Princess?"
"Bujuuug... melayang deh adek gue lo panggil princess." ledek Gibran sambil melempar bantal sofa ke Gladys, yang langsung ditangkap oleh Banyu sebelum mengenai muka Gladys. "Waah... adek gue punya bodyguard nih sekarang."
"Nyu, bisa gue ngomong sama elo, berdua?" tanya Ghiffari yang sebenarnya lebih mirip perintah.
"Ikut." cicit Gladys.
"Nggak usah. Kamu disini aja sama yang lain." Banyu menyuruh Gladys untuk tinggal bersama yang lain. Lalu ia mengikuti Ghiffari menuju salah satu kamar.
"Gue ikut bang," Berbarengan Erick dan Gibran mengikuti mereka.
"Abaaaang, mas Banyu jangan diapa-apain. Kalau sampai ada lecet, adek bakal ngambek seumur hidup." teriak Gladys.
"Dys, elo serius jadian sama dia?" tanya para sahabatnya. "Kenapa dia?"
"Kenapa nggak?" Gladys balik bertanya. "Ada yang salah dengan mas Banyu?"
"Gila, kok elo bisa berubah 180 derajat sih? Pas acara kawinan gue, kalian berdua tuh sudah kayak Tom dan Jerry. Ribut melulu. Sekarang tiba-tiba elo jadi manis banget sama dia." Komentar Qori.
"Manusia bisa berubah kan?"
"Iya tapi nggak secepat itu juga, Dys. Elo yakin mau mengenalkan dia ke keluarga lo?" tanya Ayu. Gladys mengangguk mantap.
"Dys, apa ini gara-gara kejadian di taman?" tanya Khansa tiba-tiba. Gladys hanya tersenyum tanpa menjawab. "Serius Dys? Aaah.. benar kata Qori. Elo sudah gila kalau hanya gara-gara itu lo minta dia jadi suami lo."
"Ada apa sih? Kenapa, kenapa?" para sahabat mereka sangat ingin tahu ada kejadian apa di balik semua keputusan yang diambil Gladys. Khansa pun menceritakannya kepada mereka.
"Astaghfirullah Gladys!"
"Sinting lo ya!"
"Ah, gue kagak tau mau ngomong apa. Speechless banget nih gue."
Berbagai komentar dikeluarkan oleh para sahabatnya.
Bahkan Vania pun ikut berkomentar "Dek, jangan gegabah ambil keputusan. Ini bukan novel picisan yang menceritakan cinta bisa tumbuh saat kalian menikah. Nggak semudah itu, dek."
"Apakah dulu kak Vania mencintai bang Gibran saat kalian belum resmi pacaran?" Vania menggeleng. "Apa bedanya? Toh sekarang kalian berdua saling mencintai. Apa yang menyebabkan kakak mencintai bang Gibran?"
"Kegigihannya mendekati dan mencintaiku. Itu yang membuatku luluh kepada kakakmu dan akhirnya mencintainya hingga detik ini."
"Kalau begitu itu juga yang akan terjadi. Aku takkan menyerah belajar mencintai dan membuatnya jatuh cinta kepadaku. Kalian tahu kan, kami keluarga Hadinoto takkan menyerah dengan mudahnya."
"Tapi dek, waktunya terlalu mepet. Kalian hanya punya waktu 6 bulan sebelum kalian akhirnya harus menikah. Tolong kamu pikirkan lagi. Apalagi, maaf, kalian berasal dari keluarga yang sangat berbeda. Ibarat langit dan bumi."
"Iya Dys, elo harus pikirkan lagi baik-baik semuanya sebelum akhirnya memperkenalkan dia kepada orang tua lo dan eyang Tari. Pikirkan dampaknya," ucap Qori. "Keluarga kita sangat mementingkan bibit bebet bobot."
"Eyang sudah bilang ke gue nggak terlalu mempermasalahkan hal tersebut."
"Tapi pekerjaan dia nggak sesuai dengan status keluarga kita, Dys. Dan gue yakin tante Cecile bakal menentang elo."
"Memangnya ada apa dengan pekerjaan dia? Menurut gue nggak ada yang salah dengan menjadi tukang sayur. Itu pekerjaan halal kok," ucap Gladys santai.
"Apa?! Tukang sayur?! Astagaaa!!" Semua serempak berseru kaget.
"Apaan sih kalian ini? Bikin kaget orang saja. Kenapa sih sayang?" tanya Jihad yang sedari tadi asyik ngobrol dengan Vito dan Haidar.
"Eh, nggak papa. Maaf kami bikin kalian kaget. Kita ngobrol di kamar pengantin saja yuk biar nggak mengganggu mereka." ajak Wina. "Mas Jihad, kita mau ke kamar pengantin ya."
"Dys, elo serius memilih tukang sayur buat jadi suami lo? Elo nggak salah pilih kan?" tanya Intan tak percaya setelah mereka berada di dalam kamar pengantin.
"Dek, kakak yakin mami nggak akan setuju," ucap Vania.
"Dys, kamu sudah memikirkannya dengan matang? Memang benar agama kita tidak membeda-bedakan seseorang karena pekerjaannya. Bahkan rasulullah dan para sahabatnya juga berdagang. Yang membedakan adalah keimanan seseorang. Tapi..."
"Tapi apa Win? Gue pikir elo yang paling bisa ngertiin gue, tapi rupanya elo juga masih meragukan keputusan ini."
"Dys, kita bersikap seperti ini karena kita nggak ingin elo kecewa. Elo nggak bisa pungkiri level sosial kalian jauh berbeda. Elo itu ada di langit, sementara dia di bumi. Gimana mau bersatunya?" Wina berusaha memberikan penjelasan kepada Gladys.
"Jadi kalian nggak mendukung hubungan gue dan Mas Banyu?" Semuanya terdiam tak tahu harus berkata apa. "Oh ternyata kesetiakawanan kalian cuma segitu aja. Oke, gue akan buktikan bahwa kalian salah."
"Dys, apa yang mereka katakan itu benar," tiba-tiba Banyu masuk diikuti oleh Ghiffari dan Gibran. "Kamu harus berpikir ulang mengenai hal ini sebelum kamu menyampaikannya kepada keluargamu."
"Mas."
"Tugasku mendampingimu hari ini selesai. Aku pulang dulu ya. Ini sudah malam. Aku masih harus mempersiapkan diri untuk sidang skripsiku." Banyu berjalan meninggalkan ruangan.
'Mas...." Gladys hendak mengejar Banyu, namun langkahnya ditahan oleh Gibran. "Bang, aku mau nyusul mas Banyu."
"Jangan dek, biarkan Banyu pergi. Sebelum kalian makin terikat satu sama lain." ucap Ghiffari. Gladys meradang. Matanya menatap nanar ke semua orang yang ada di dalam ruangan.
"Kalian semua jahat!!" teriak Gladys kesal. "Kalian nggak sayang sama gue!!"
⭐⭐⭐⭐
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi