"Sayang sekali, ya, sudah lama menjalin pertemanan, tapi tidak sedikit pun memiliki perasaan."
Nada mengejek Sherly membuat Andin menengadahkan tatapannya ke arah gadis itu. Ia kesal. "Sebagai pacar, kau pasti tidak ingin, bukan, mendengar pacarmu disukai wanita lain?"
Sherly balas menatapnya. "Sebagai pacar? Dari mana kau tahu kami pacaran?"
Andin membuang muka. "Aku tidak buta sehingga tidak bisa melihat gerak-gerik kalian."
Sherly menangkap ekpresi dan nada cemburu dari perkataan Andin. Dengan sikap arogansinya ia tersenyum lalu berkata, "Baguslah kalau kau sudah tahu. Aku sengaja belum memberitahukannya padamu, karena aku ingin sahabat Tommy semdiri yang akan mendeklarasikannya padamu."
"Sombong sekali wanita ini," kesal Andin dalam hati. Jika bukan karena hubungan orangtua mereka, ia sudah mendorong Sherly agar jatuh ke dalam kolam. "Aku rasa itu tidak perlu. Aku punya mata, kok."
"Baguslah."
Tatapan mereka sama-sama teralihkan ke depan. Dilihatnya Tommy sudah berdiri lalu berjalan mendekati mereka dengan wajah ceria dan senyum lebar.
"Sedang membicarakan apa?" tanya Tommy begitu melihat Andin dan Sherly sama-sama tersenyum menatapnya. "Oh iya, Andin, kenalkan."
"Aku sudah tahu. Namanya Sherly, kan?" kata Andin yang tersenyum lebar karena Tommy duduk di sebelahnya. Tepatnya di antara dia dan Sherly.
Tommy terbahak. "Maksud aku, selain anaknya Om Harry, Sherly ini adalah pacarku." Tommy merangkul Sherly.
Seringai puas pun muncul di wajah Sherly. Sedangkan Andin yang kini merasakan sakit di hatinya berusaha untuk tersenyum. "Aku sudah tahu, Fabian junior. Kau tidak perlu mengatakannya." Untung saja penerangan di kolam itu sedikit muram dan posisi mereka duduk membelakangi lampu, sehingga Tommy tidak bisa melihat mata Andin yang mulai memerah.
"Benarkah? Apa kau yang memberitahukannya, Sayang?"
"Sayang?" ulang Andin dalam hati. "Sebegitu romantisnya mereka?"
Sherly tersenyum dan balas melingkarkan tanganya di pinggang Tommy. "Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku rasa Andin punya insting yang kuat hingga mampu menebak hal itu."
Tommy terkekeh melihat Andin. "Baiklah. Sayang..." Ia menatap Sherly. "sekarang sudah larut. Aku antar kamu pulang, ya? Besok aku harus ke perusahannya Pak Malik. Beliau menerimaku di perusahannya sebagai desainer dan kontraktor. Jadi, mulai besok aku akan super sibuk."
"Benarkah? Tapi kau kan tidak mengajukan permohonan?"
Tommy mendekikan bahu. "Beliau sendiri yang memintanya. Jadi, aku pun tidak punya alasan untuk menolaknya. Ini awal yang baik untuk masa depan kita, Sayang."
"Masa depan?" ulang Andin dalam hati. "Semoga saja Tuhan tidak menjodohkan kalian." Dalam hati Andin begitu iri. Dulu dirinyalah yang menjadi tempat di mana segala sesuatu penampung rahasia Tommy. Bahkan meski hanya luka kecil saja, Tommy akan memberitahu padanya, tapi sekarang? Sherly-lah yang kini menjadi tempat mengadunya. Apakah Tommy tidak akan pernah lagi mengadu padanya?
"Andin?"
Suara Tommy mengejutkannya. "Eh, ya? Ada apa, Tomm?"
"Terima kasih sudah menemani, Sherly. Kau tidak apa-apa kan sendirian? Pagi-pagi kami semua akan pergi ke lokasi proyek. Aku juga belum punya persiapan, jadi aku harus mempersiapkan semuanya malam ini. Aku tidak mau mengecewakan Pak Malik."
"Oh, ya! Tidak apa-apa, Tom. Omong-omong selamat, ya."
"Terima kasih. Ayo, Sayang." Tommy membantu Sherly berdiri.
Andin juga ikut berdiri. "Oh, iya, bukannya kalian akan tinggal di sini, Sherly?"
"Sepertinya tidak jadi. Soalnya tadi aku dengar Om Charles bicara dengan papaku bahwa kami akan tinggal di salah satu residence milik Om Charles."
"Itu benar. Papamu sudah tahu, Kok," timpa Tommy.
"Ya, sudah. Main-main ke sini, ya, kalau ada waktu."
"Tentu saja," balas Sherly.
"Baiklah, kami pulang dulu, ya. Sampai nanti." Tommy berpamitan. Dan tanpa menatap Andin lagi, ia meraih tangan Sherly dan menggenggamnya lalu berjalan meninggalkan Andin.
Andin yang melihatnya pun memaksakan tertawa. Matanya nanar. Dadanya sesak. Rasanya sakit sekali menerima kenyataan bahwa pujaan hatinya sudah memiliki wanita lain.
Dilihatnya mobil keluarga Fabian sudah keluar gerbang membawa keluarga Mesya. Seakan tak sanggup menerima kenyataan, ia pun menghapus airmatanya dan berlari ke arah rumah. Diliriknya sang ayah sedang berbicara dengan Malik. Sepertinya pembicaraan itu akan berlangsung lama.
Tak ingin menganggu suasana serius kedua orangtua itu, Andin segera masuk ke dalam rumah, menaiki tangga dan masuk ke kamar. Tak ingin sang ayah akan mencarinya, Andin segera mengunci pintu kamar dan memutar musik kuat-kuat. Ia tidak ingin ayahnya tahu bahwa ia menangis.
Penyesalan pun menyelimutinya begitu tubuhnya terkulai di atas kasur. Bayangan akan kejadian tujuh tahun lalu kembali dalam benaknya. Seandainya... Seandainya saja waktu itu ia memberitahu bahwa ia senang begitu senang bibir Tommy melumat bibirnya. Seandainya saat itu ia tidak marah pada Tommy dan masih berkomunikasi dengannya. Seandainya saja ia mau mengorbankan harga dirinya demi Tommy. Seandainya ia mengungkapkan perasaannya pada Tommy meski hanya melalui pesan. Seandainya... seandainya itulah yang membuat pikiran Andin semakin frusrasi. Seandainya ia tidak memusuhi Tommy selama tujuh tahun, mungkin saat ini yang akan dipanggil "Sayang" adalah dirinya, bukan Sherly.
"Tidak! Itu tidak mungkin. Tommy pasti menyukaiku. Tommy hanya milikku! Dia milikku!" Dilemparkannya guling ke lantai dan menangis sekuat-kuatnya.
Di sisi lain.
"Besok pagi aku akan menjemputmu, ya?" kata Tommy begitu menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah berwarna putih. Ia memasang rem tangan dan berbicara dengan Sherly di dalam mobil.
Rumah itu tidak terlalu besar, tapi desainnya yang elit membuat rumah berlantai dua itu tampak mewah dengan pagar tembok tinggi yang mengelilinginya.
"Bukannya besok kau sudah mulai bekerja? Lagipula besok kan aku baru akan mendaftar sekolah."
"Oh iya, aku lupa." Tommy terkekeh. Dilihatnya wajah Sherly. Tatapannya lembut. Tangannya meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. "Jangan nakal di sekolah, ya? Kalau ada cowok yang bergenit-genit padamu laporkan padaku. Biar aku yang akan memberi mereka pelajaran."
Sherly terkekeh. Ia balas menatap Tommy. Diborongnya wajah lelaki itu yang begitu tampan. Tangannya terulur untuk merasakan bulu halus yang mulai tumbuh di dagu Tommy. "Kau juga jangan nakal. Aku tidak mau kau terlalu dekat dengan Andin."
Tommy menatap bibirnya. Entah kenapa sedari tadi bibir itu begitu menarik perhatiannya. Diusapnya bibir itu untuk merasakan tekturnya. "Mungkin dulu aku sangat akrab dengannya, tapi toh sekarang aku punya pacar." Ditatapnya mata Sherly. "Hanya kau satu-satunya wanita dalam hatiku, Sherly. Hanya kau."
"Benarkah?" Tommy mengangguk sambil memainkan bibir Sherly dengan jempolnya. "Kalau begitu cium aku," bisiknya parau. Mata Tommy tersentak menatap Sherly. Ia terkejut mendengar hal itu. "Cium aku, Tommy. Cium aku."
Tanpa menunggu lama lagi bibir Tommy yang merah itu langsung melumat bibir Sherly. Tangannya yang tadi berada di rahangnya kini merambat ke bagian tubuh gadis itu.
Sherly terlonjak. Ini pertama kalinya ia berciuman. Sebenarnya ia tahu permintaannya ini gila, karena pasti hal ini akan memicu ke hal lain yang mungkin akan memperngaruhi kuwalitas hubungan mereka. Tapi toh mereka bisa mengontrolnya? Lagipula tidak ada salahnya kan memberikan kenikmatan pada Tommy? Dia kan pacarnya.
Tapi itu hanyalah alasan kedua bagi Sherly. Alasan utama kenapa ia meminta Tommy menciumnya karena tidak ingin Andin merebut Tommy. Sherly sudah pernah mendengar cerita-cerita tidak senonoh dari beberapa teman sekelasnya. Mereka dengan rela memberikan kenikmatan pada pasangan demi menjaga ikatan sebuah hubungan. "Selain menambah umur panjang untuk hubungan dengan pasangan kita, hal itu bisa mengikat pria yang kita cintai agar tidak meninggalkan kita demi wanita lain." Begitu kata teman Sherly waktu itu.
Jadi, apakah itu cara yang ampuh untuk menjaga Tommy agar tidak direbut oleh Andin? Apakah dengan tindakan ini Tommy akan tetap menikahiku?
Pikiran Sherly langsung buyar ketika merasakan tangan Tommy meraup dadanya. Ia terkejut, tapi keterkejutannya itu hanya sesaat setelah lidah Tommy menyusup masuk ke dalam mulutnya. Erangan kecil keluar dari mulutnya yang membuat Tommy langsung menghentikan ciumannya dan melepaskan bibir Sherly.
Ditatapnya mata Sherly yang sayu. "Maafkan aku," bisiknya pelan. Ia memeluk merengkuh tubuh Sherly dan memeluknya erat-erat. "Maafkan aku karena tidak terkontrol."
"Tidak apa-apa, Sayang. Aku justru menyukainya." Tommy tersentak. Ia menatap Sherly tanpa melepaskan pelukannya. "Aku menyukai ciumanmu, Tom. Aku ingin kau mengajariku bagaimana cara berciuman."
Tommy tersenyum sambil menatap bibir Sherly yang ranum. Dicubitnya hidung Sherly. "Sejak kapan kau berkeinginan seperti itu, hah?"
"Sejak tahu Andin akrab denganmu."
Tommy tersenyum. "Kau cemburu padanya?"
Sherly mengangguk. "Aku tidak ingin kau terlalu dekat dengannya."
"Tidak, Sayang. Aku kan sudah punya kamu."
"Kalau begitu cium aku lagi biar aku percaya."
Tommy tertawa. "Baiklah. Tapi besok kalau aku terlambat, kau harus tanggung jawab."
Continued___
Thor mau dong dicium Tommy. Hehehe.