Baru beberapa waktu saja mereka berdua menempuh perjalanan, Isabel sudah mengeluh haus. Isabel sudah seperti cacing kepanasan, dia tidak mau duduk diam dengan manis. Isabel sedari tadi terus mengeluh dan mengomel kepada Azam.
Azam juga bingung harus melakukan apa, karena tempatnya sekarang berada adalah jalanan yang dikelilingi hutan. Dia tidak bisa berhenti hanya untuk membeli minum, karena tidak ada pedagang sama sekali, di sana hanya ada kesunyian.
"Mas Azam, aku haus. Haus, Mas. Mas Azam sih, masa iya bawa air hanya satu botol. Udah tahu perjalanan kita jauh, eh malah sengaja bawa air dikit. Aku haus, Mas Azam," keluh Isabel.
"Terus, Mas harus apa, Isabel? Mas, juga bingung. Orang tadi kamu yang meneguk habis semua airnya," jawab Azam.
"Ya, itu karena airnya memang sedikit. Toh apa bedanya diminum saat itu juga atau nanti. Pokoknya Mas Azam yang salah, tetap salah," kekeh Isabel.
"Iya, Mas Azam yang salah. Isabel ga pernah salah," sindir.
"Tuh kan, Mas Azam nyindir aku," marah Isabel.
"Enggak Isabel, enggak. Mana berani Mas Azam nyindir kamu. Kamu kok jadi buruk sangka kayak gitu," goda Azam.
"Ah, tahu ah, aku marah," ucap Isabel.
"Iya, marah aja, gapapa kok. Mas Azam memang salah, jadi gapapa kalau Isabel mau marah," tutur Azam.
"Bodo amat," kesal Isabel.
Isabel langsung melipat kedua tangannya diatas dada, dengan bibirnya yang sudah sedikit cemberut. Pandangannya ia alihkan kesisi lain. Isabel tidak ingin berbicara apa-apa kepada Azam. Azam biarkan saja Isabel seperti itu. Dia memilih untuk fokus mengemudi saja.
"Mas Azam! Kenapa diam saja?" ucap Isabel tiba-tiba.
"Tadi kamu marah sama, Mas. Jadi Mas diam saja, tidak ingin membuatmu tambah marah," aku Azam.
"Alasan terus, deh. Ayo cepat, ngebut saja bawa mobilnya. Aku sudah bosan," keluh Isabel.
"Jangan, nanti Mas Azam nabrak gerobak sayur. Hahaha ..." tawa Azam. Dia jadi mengingat kejadiaan saat Isabel menabrak gerobak sayur. Sontak saja Isabel langsung marah mendengarnya. Isabel memukul Azam menggunakan tasnya.
"Aww ... sakit, Isabel. Kamu kok galak," rintih Azam.
"Mas Azam, ngeselin. Aku marah sama, Mas," kesal Isabel.
"Tadi Mas sudah bilang. Kalau mau marah, marah saja. Ga ada yang larang, Kok," ucap Azam. Setelah mengatakan hal tersebut, Azam langsung tersenyum manis kearah Isabel yang membuat Isabel semakin kesal.
Isabel kembali cemberut dan terdiam, dia tidak ingin berbicara lagi kepada Azam.
"Ciee ... marah, marah nieee. Hmm ... yakin ga mau ngomong lagi sama, Mas? Paling nanti juga ngomel lagi sama, Mas. Ingin ini lah, ingin itu lah," ucap Azam.
"Oh, jadi menurut Mas Azam, aku tukang ngomel? Mas Azam, benar-benar ngeselin!"
"Iya, Mas Azam ngeselin. Hanya Isabel yang ngangenin," goda Azam.
"Mas Azam! Jangan buat aku semakin marah dan kesal!" bentak Isabel.
"Iya deh, Mas diam aja deh," pasrah Azam.
Kini keduanya terdiam, tidak ada yang berbicara sepatah kata pun. Mereka memilih untuk fokus keperjalanannya saja.
Setelah melewati perjalanan yang membosankan saat melewati hutan, saat ini mobil mereka berdua telah memasuki perkotaan. Azam berniat untuk berhenti untuk membeli minuman, tapi dia melihat Isabel sudah tertidur sangat nyenyak. Azam memilih untuk mengemudi lebih cepat saja agar segera sampai ke rumah orang tuanya. Dia tidak ingin membuang banyak waktu lagi.
Azam mengemudikan mobilnya sedikit kencang, membelah jalanan kota. Setelah 4 jam lebih menempuh perjalanan yang melelahkan, akhirnya mobil Azam terparkir disebuah parkiran rumah miliknya. Untuk kali ini Azam tidak perlu repot-repot untuk membangunkan Isabel, karena Isabel sudah terbangun dengan sendirinya. Isabel mengucek matanya, dan menguap.
"Kita sudah sampai? Atau, Mas Azam hanya berhenti sejenak?" tanya Isabel.
"Lihat dengan teliti! Ini rumah kita, bukan jalanan," ucap Azam.
"Jutek amat jawabnya. Ngeselin!" sahut Isabel.
"Hehe ... maafkan, Mas Azam," ucap Azam.
"Terserah," ucap Isabel. Kata-kata mutiara seorang wanita pun muncul juga, terucap dari mulut Isabel.
"Ya udah, turun! Apa ga mau turun?" tutur Azam.
"Mas Azam saja duluan yang turun," terang Isabel.
"Kalau, Mas Azam yang turun duluan, nanti kamu dikunciin didalam sini, mau?" ucap Azam. Isabel pun segera keluar dari dalam mobil, diikuti oleh Azam.
Azam berjalan terlebih dahulu untuk masuk kedalam rumah, meninggalkan Isabel sendirian yang masih bersender dipinggiran pintu mobil. Saat Isabel akan mengikuti Azam masuk kedalam rumah, namun Isabel kesusahan untuk berjalan, seperti ada sesuatu yang menahannya. Isabel pun melirik kebelakang, dan ternyata, rok yang Isabel kenakan terjepit dibalik pintu mobil. Isabel mencoba untuk melepaskannya, tapi sulit. Kemudian Isabel mencoba untuk membuka pintu mobilnya, tapi tetap tidak bisa, karena pintu mobilnya telah dikunci oleh Azam.
"Mas Azam! Mas Azam!" teriak Isabel, memanggil Azam yang sudah sedikit menjauh.
"Mas Azam! Mas!" teriaknya lebih keras. Azam pun melirik kearah Isabel, lalu Azam mengerutkan alisnya melihat Isabel yang sedang mencoba untuk melepas roknya yang terjepit.
"Mas Azam, bantuin aku! Cepat buka pintu mobilnya!" pinta Isabel. Azam kemudian berbalik arah dan kembali ketempat mobilnya terparkir.
"Ada apa, Isabel?" tanya Azam, kemudian dia melirik rok Isabel yang terjepit dipintu mobil. "Ahaha ... rok kamu kenapa, Isabel? Haha ..." tawa Azam.
"Mas, diam! Bantuin aku, buka pintu mobilnya!" titah Isabel.
"Ahaha ..." tawa Azam masih berlanjut dia menutup mulutnya, menahan tawa. "Ga mau, ah," lanjutnya.
"Mas, ih, cepat dong!" kesal Isabel.
"Ga mau, biarin aja kayak gitu," goda Azam.
"Mas Azam! Buka!" bentak Isabel.
"Buka apa? Baju, Mas?" goda Azam kembali.
"Hiks ... Mas Azam, ih. Nyebelin, ngeselin," marah Isabel.
"Kok malah ngatain, Mas, sih. Kamu mau, Mas ga bantuin kamu?"
"Ya, makanya, cepat bukain!"
"Ga mau!" tolak Azam pura-pura.
"Huwa ... Bunda! Bunda Arin, tolongin aku! Bunda Arin!" teriak Isabel sangat keras.
"Heh, sstttt ... jangan berisik," ucap Azam.
"Bodo, abis Mas Azam bikin aku kesal. Bunda! Bunda Arin, Mas Azam jahat!" adu Isabel.
"Isabel, ssttt ...."
Mendengar keributan diluar, Bunda Arin pun segera keluar dan melihat siapa yang berteriak-teriak. Betapa terkejutnya Bunda Arin saat melihat siapa yang datang. Dia segera berlari dan memeluk Isabel.
"Isabel, putri kesayanganku, Bunda rindu, Nak," ucap Bunda Arin. Bunda Arin senang, kerinduannya kepada Isabel akhirnya berakhir. Kini dia telah bertemu kembali dengan menantu kesayangannya.
"Bunda, Isabel juga rindu Bunda. Sangat rindu, Bunda," terang Isabel.
"Kenapa kamu lama sekali, Nak? Bunda fikir, kamu hanya akan beberapa hari berada dirumah ibu dan bapak. Eh, ini malah 2 minggu lebih. Bunda sangat rindu, Sayang," ungkap Bunda Arin.
Mereka berdua kembali berpelukan, Bunda Arin terus mengecupi seluruh wajah Isabel. Memeluk dengan penuh kasih sayang. Bunda Arin sampai melupakan anaknya sendiri, Azam. Jika sudah bertemu Isabel, pasti dia tidak akan memperdulikan apapun lagi selain Isabel.