Azam menggigit bibir bawahnya, merasakan rasa nyeri dikakinya.
"Lukanya semakin parah. Kalau infeksi bagaimana? Harusnya aku segera mengobati luka ini. Tapi sudahlah, lupakan. Yang terpenting sekarang adalah Isabel, hanya Isabel. Aku harus tetap kuat, sepertinya perjalanannya masih jauh. Aku harus buru-buru, jangan sampai Isabel menunggu."
Azam berjalan kembali, kali ini dia berlari-lari kecil agar cepat sampai. Seolah dirinya sendiri itu tidak penting, yang terpenting hanya Isabel. Begitu Azam sangat menyayangi Isabel. Rasa sayang dan cintanya terhadap Isabel melampaui batas.
Saat berjalan dengan penuh semangat, Azam tak sengaja menjumpai pedagang nasi goreng keliling. Perutnya semakin bergejolak meminta untuk segera diisi.
Azam pun memberhentikan pedagang nasi goreng tersebut. Dia berniat untuk membelinya, tapi tidak untuk dimakan sekarang, dia akan membawanya dan makan bersama Isabel dipenginapan.
Azam memesan dua bungkus nasi goreng.
"Bang, saya pesan dua. Yang satu sedang dan yang satu pedas," ucap Azam.
"Baik, Mas."
Abang penjual nasi goreng mulai meracik bumbu-bumbu nasi goreng dan mulai membuatnya. Proses pembuatannya sangat lama, wajar lama karena penjual nasi goreng tersebut membutnya dengan sangat lamban.
'Lama sekali, perasaan cuman buat nasi goreng saja'. Batin Azam yang sudah tak sabaran.
Memang sudah cukup lama pedagangnya membuat nasi goreng. Tidak seperti pedagang pada umumnya.
Setengah jam kemudian, barulah nasi goreng pesanan Azam siap.
"Ini, Mas. Harganya dua puluh lima ribu saja," ucapnya langsung memberitahukan soal harga, padahal Azam belum bertanya sama sekali.
"Iya, Bang. Sebentar saya ambil uangnya dulu."
"Cepet dong, Mas. Saya buru-buru nih. Harus jualan lagi."
Pedagang nasi goreng yang satu ini sangat tidak sabaran. Padahal tadi dia membuat nasi goreng sangat lama.
"Iya, bentar."
Azam memberikan uang tiga puluh ribu rupiah kepadanya. Azam menunggu kembalian uangnya.
"Lah, Mas ngapain? Belum pergi? Mau pesan lagi?" tanya penjual nasi goreng tersebut.
"Saya menunggu kembaliannya, Bang."
Untuk kali ini Azam tidak memiliki niat untuk memberikan uang kembaliannya pada si pedagang. Masih trauma dengan kejadian si ibu tadi.
"Ya elah Mas, cuman lima ribu perak aja. Harus ditungguin kayak gitu. Ga mau berbagi sama yang dibawah."
Lagi-lagi pemikiran Azam tidak sama dengan siapapun. Tadi saat Azam ingin memberikan kembaliannya, dia malah dimarahi. Sekarang saat menunggu kembaliannya, dia juga tetap salah.
Sekarang Azam benar-benar pusing. Dia berharap tidak bertemu siapapun lagi dijalan.
"Ya sudah, Abang ambil saja kembaliannya," ucap Azam.
"Tidak! Saya tidak mau. Mas pasti tidak ikhlas memberikannya pada saya."
"Saya ikhlas kok, Bang. Ambil saja, tidak apa."
"Ga mau! Bentar saya ambil dulu kembaliannya. Tidak mau saya, kalau harus makan uang pemberian orang yang sama sekali tidak ikhlas saat memberikannya."
Posisi Azam sekarang serba salah. Terserahlah, sesuka hati si abang nasi goreng saja. Azam tidak peduli lagi.
"Nih, Mas."
Azam menerima uang kembalian lima ribu yang sudah sangat lecek dan ada banyak sobekan dibeberapa bagian uang tersebut. Uangnya seperti sudah tidak layak untuk digunakan. Tapi tetap saja Azam menerimanya.
"Makasih, Bang," ucap Azam.
Tidak ada jawaban sama sekali. Azam tidak peduli itu, dia pergi saja meninggalkan si abang nasi goreng. Dia ingin segera sampai kepenginapan sesegera mungkin.
Satu tetes air membasahi tangan Azam. Azam kebingungan, dari mana datangnya air itu. Hingga detik berikutnya tetes demi tetes air berjatuhan. Rupanya gerimis mulai turun.
Azam kembali harus mengalami kesulitan. Tidak ada tempat berteduh disekitaran tempatnya sekarang berada.
Gemiricik air hujan semakin banyak membasahi alam. Suara gemuruh petir terdengar dengan begitu jelasnya.
Azam basah kuyup. Tubuhnya semakin menggigil.
Hujannya semakin deras, jalanan mulai licin. Tiba-tiba saja Azam terpeleset. Semua pakaian Azam kotor. Nasi goreng yang tadi dibelinya terlempar dan semuanya berceceran.
Lenyap sudah harapan Azam untuk bisa makan enak berdua dengan Isabel. Harapan hanya tinggal harapan, nasi sudah jadi bubur, tidak mungkin bisa dikembalikan menjadi nasi.
"Arghh ... aku benar-benar sial, nasi gorengku, pakaianku. Aku ingin menangis saja. Tapi ya malu," celoteh Azam.
Menyedihkan sekali, Azam begitu meratapi kesialan yang dialaminya hari ini sejak tadi.
Tapi yang lebih menyedihkan sekarang adalah kondisi Azam. Pakaian kotor dan basah, tubuhnya yang sudah menggigil karena kedinginan, wajah pucat, luka dikaki yang semakin berdenyut, telapak kaki yang sudah memerah karena terkena kerikil, dan perut yang sudah sangat kelaparan.
Jalanan sudah semakin gelap dan licin. Hujan yang tak kunjung reda disertai suara petir yang saling bersahutan menemani kesunyian malam ini.
Pakaian yang tadi kotor, kini telah kembali bersih karena terkena air hujan.
Ditempat lain, Isabel menunggu Azam dengan begitu resah dan tak tenang. Bukan karena mengkhawatirkan Azam, melainkan kebingungan dengan yang dialaminya sekarang. Rok yang dipakai sudah dipenuhi dengan kotoran darah.
Isabel sudah tidak nyaman, dia tidak mau duduk sama sekali. Karena jika dia duduk, pasti akan membuatnya semakin tidak nyaman.
Perut Isabel juga terasa sakit, seperti ada yang memelintir perutnya. Dadanya sakit dan engap, mual juga dirasakannya. Kepalanya begitu pusing, pinggangnya sakit. Itu semua efek menstruasi yang saat ini Isabel rasakan.
Biasanya Isabel tidak datang bulan ditanggal segini, tapi kali ini datang bulannya datang lebih cepat dari bulan-bulan biasanya.
Rasanya seperti orang yang sedang mengalami diare, ingin bolak-balik kamar mandi terus.
Isabel memutuskan untuk menelepon Azam saja, sekedar menanyakan di mana sekarang dia berada, kenapa bisa begitu lama hanya untuk membelikan pesanannya.
Isabel mengambil ponselnya dan menghubungi Azam, tapi suara ponsel Azam terdengar disekitarannya. Rupanya Azam lupa membawa ponselnya.
Isabel sangat marah kepada Azam, bisa-bisanya dia ceroboh seperti itu. Ponsel adalah barang penting, kenapa Azam tidak membawanya.
"Mas Azam memang orang yang tidak bertanggung jawab. Ceroboh sekali dia. Hanya mendapat tugas seperti itu saja, sepertinya dia tidak bisa. Keterlaluan sekali. Aku benar-benar menyesal karena telah menikahinya. Mas Azam sangat berbeda dengan suamiku, Mas Arav. Mas Arav, aku rindu, Mas. Mas Arav pasti lebih bisa diandalkan dibanding Mas Azam. Aku sangat mencintaimu. Cintaku tidak akan berkurang sedikitpun padamu!"
Isabel tidak tahu saja, bahwa Azam sekarang berada dalam kesulitan. Azam rela kehujanan dan kelelahan hanya untuk dirinya. Tapi Isabel malah tidak menghargai semua usaha Azam.
"Sudah aku duga, Mas Azam bukan laki-laki baik untukku. Pokoknya aku harus segera cari cara agar dapat pergi jauh darinya. Aku tidak ingin dimilikinya terlalu lama. Aku ogah memiliki status istri dari laki-laki tidak berguna seperti itu," jelas Isabel. Ucapannya begitu menyakitkan. Untung saja Azam tidak mendengarnya langsung. Tidak bisa terbayangkan bagaimana sakitnya hati Azam jika mendengar perkataan Isabel barusan.