Setibanya di rumah, Ganjar langsung meminta kunci mobil kepada istri mudanya untuk memasukan pisang yang ia bawa dari perkebunan. Setelah itu, ia kembali melangkah masuk ke dalam rumah. "Bagaiman, Neng. Kuenya sudah ada yang jadi belum?" tanya Ganjar mengarah kepada kedua istrinya yang saat itu masih melakukan pekerjaan mereka membuat kue bersama Bu Ratna.
Aisyah dan Rara serentak menjawab pertanyaan dari suami mereka, "Sudah, A."
Aisyah bangkit hendak membuatkan minum untuk Ganjar, belum sempat melangkah, Rara sudah mendahuluinya. "Aa mau kopi apa teh manis?" tanya Rara melangkah menghampiri Ganjar.
"Kopi saja, Neng!" jawab Ganjar lirih.
Aisyah hanya menghela nafas dan kembali duduk di samping ibu mertuanya untuk melanjutkan pekerjaannya membuat adonan kue. Aisyah berusaha untuk tidak egois dan mengalah untuk kebaikan rumah tangganya.
"Ini kue untuk dimakan apa buat jualan. Kok, banyak sekali, Bu?" tanya Ganjar.
"Buat makan kita sekeluarga dan sisanya nanti untuk dibagikan ke tetangga," jawab Bu Ratna tak hentinya mengaduk adonan dalam sebuah panci besar bersama Aisyah di hadapannya.
Tidak lama kemudian, Rara tiba dengan membawa segelas kopi hitam untuk suaminya. "Ini kopinya, A!" Rara meletakkan segelas kopi itu di atas meja dekat dengan posisi duduk suaminya.
"Mau pulang jam berapa, Neng?" tanya Ganjar memandang wajah Rara.
Rara mengangkat wajah balas menatap suaminya, dengan lirihnya ia menjawab pertanyaan Ganjar, "Terserah Aa saja!"
"Oh, ya sudah. Habis magrib saja!" jawab Ganjar bangkit dan melangkah menghampiri ibunya, "Bu, Ini uang untuk Ibu!" Ganjar menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan kepada ibunya.
"Ya Allah, Nak. Ini kebanyakan." Bu Ratna tampak keberatan menerima uang pemberian dari putranya itu.
"Sudah, terima saja, Bu. Lagi pula itu sudah melalui kesepakatan kita bertiga!" timpal Aisyah tersenyum menatap wajah ibu mertuanya.
Bu Ratna pun akhirnya menerima uang tersebut, "kalian mau makan sekarang apa nanti habis magrib?" Bu Ratna bertanya mengarah kepada anak dan kedua menantunya.
"Nanti saja, Bu. Habis magrib sekalian menunggu Bapak!" kata Ganjar menjawab mewakili kedua istrinya.
Pukul lima sore, Pak Edi sudah berada di kediamannya. Saat itu ia langsung menghampiri Ganjar dan membicarakan tentang kedatangan Pak Ratno nanti malam, karena saat itu Pak Ratno sedang dalam perjalanan. "Ya sudah, malam ini kalian menginap saja di sini!" pinta Pak Edi lirih mengarah kepada Ganjar dan kepada kedua istrinya.
"Iya, sebaiknya kalian jangan pulang, kasihan Kang Ratno besok pagi juga dia pulang lagi!" timpal Bu Ratna lirih. "Uwa kalian ingin bertemu dengan kalian," sambung Bu Ratna.
"Iya, Bu." Aisyah dan Rara menjawab dengan kompak.
Lima belas menit menjelang waktu magrib, Pak Edi dan Ganjar sudah berangkat ke Musala, untuk melaksanakan Salat Magrib berjamaah bersama warga lainnya di Musala tersebut.
***
Selepas isya, Pak Ratno sudah tiba di kediaman Bu Ratna. Saat itu ia hendak berdiskusi dengan Pak Edi dan juga Ganjar mengenai peternakan sapi yang akan dibangunnya itu.
"Saya sih setuju, kang. Tapi tergantung Ganjar juga," kata Pak Edi di sela perbincangannya dengan sang Kakak ipar yang sudah tiba di kediamannya.
Pak Ratno hanya tersenyum dan menoleh ke arah sang Keponakannya, "Kamu setuju kan, Jar?" tanya Pak Ratno menatap wajah Ganjar.
Ganjar sedari tadipun sudah sangat setuju dengan apa yang dibicarakan oleh Uwa-nya, terkait rencana untuk membangun peternakan sapi di perkebunannya itu. "Bagaiman, Jar. Kamu setuju kan?" pak Ratno kembali mengulang pertanyaannya.
Ganjar pun menjawab lirih pertanyaan dari Pak Ratno, "Iya, Wa. Ganjar setuju."
"Kamu buktikan, bahwa kamu bisa maju!" ucap Pak Ratno memberi dukungan untuk sang Keponakannya itu. "Tenang saja. Ini semua sistemnya bagi hasil sisa dari pengeluaran gaji dan biaya pakan ternak tersebut," kamu akan mendapatkan 35 % dan Uwa 65 %. Modal awal Uwa yang tanggung!" sambung Pak Ratno.
Ganjar dan Pak Edi sangat menyetujui usulan dari Pak Ratno, setelah itu mereka langsung membahas rencana pembangunan kandang untuk ternak sapi yang lokasi berada dekat dengan perkebunan jagung. Kandang tersebut akan dibangun di lahan milik Pak Ratno sendiri yang ia beli beberapa tahun yang lalu dari warga kampung tersebut.
Usai berdiskusi masalah pembangunam kandang. Pak Edi langsung mengajak Kakak iparnya itu untuk segera makan malam bersama dengan Ganjar dan juga kedua istrinya.
Pak Ratno merupakan saudara kandung Bu Ratna satu-satunya, kehidupan Pak Ratno memang mengalami keberuntungan. Ia hidup serba kecukupan dan mempunyai perusahan tepung serta berbagai bisnis lainnya di kota Bandung. Namun, ia mengeluh di antara kemewahan dan harta yang berlimpah tak ada senyum yang bisa dibanggakan dari seorang anak. Putra semata wayangnya meninggal beberapa tahun silam, sehingga menjadi satu alasan yang tepat Pak Ratno sangat menyayangi Ganjar layaknya anak sendiri.
Sudah puluhan juta ia gelontorkan demi perkembangan perkebunan yang sedang dikelola oleh Ganjar bahkan Pak Ratno pun sudah memberikan sebuah mobil kepada Ganjar khusus untuk mengangkut hasil panen di perkebunan milik keponakannya itu.
"Kamu ini ada keturunan, Jar," kata Pak Ratno di sela perbincangannya bersama Ganjar dan keluarganya.
Ganjar mengerutkan kening, sebagai tanda tidak mengerti dengan kalimat yang diucapkan oleh pria paruh baya itu. "Maksud, Uwa?" tanya Ganjar menatap wajah pria berambut putih itu.
Pak Ratno dan Pak Edi tertawa lepas melihat sikap Ganjar yang tampak penasaran. "Tanya Bapakmu, tanya juga pamanmu tuh, Haji Syarif!" jawab Pak Ratno terkekeh.
Jawaban dari Pak Ratno semakin membuat Ganjar penasaran, sama sekali ia tidak paham apa yang di maksud Uwa-nya itu. Kemudian, Bu Ratna ikut berbicara dan menerangkan apa yang di maksud oleh Kakaknya itu.
"Kamu mau tahu, Nak?" tanya Bu Ratna ikut angkat bicara.
"Iya, Bu." Ganjar mengangguk dan memandang wajah sang Ibu.
Bu Ratna tersenyum, kemudian menjelaskan apa yang menjadi rasa penasaran dalam benak Ganjar. Bu Ratna menceritakan tentang rumah tangganya dengan Pak Edi, ketika Ganjar masih berusia dua tahun pak Edi menikah lagi dengan seorang janda yang dulu merupakan sahabat baik Bu Ratna dan pernikahan tersebut atas dasar persetujuan Bu Ratna. Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena Pak Edi tidak tahan dengan sikap istri mudanya yang terkesan pemarah dan sukar untuk dinasehati, sehingga Pak Edi memutuskan untuk menceraikan istri mudanya itu.
Semua yang hadir tertawa lepas mendengar penuturan dari wanita paruh baya itu.
"Kalau untuk cerita hidup pamanmu tidak usah diceritakan sampai sekarang pun istrinya tetap dua tidak kurang dan tidak lebih," timpal Pak Ratno tertawa dan menepuk-nepuk pundak keponakanya.
Pak Edi hanya tersenyum-senyum menyimak perbincangan tersebut. "Bapak harap, kalian jangan tersinggung!" ucap Pak Edi mengarah kepada Aisyah dan Rara. "Ini hanya cerita masa lalu Bapak, anggaplah sebagai pedoman untuk hidup rumah tangga kalian!" sambung Pak Edi berkata lembut di hadapan kedua menantunya itu.
"Insya Allah, Rara tidak akan seperti mantan istri Bapak itu," seloroh Rara dengan penuh kepolosan.
Pak Ratno tak hentinya tertawa mendengar perkataan dari Rara yang terkesan apa adanya itu. "Mertuamu kena juga, Neng," kata Pak Ratno.
Rara tampak tersipu dan memeluk Aisyah sembari tersenyum-senyum.
Dengan kehadiran Pak Ratno suasana rumah menjadi berwarna dan semakin semarak, Pak Ratno dikenal sebagai orang yang gemar bergurau dan humoris. Hal itu menjadikan keakraban antara kedua istri Ganjar dan keluarganya semakin erat.
Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!