Baixar aplicativo
73.91% Haters and Lovers of Rain / Chapter 17: Chapter 16

Capítulo 17: Chapter 16

Sial ....

Sial ....

Sialan .... Kenapa dia kembali?!

Kenapa ... kenapa gue harus ngeliat wajahnya lagi ...??!!

Rian terus berlari keluar dari sekolah dengan penuh emosi. Ia tak memedulikan para guru atau satpam yang berteriak atau bertanya padanya. Hanya satu yang ia pikirkan. Segera menjauh dari tempat itu, dimana ada orang yang sangat tak ingin ia lihat.

⛈️🌦🌧

"Bu?"

"Bu Nisa?"

"Ibu!"

Bu Nisa tersentak. Ia baru saja tersadar kalau sedari tadi ia termenung menatap kepergian Rian.

"A—ah ... maafkan Ibu."

"Gak usah dipikirin, Bu. Dia emang gitu," ujar Leo.

"Ah ... Iya ...," timpal Bu Nisa pelan.

Arga mengernyit melihat tingkah aneh Bu Nisa. Ia lalu menoleh ke bangku Rian.

Apa yang sebenarnya terjadi?

⛈️🌦🌧

Arga turun dengan cepat dari motornya dan berjalan masuk ke halaman rumah Rian.

"Rian! Rian! Lo ada di dalem?" Arga menggedor-gedor pintu rumah Rian tak sabaran.

Tak mendapat jawaban apapun, Arga memutuskan untuk langsung masuk ke rumah Rian. Dengan tergesa, ia melangkah ke arah kamar Rian. Beberapa meter sebelum mencapai kamar Rian, langkah Arga terhenti sesaat.

"Bau ini ...?" gumamnya ketika hidungnya mencium suatu bau.

Arga seketika membulatkan kedua matanya dan mendorong pintu kamar Rian.

"Rian!"

"Lo—Brengsek!"

Arga menatap marah ke arah Rian yang tengah duduk di pojok kamarnya sambil menghisap sebuah rokok. Di dekat Rian juga ada beberapa puntung rokok yang sudah ia hisap.

Dengan cepat, Arga merampas rokok yang tengah Rian hisap.

"Apa-apaan ni, Yan?! Bukannya kita berdua udah janji bareng buat berhenti ngerokok?!" marah Arga.

Rian memalingkan wajah dari Arga dan menghela napas.

Arga mengambil sekotak rokok yang ada di atas ranjang Rian dan tersenyum miring. "Jadi selama ini lo sebenarnya diem-diem tetap ngerokok?! Janji yang kita buat bareng gak ada artinya buat lo?!"

Rian memejamkan matanya sejenak dan kembali menghela napas. "Bukan gitu," katanya pelan.

"Terus apa?!" seru Arga.

Rian menatap Arga lurus. "Cuma hari ini. Biarin gue ngerokok hari ini doang."

Arga mengernyit. "Apa? Kenapa? Lo ada masalah?"

Rian tak menjawab.

"Kenapa juga tadi lo tiba-tiba lari keluar kelas? Ada apa?" tanya Arga lagi.

Rian menatap Arga dengan tajam, kedua tangannya mengepal dengan kuat. "Kalau lo ketemu sama orang yang paling lo benci, apa yang bakal lo lakuin?" bukannya menjawab Arga, Rian malah balik bertanya.

"Apa?" bingung Arga.

"Apa lo sudi ngeliat wajah orang yang paling lo benci itu?" tanya Rian kembali.

Arga mengerutkan keningnya. Kenapa Rian tiba-tiba membahas orang yang paling dibenci? Sedetik kemudian Arga menatap Rian tak percaya.

"Tunggu. Jangan bilang ... guru baru itu ... Mama lo?"

Rian tersenyum miring. "Hah. Apa orang kayak dia masih pantes dipanggil Mama?"

Arga menyentuh keningnya pusing. Terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia ketahui. "Hah. Astaga."

"Balikin," kata Rian datar sambil mengangkat sebelah tangannya meminta rokoknya kembali.

Arga menggeleng. "Tetep aja, gak boleh. Lo gak boleh ngerokok. Gak baik buat kesehatan lo."

Rian menatap Arga kesal. "Balikin, gak?!"

Arga menatap Rian dengan tatapan memohon. "Yan, please deh. Gue kayak gini juga demi elo."

Rian memalingkan wajahnya dan mendengus.

Arga menghela napas melihat sahabatnya itu. Ia kemudian menjentikkan jarinya. "Oke. Gimana kalau gini? Gue ganti rokok lo sama bir."

Rian seketika menoleh menatap Arga kembali. "Lo mau beli bir?" tanyanya tak percaya.

Arga mengangguk. "Iya, tapi yang kadar alkoholnya rendah aja."

"Hm ... Oke, deh. Bukan ide yang buruk," setuju Rian kemudian.

Arga tersenyum. "Oke kalau gitu. Gue pergi beli dulu. Lo tunggu aja di sini," kata Arga cepat lalu mulai melangkah keluar.

"Eh, bentar!" tahan Rian.

Arga menoleh. "Kenapa, Yan?"

"Lo bakal ngapain rokok gue?" tanya Rian sambil menatap sebelah tangan Arga yang memegang kotak rokok miliknya.

"Ya mau gue buang, lah," santai Arga.

Rian membelalak. "Lo pikir gue belinya pake daun?! Seenaknya aja mau lo buang," kata Rian tak terima.

"Salah lo sendiri, beli barang gak guna kayak gini. Udah, tenang aja. Gue kasih uang ganti rugi nanti," ujar Arga lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju keluar kamar.

⛈️🌧🌦

"Nih." Arga menyodorkan sekaleng bir ke Rian.

"Cuma satu?" tanya Rian menatap bir yang disodorkan Arga.

"Meskipun kadar alkoholnya rendah, tapi tetep aja gak baik kalau minum banyak-banyak," tanggap Arga.

Rian mendecih, lalu mengambil bir dari tangan Arga. "Lo tuh good boy banget, sih. Padahal muka lo bad boy gitu," komentarnya.

"Yee ..... Siapa yang lo katain bad boy? Asal lo tahu, ya. Tiap ada yang ngeliat gue bareng Mami gue, orang-orang pasti pada bilang bilang ke Mami gue, Anaknya keliatan baik banget ya, Bu. Gitu!" ujar Arga sambil duduk di samping Rian.

Rian hanya manggut-manggut tak peduli dan membuka tutup kaleng bir miliknya.

"Cheers?" Arga mengangkat kaleng birnya ke arah Rian.

Rian tersenyum dan mengarahkan birnya ke Arga. "Cheers!"

Keduanya lalu meminum bir mereka. Arga menoleh menatap Rian yang terlihat sangat menikmati birnya.

"Guru-guru di sekolah pasti gak ada yang nyangka, kalau murid jenius andalan mereka sebenarnya punya hobi ngerokok dan minum-minum."

Rian yang tadinya ingin kembali menenggak birnya terhenti dan mengernyit menatap Arga. "Gue ngerokok cuma sesekali, ya. Dan yang ngusulin buat beli bir ini kan elo," katanya tak terima.

"Iya, deh. Iya," tanggap Arga asal-asalan dan kembali menenggak birnya.

"Btw, kepala lo sekarang gimana? Udah mendingan?" tanya Rian kemudian, mengingat Arga yang terlihat kesakitan pagi tadi.

"Ah, iya. Gue kan udah bilang kalau itu cuma sakit kepala ringan," jawab Arga santai.

Rian mengangguk-angguk. "Bagus, deh kalau gitu."

Keduanya kemudian terdiam untuk beberapa saat. Fokus menenggak bir masing-masing.

"Rian," panggil Arga beberapa menit kemudian.

"Apa?"

"Lo tuh kalau ditelepon angkat, dong! Atau setidaknya balas chat gue!" omel Arga. Setelah Rian pergi begitu saja, ia memang dengan sangat rajin menelepon dan mengirim pesan pada aahabatnya itu. Tapi teleponnya tak pernah diangkat sekalipun. Begitu pula dengan pesan yang ia kirim, tak ada balasan satupun.

"Lo nelepon gue tadi?" bingung Rian.

"Iya! Gue nelepon berkali-kali tahu!" seru Arga.

"Ah, sorry. Gue baru inget kalau HP gue lowbatt. Gue lupa ngecas," kata Rian setelah berpikir beberapa detik.

"Pantesan," gumam Arga.

"Oh, iya. Gue liat tadi, Mama lo— Eh, enggak. Maksud gue, Bu Nisa keliatan kaget banget. Kayaknya dia juga gak nyangka bakal ketemu sama lo," beritahu Arga.

"Gitu, ya?"

"Hm."

Rian menghela napas panjang. "Gue ... males banget buat ke sekolah besok. Gue bolos lagi aja kali, ya?" gumamnya.

Arga menoleh dengan cepat ke arah Rian. "Jangan dong, Yan. Masa lo mau bolos lagi, sih?"

"Soalnya gue males banget liat muka orang itu."

"Tapi kan besok kita gak belajar Kimia. Jadi lo gak perlu ketemu. Jangan bolos lagi, deh. Kalau lo bolos lagi, si Leo bakal ngambil kesempatan buat ngaduin lo ke Bu Freya."

"Dan kalau lo ketemu secara gak sengaja, lo langsung buang muka aja. Gak usah peduliin," tambah Arga.

Rian berdecak kesal. "Ck. Kenapa gue harus ketemu orang itu lagi, sih? Bener-bener ngerusak hari gue aja."

⛈️🌧🌦

To be continued


Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C17
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login