Baixar aplicativo
25% Tidak Berbeda / Chapter 1: Sudah Terbiasa
Tidak Berbeda Tidak Berbeda original

Tidak Berbeda

Autor: V_E_Y

© WebNovel

Capítulo 1: Sudah Terbiasa

Tepat tengah malah pintu rumah diketuk lembut. Gak ada orang di rumah kecuali gue yang masih terjaga karena insomnia akut. Mungkin memang penyakit para lelaki seumuran gue. Ketika pintu dibuka, Chika nyerbu gue dengan satu pelukan tanpa sepatah katapun.

"Lo kenapa?" Gue nyambut pelukannya yang belum lepas.

Chika gak jawab apa-apa, dia tiba-tiba nangis dan makin nenggelamin mukanya didada gue. Pelukannya juga makin erat.

"Rama?" Seolah udah hal biasa sampe-sampe gue bisa nebak siapa. Chika ngangguk.

"Yaudah, masuk dulu yuk! Minum dan tenangin diri dulu. Baru lo cerita." Usul gue yang langsung diiyain.

Chika ngelepasin pelukan. Sekarang gue bisa liat raut kesedihan di mukanya, sembab di kelopak mata juga beberapa tetes air kepedihan yang terjun halus ke pipi chubbynya. Ada sesak yang juga gue rasain, marah, kecewa, dan putus asa.

Chika minum teh anget bikinan gue, sesaat kemudian dia baru bisa cerita ini itu.

"Gue gak tau mesti gimana lagi, dit." Chika terlihat pasrah.

"Ya elo musti lupain dia. Rama mungkin udah gak butuh lo."

"Lo gak nyelesaiin masalah, dit. Lo cuma terus-terusan nyuruh gue lupain Rama. Gue udah bilang kan kalo gue gak bisa. Gue sayang banget sama dia. Gue gak mau kehilangan dia."

"Tapi chik, lo bakal terus sakit hati sama Rama."

"Udah deh, dit. Lo cuma sirik kan karena gue sama Rama, dan kita gak bisa kayak dulu lagi. Bener kata Rama, lo emang gak pernah suka kalo gue sama Rama." Nada suaranya meninggi, Chika ngambil tasnya lalu beranjak.

"Mau kemana lo?"

"Pulang. Salah besar gue dateng kesini."

"Gue anterin."

"Gak usah! Gue bisa pergi sendiri."

Chikapun bener-bener pergi ninggalin gue. Yang gak habis pikir, kenapa tiap cewek itu aneh? Lo bisa bayangin kan tadi dia datang kesini nangis-nangis sambil meluk gue seolah hal paling mengerikan telah terjadi. Dan sekarang? Dimana Chika? Dia udah pergi, balik ke rumah mewahnya seakan-akan hal mengerikannya sekarang adalah gue.

Waktu berselang dari hari itu, gue dan Chika gak pernah tegur sapa lagi. Gak tau kenapa dia selalu ngehindar saat gue nyamperin dia, berasa jadi monster. Telepon sama wa gue juga gak pernah dapet balesan. Chika bener-bener menghilang walau mukanya seliweran di depan gue. Dan orang yang bikin Chika jadi makhluk asing bagi gue adalah dia yang saat ini ngekor di belakangnya, Rama.

Kita semua satu kampus cuma beda aliran. Rama satu tingkat lebih dulu masuk sini disusul gue dan Chika. Rama dan Chika pacaran. Udah lama, mungkin hampir satu tahun. Chika dan gue masih maba pas Rama mulai ngincer Chika dan ngambil posisi penting gue sebagai orang yang selalu bisa diandelin. Lama-lama posisi itu tergeser lalu berganti.

Gue sama Chika udah temenan semenjak kita masuk di SMP yang sama dulu. Saat itu perkemahan, Chika nangis histeris depan gue, gue panik karena gak tau apa-apa. Kemudian dia natep gue sambil nangis makin kenceng.

"Tolongiiiinnnn, tolongin akuuuu." Katanya waktu itu. Gue cuma melongo kaget. Dia malah makin narik-narik seragam pramuka gue.

"Pliiissss tolongiiiin." Lanjutnya merengek.

"A-apa yang musti aku lakuin?"

Chika langsung nunjuk sesuatu di punggungnya, yap itu ulet bulu warna item segede jempol orang dewasa nemplok gitu aja tanpa permisi. Dan gue bukannya nolongin malah refleks teriak dan siap-siap lari. Chika langsung narik baju gue sampe hampir copot kancing-kancingnya. Gak ada orang disana kecuali kita. Gak ada yang bisa dimintain tolong ditengah hutan pinus yang tinggi-tinggi ini. Entah kenapa gak satupun siswa lewat sini. Gue dan Chika sama-sama takut ulet, katanya jika dua orang penakut disatukan mereka akan menjelma jadi pemberani. Dan itu terbukti, ngeliat Chika mandi air mata akhirnya gue gak tega lalu langsung nyari ranting buat ngusir tuh ulet. Dengan 1000 tekad yang terpaksa gue buletin serta mata yang sedikit merem melek akhirnya tuh ulet jatuh pasrah ke tanah. Konyolnya kita malah sama-sama lari. Dari situ gue mulai deket sama Chika, lalu kita temenan sampe sekarang. Bukan temen biasa, kita sahabat.

Semenjak ada Rama setahun ini, Chika berubah. Jika lo pernah denger kalo tiap orang berubah ketika ia jatuh cinta, maka itu emang kenyataannya. Chika makin menjauh seiring berjalannya waktu. Dia datang dan pergi gitu aja seolah gue ini wc umum. Mungkin wc umum lebih baik karena abis dipake dia langsung dibayar. Lah gue?

Hari ini Chika dateng lagi ke gue sambil mewek-mewek gak jelas. Rama mutusin dia, katanya dia pengen fokus kuliah, fokus belajar. Alasan klise anak sekolah yang udah jengah sama pasangannya. Seolah kemaren-kemaren itu gak pernah terjadi, Chika mendadak amnesia dan ngelupain hari terakhir kita marahan. Padahal dia jelas-jelas bilang kalo kesalahannya adalah dateng ke gue. Sekarang? Segala omongannya lenyap sudah.

"Gue sakit, dit." Seru Chika dengan lagi-lagi meluk gue.

Gue gak jawab apa-apa. Mungkin ini yang orang bilang batas seseorang. Gue muak.

"Dit, gue gak tau musti kemana lagi." Lanjutnya, gue masih diem gamau banyak omong.

"Dit, elo ngerti gak sih perasaan gue? Kenapa lo diem? Hibur gue kek."

Strike! Gue kena lagi. Ribet ya jadi cowok, posisinya salah mulu dimata cewek. Diem salah ngomong juga salah. Jangan-jangan gue hidup juga udah salah. Gue narik napas terpanjang yang gue punya. Natap lurus ke bola mata Chika sembari megang bahunya yang gue rasa udah mulai kuyu. Sesak itu muncul kembali ketika ngeliat muka muramnya.

"Lo inget gak sih terakhir kesini dan bilang apa? Itu cuma karena gue ngomong yang sejujurnya. Sekarang gue gak komentar apa-apa tetep aja disalahin"

"So-sorry."

"Lo pernah gak sih mikirin gue? Sekaliii aja di setahun terakhir ini. Gimana perasaan gue ketika lo datang dan pergi gitu aja. Atau nanyain soal gue lagi suka sama siapa?" Gue duduk di ruang tamu disusul Chika.

"Gu-gue mikirin lo kok."

"Chik, segalanya tuh tentang lo gak pernah gue."

"Emang lo lagi suka sama cewek? Siapa? Satu kampus? Seangkatan?"

"Udahlah itu udah gak penting, Chik. Sekarang gue minta lo buat move on dari Rama."

"Gue gak bisa, dit. Rama udah jadi bagian di hidup gue. Gak ada alasan buat ngelupain dia."

"Kalo demi gue, lo mau gak lupain Rama?" Chika diem.  "Gue sayang sama lo, lebih dari sahabat." Lanjut gue.

Bola mata besarnya makin membesar. Chika natap gue penuh pertanyaan. Raut wajahnya berubah jadi kesel.

"Gue lagi patah hati, dit. Gue lagi menata hati. Lo dengan gampangnya nembak gue? Lo gak punya perasaan." Nada suaranya meninggi seolah gak percaya apa yang gue ucapin.

"Apa salahnya? Gue mau bantu lo buat move on. Gue sayang sama lo dari dulu semenjak kita bareng-bareng. Gue gak bisa liat lo nangis terus karena Rama. Gue mau lo hidup bahagia sama gue. Kenapa itu sulit buat kita? Kenapa lo gak bisa buka hati lo buat gue barang sedikit?"

"Tapi kita sahabat, dit. Gue gak mau ngerusak itu. Gue gak bisa, gak bisa sama lo dan belum bisa move on dari Rama. Semoga lo ngerti. Gue pulang!"

Lagi-lagi Chika pergi gitu aja ninggalin hati gue yang porak poranda. Chika gak pernah sadar segimana gue berjuang buat selalu ada deket dia. Pada akhirnya gue musti tau diri, gak ada tempat buat gue dihati Chika. Porsi gue cuma boleh jadi sahabatnya aja, bukan lebih.


Load failed, please RETRY

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C1
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login