Baixar aplicativo
33.33% Pangeran Milenial / Chapter 2: Menggila Tanpa Batas

Capítulo 2: Menggila Tanpa Batas

Begitu masuk Bar El Noir, Rehan langsung merasakan pusingnya semakin parah. Dia agak silau karena melihat lampu-lampu yang berputar di langit-langit. Bagian dalamnya berupa diskotik pesta.

 

DJ menghentak-hentak suasana dengan lagu popular saat itu. Dan saat Rehan bertemu dengan Alex, sahabatnya itu langsung bersalaman akrab dengannya sebelum membawanya duduk di sebuah meja dengan beberapa kenalan dekat.

 

Ada tiga orang di sana. Namanya Wandi, Pei, dan Hao. Satu lokal, dua yang lain keturunan China. Namun mereka langsung akrab dengan Rehan karena Wandi seperti pernah melihat fotonya di Instagram.

 

"Dia ini model endorse," kata Alex. Membanggakan seperti biasa. "Selebgram. Haha… biasa lah."

 

"Oh, gitu," kata Wandi. "Pei, Hao… kalian bisa belajar dari dia kalau-kalau ada waktu."

 

"Pei dan Hao juga akan memasuki dunia modeling?" tanya Rehan sembari menatap mereka berdua satu per satu.

 

"Hm… begitulah."

 

"Pengennya."

 

Rehan hanya mengangguk-angguk dengan senyuman tipis. "Boleh saja, tapi aku nggak janji kalau bisa ngasih banyak masukan."

 

Mereka hanya tertawa sebelum menyambut senang lima botol wine keras yang disuguhkan bartender ke meja itu. Sambil minum-minum dan merokok, mereka pun mengobrol random sampai bahas-bahas perempuan juga.

 

"Ya ampun! Aku aja nggak nyangka bakal ditembak gadis berhijab!" seru Pei.

 

"Aku apalagi! Heran juga kenapa ayahku sudah bahas-bahas jodoh padahal kuliah S1 saja baru jalan semester 6. Stress anjir!" seru Hao ikut-ikutan merasa gila.

 

Alex bercelutuk, "Hei, diantara kalian… sepertinya yang paling pusing teman kita yang satu ini," katanya sembari merangkul bahu-bahu Rehan. "Terutama kau, Hao. Kan masih punya alasan untuk mundur karena kuliah belum selesai. Tapi Rehan malah dijodohkan dengan 3 gadis setelah lulus kemarin."

 

"What?!"

 

"Tiga gadis?!"

 

Pei dan Hao berpandangan sebelum menertawakan Rehan yang tersenyum masam saja.

 

"Papaku darah tinggi seperti di novel-novel dramatis," kata Rehan. "Aku mulai benci disebut Pangeran Milenial kalau sudah terjebak ke hal-hal seperti ini."

 

Wandi yang paling kalem menanggapi. "Hei, Bro… bukannya kau nggak diharuskan milih salah satu?"

 

"Iya, tapi Papaku akan menyiapkan cewek lain kalau aku nggak milih."

 

"Haha… sial kali hidup kau."

 

Rehan memijit kening sebelum menenggak satu gelas penuh dengan frustasi. "Taik kucing lah! Aku ini belum ingin menikah!" teriaknya. Lalu berdiri dengan mengangkat gelas wine ke udara. "Apa enaknya menikah?! Aku kan baru saja lulus dari masa-masa jadi mahasiswa abadi! Harusnya senang-senang dulu ya kan?!"

 

"YOI BROOOO!"

 

Sahut Pei dan Hao. Rame. Sementara Alex menarik tangan Rehan untuk duduk lagi. "Hei, hei… sudah. Kau ini terlalu banyak minum," katanya. "Memangnya kau nggak ada alasan lain ya? Seperti punya cewek sendiri gitu?"

 

"Cih…" Rehan duduk lagi, tapi dia juga tak berhenti menuang wine ke dalam gelasnya. "Yang benar saja? Kau kan tahu sendiri aku nggak minat sama yang begituan? Pengenku kerja! Kerja! Menikmati me time! Malah disuruh bahas cewek baru pulang dari perayaan wisuda."

 

"Ya sudah, sekarang puasin aja marahmu," kata Alex. Lalu memandang kea rah Wandi, Pei, dan Hao. "Kalian gimana? Jadi joget? DJ kesayangan noh udah naik."

 

Pei dan Hao pun langsung menoleh ke arah Calista. Seorang DJ cantik nan imut dengan wajah seperti barbie tapi body-nya berlekuk-lekuk depan belakang. "WOAH IYA!" seru mereka. Entah kenapa sering kompak padahal bukan saudara kembar.

 

"Jadi lah…" kata Wandi, tetap kalem. Lalu berdiri sambil menyeret gelasnya serta. "Yuk lah. Aku duluan."

 

"Aku juga!"

 

"Aku ikut!"

 

Pei dan Hao pun mengekori langkah Wandi seperti dua anak ayam tapi dengan langkah dan penampilan rebel keren seperti umumnya anak kota. Mereka menyeringai saat mendapat kedipan mesra dari Calista, sementara Alex menatap wajah Rehan dengan helaan nafas panjang.

 

"Kau sendiri gimana? Ikut atau aku jemput ke sini kalo udah kelar?" tanya Alex.

 

"Sana pergi aja," kata Rehan. "Kita pulang bareng nanti kalo udahan. Aku mau nginep di apartemenmu mala mini."

 

"Oke, Bro!"

 

Alex pun bersalaman akrab dengan Rehan sebelum pergi. Dia langsung turun ke lantai dance tempat beratus-ratus orang berjubel dan menggila dengan gerakan tubuh random.

 

Wandi yang kalem saja bisa tertawa keras ketika dia sudah turun ke sana. Rehan hanya melirik pemandangan itu dengan tatapan mata malas. Dia semakin pusing. Kepalanya berdenyut-denyut seperti mau pecah. Dan saat Rehan menarik diri dari meja itu, dia tanpa sadar menabrak seorang gadis yang baru saja keluar dari pintu masuk menuju toilet.

 

BRAKH!

 

"Maaf."

 

Hanya sekilas, dan gadis itu langsung menundukkan kepala padanya sebelum berlalu dengan buru-buru.

 

Rehan menoleh padanya, tapi wajah gadis itu sudah tak terlihat di balik kelokan jalan sebelum dia bisa mengingat dan mengenali.

 

"Ya ampun… orang-orang punya masalah apa hari ini?" gumam Rehan. Dia baru saja masuk ke sana dan cuci muka di wastafel saat mendadak ada gadis masuk dan muntah-muntah di sebelahnya. "Hei! Ini toilet laki-laki!" tegurnya, tapi tidak jadi keras saat melihat ada darah juga yang jatuh ke wastafel itu.

 

Gadis berambut hitam panjang nan bergelombang itu menyelipkan sedikit helainya ke lipatan telinga. Tak mau sampai terciprat muntahan. Tapi hanya dengan melihat gadis itu terbatuk-batuk sebelum muntah yang kedua kali, Rehan jadi ikut merasakan ngilunya.

 

"Hei… Hei… kau tidak apa-apa?" tanya Rehan.

 

"Minggir!" gadis itu mendorongnya menjauh hanya karena Rehan menyentuh bahu kirinya. Dia tampak uring-uringan. Dan meskipun wajahnya sangat-sangat cantik, tak bisa dipungkiri bahwa bayang-bayang hitam di bawah matanya sangat terlihat jelas.

 

Rehan pun hanya diam hingga gadis itu selesai membilas seluruh muntahannya dan kemudian cuci muka di sana. Meskipun begitu dia tetap langsung merangkul gadis itu keluar saat mendengar beberapa langkah kaki tegas dan obrolan random laki-laki masuk ke ruangan itu.

 

"Sial!"

 

"Hei, bisa kau lepaskan aku?!"

 

"Diam dulu. Kau bisa dibully mereka kalau sampai keluar tanpa aku!"

 

Gadis itu pun diam. Dia hanya menurut dan mendengar berbagai macam omongan menggelikan telinga bertebaran di sekitarnya untuk mengolok-olok. Rehan lah yang kena. Gerombolan itu berpikir Rehan adalah laki-laki yang baru saja memepet pacarnya si toilet untuk bersentuhan intim sekilas.

 

"Lepaskan aku!"

 

Rehan pun langsung melepaskan gadis itu setelah aman. "Iya, iya… santai saja," katanya. Tapi begitu dia melihat satu botol wine yang ada di meja mendadak diambil dan diseret gadis itu ke lantai dance, Rehan pun langsung menarik tangannya lagi. "Hei, kau ini harusnya pulang saja!" bentaknya.

 

"Minggir!"

 

"Kau ini baru muntah darah! Bukankah lebih baik pulang dan istirahat?"

 

"Peduli apa kau! Aku tidak punya rumah!"

 

DEG

 

"Apa?!"

 

Gadis itu mendorongnya sekali lagi sebelum duduk di meja bartender. "Satu botol yang seperti ini…" katanya. Meminta.

 

Rehan pun melirik sekilas ke arah Alex yang masih berjoget ria di sana. Lalu menghela nafas panjang dan duduk di sebelah gadis itu.

 

"Satu botol yang sama…" kata Rehan, bartender itu pun memberikan mereka berdua bagian masing-masing. "Hei, dengar ya… aku memang tidak kenal kau. Tapi apa seperti itu bagus? Kau hanya akan menyakiti dirimu."

 

"Perut-perutku kau tidak perlu mengaturku," bantah gadis itu. Rehan yakin dia bukan tipe gadis yang tidak punya rumah. Apalagi dengan penampilan super seksi itu. 

 

Dada yangb dan sedikit terlihat di bagian belahannya, rok levis sepaha, wajah dan tubuh terawat, dengan rambut berkilau-kilau seperti baru keluar dari salon. 

 

"Bukan hanya kau yang depresi di dunia ini," kata Rehan. Lalu ikut menikmati minuman itu. "Aku juga. Ayahku menjodohkanku setelah baru lulus kuliah kemarin."

 

"Kau lelaki, kau bisa menolaknya dengan tegas dan tak masalah kalau pun kabur dari rumah," kata gadis itu lugas.

 

"Iya, kau benar. Tapi ayahku—"

 

"Kenapa? Jantungan seperti di film-film?" sela gadis itu dengan lirikan mata besarnya yang dihiasi eyeliner lentik. Betapa cantik sekali. Apa dia seorang model juga sepertinya?

 

"Hm, begitulah kenyataannya," kata Rehan. "Walaupun bukan jantung, tapi darah tinggi."

 

Gadis itu terkekeh pelan dengan tawa hambarnya yang menyakitkan. "Cih… setidaknya itu nggak sampai membuatmu ingin mati."

 

DEG

 

"Apa?"

 

Tatapan gadis itu menerawang jauh, dan dengan bibir kemerahan yang menempel di pinggiran gelas itu, dia berkata pelan. "Aku, kalau pun mati malam ini pun tidak akan menyesali apapun..."

 

Bersambung...

 


PENSAMENTOS DOS CRIADORES
Om_Rengginnang Om_Rengginnang

Penasaran dengan apa yang dialami gadis itu?

Lanjutkan bacanya!

Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C2
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login