"Aku? Kapan?"
"Coba kamu ingat-ingat lagi, semalam kamu ketemu siapa aja," kata Jaka tanpa mengalihkan pandangan dari salah satu batu kali yang baru saja ia temukan.
Sekali lagi sang ayah berhasil memukau Andi dengan pengetahuan akan pengalaman yang dialami olehnya. Tak pernah ia merasa pernah menyebutkan satu pun orang yang ada di mimpinya, ia hanya mengatakan jika itu mimpi buruk yang terasa nyata. Sejujurnya ia jarang menghabiskan waktu bersama Jaka karena kesibukan keduanya. Mereka hanya berbincang sesekali saat makan malam, itu pun jika mereka sedang bersama. Kenapa ia terkesan dengan keramahan keluarga Siska? Sebab ia jarang sekali mendapat kehangatan semacam itu di dalam keluarganya sendiri.
"Ayah lebih tahu daripada aku." Andi memutuskan untuk mengalah dan membiarkan sang ayah membeberkan keseluruhan cerita yang sedari tadi ia tunggu-tunggu.
"Yang kamu lihat semalam bukan sembarang mimpi, kayaknya itu pengelihatan dari pikiran bawah sadar kita. Ayah lihat kamu ngelakuin sebuah ritual yang bahkan belum pernah dilakuin sama siapapun karena kita sama-sama udah lihat gimana jadinya kalau ritualnya gagal."
"Semuanya akan hangus terbakar."
Akhirnya, Jaka menemukan apa yang dia cari. Sebongkah batu kali dengan sisi yang tajam di dalah satu bagiannya. Ia masih bisa melihat sisa-sisa darah dari putranya walau hanya dengan bantuan cahaya remang-remang lampu jalan. "Dia udah bikin anak Ayah berdarah karena batu ini, Ayah pastiin itu nggak akan terjadi lagi."
"Yang Ayah maksud 'dia' itu orang yang Ayah ajak ngomong tadi, 'kan?"
"Andi, apa kamu pernah masuk ke hutan gelap?"
Andi tertegun untuk beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan dari sang ayah. "Seinget aku belum pernah sama sekali, di dunia ini atau dalam imajinasi, kalau itu yang Ayah maksud."
"Ayo kita pulang."
Kesal. Mungkin itulah yang dirasakan Andi saat mengetahui jika ayahnya sama sekali tak mau menjawab pertanyaannya. Dia malah memberi respon lain dan balik bertanya. Yang membuat Andi makin kebingungan adalah Jaka turut membawa sebongkah batu tadi bersamanya ke dalam mobil. Andi tak habis pikir, mungkin selama ini ia sama sekali mengenal ayahnya itu secara pribadi. Sepanjang perjalanan pulang, yang ada di dalam benaknya hanyalah pria misterius yang kini duduk di sampingnya, yang sedang berada di belakang kemudi dan berkendara dengan sangat tenang. Tak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya sampai mereka sampai di kediaman keluaraga Andi.
"Ayah bakal minta tolong Si Inem buat bikinin kamu nasi goreng, habis itu obat yang dikasih dokter diminum, baru kamu tidur. Ya?" Jaka memberikan semacam 'tawaran perdamaian' kepada Andi, tapi anaknya sudah terlalu lelah.
"Terserah Ayah."
Andi keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumahnya. Sepatu yang ia kenakan dilemparkan begitu saja di samping rak kecil tempat keluarga itu biasa menaruh alas kaki di dekat pintu masuk. Ia langsung menaiki tangga menuju lantai dua dan segera menuju kamar tidurnya. Saat ia memasukinya, ia langsung menuju ranjang kesayangannya dan merebahkan tubuh sejenak.
Sementara itu, Jaka baru saja selesai memarkirkan kendaraannya di garasi rumah. Baru saja ia ingin memanggil Inem, tapi wanita paruh baya itu telah menampakkan batang hidungnya di ruang tengah.
"Wah, Pak. Larut sekali pulangnya. Kalau boleh tahu, tadi kok Pak Jaka buru-buru sekali, habis dari mana?" tanya Inem dengan nada yang sangat halus.
"Tadi Andi jatuh dari motor, saya habis jemput dia dari rumah sakit. Tolong bikinin dia nasi goreng ya, sekalian dianter ke kamar sama obatnya juga." Jaka meletakkan kunci mobil dan sekantung obat-obatan ke atas meja makan dan membenamkan diri di salah satu kursinya.
"Owh, siap, Pak. Tapi, Mas Andi nggak sampai kenapa-napa, 'kan?"
"Luka dikit, nggak ada yang serius. Tapi, usahain jangan ganggu anak saya, mood-nya lagi jelek."
"Iya-iya, Pak."
"Oh ya, satu lagi. Tolong bikin kopi hitam pahit buat saya."
Jaka kembali melirik arlojinya, pukul satu lebih seperempat. Ia melepas jaketnya dan menggantungnya di sandaran kursi. Dari salah satu saku di jaketnya itu, ia pun mengambil sebongkah batu seukuran genggaman orang dewasa yang ia pungut dari jalanan tadi. Selama beberapa saat, matanya hanya terpaku pada batu kali tersebut. Jika diperhatikan, tidak ada yang istimewa darinya. Warnanya hitam pekat dengan kepadatan yang cukup rapat, salah satu sisinya memang tajam tapi juga memiliki permukaan yang halus di sisi lainnya. Selain itu, semuanya biasa saja.
Jaka berusaha mengulang kembali kronologi kejadian yang menimpa Andi, tak lupa dengan mengambil sudut pandang putranya itu. Ia yakin sepanjang hari ini Andi sudah merasa tak nyaman dengan semua bisikan misterius itu. Hingga ia memutuskan untuk menenangkan pikiran sejenak di rumah Siska. Segala keramah-tamahan dan kehangatan ia dapat di sana, mungkin untuk sesaat ia bisa melupakan gangguan yang dialaminya. Tapi, saat Andi pulang bisikan itu kembali dengan kapasitas yang lebih intens karena ia mencoba memberontak. Suara itu membuat Andi tidak fokus dan puncaknya ketika dirinya mengalami kecelakaan. Bisikan itu berusaha menampakkan wujudnya untuk memberi peringatan, atau begitulah yang Jaka duga.
"Ini, Pak. Kopinya," sahut Inem sembari membawa nampan.
"Makasih."
"Saya ke atas dulu, Pak."
Jaka kembali memberikan perhatian penuh pada batu itu. Entahlah, ia merasa ada sesuatu yang janggal dengannya. Mungkin ini cukup tak masuk akal, tapi saat ia memegang batu itu suasana menjadi jauh lebih tenang. Itulah kenapa sedari tadi seolah-olah ia langsung melupakan kejadian luar biasa yang baru saja mereka alami di rumah sakit. Ia berani bertaruh jika besok kolom-kolom berita akan dipenuhi kabar mengenai insiden itu.
"Kau sepenuhnya benar, Budak Cahaya." Sekelebat angin menerpa wajah Jaka, ia pun mendapati seorang pria dengan gaya busana yang sudah ketinggalan zaman ratusan abad. "Harus kuakui, kau membuat kami semua kewalahan."
"Siapa kamu?"
"Kupikir sudah sangat jelas. Bagaimana menurutmu?" Pria ini mengambil posisi duduk tepat di seberang Jaka.
"Jalang itu nggak bisa ngurusin aku, jadi dia ngirim kamu? Hah! Menyedihkan." Jaka hanya mengeluarkan kotak rokok dan mulai menyulutnya sebatang.
"Aku mengenalmu, Jaka, lebih dari yang lain. Aku kemari hanya ingin membicarakan satu hal. Tuanku takkan berhenti mengejar putramu."
"Kamu kenal aku, tapi aku nggak kenal kamu. Jadi, kalian para makhluk surgawi, tunjukkan sedikit rasa hormat kalian sama inisiat rendahan ini." Jaka sengaja melakukan itu pada lawan bicaranya itu agar dia mau membuka mulut lebih jauh.
"Aku mengenal Sang Penjaga Hutan Kematian, sahabatnya adalah sahabatku juga."
"Coba kamu ngomong yang jelas, mau kamu apa?"
"Hanya memperingatkanmu jika benda yang kini ada di genggamanmu adalah salah satu serpihan dari alamku yang tak seharusnya berada di sini. Kembalikan padaku atau kau akan berada dalam bahaya yang sangat serius."
"Kamu kenal aku, tapi aku nggak kenal kamu. Jadi, kalian para makhluk surgawi, tunjukkan sedikit rasa hormat kalian sama inisiat rendahan ini."