Langit itu mulai menghitam, tanpa kusadari sudah cukup lama kami berjalan. Tidak akan lama lagi, malam akan segera tiba. Aku dan Zero masih belum menemukan tempat untuk sekadar merebahkan tubuh kami saat ini. Semua rumah di desa ini tertutup dengan rapat tanpa ada satu pun pintu yang terbuka. Penduduk desa ini pun memperlihatkan sikap yang aneh, tidak ada satu pun dari mereka yang mengizinkan kami memasuki rumah mereka. Kebanyakan dari mereka hanya mengintip dari celah pintu dan hampir semuanya menyuruh kami untuk meninggalkan desa ini. Prilaku mereka itu sungguh membuatku heran.
Sepertinya waktu berjalan semakin cepat, aku sudah tidak sanggup lagi melangkahkan kaki. Aku pun beristirahat dan duduk di sebuah teras rumah penduduk desa ini. Aku merasa lega karena Zero pun tampaknya kelelahan. Dia menghentikan langkah kakinya dan tetap berdiri sambil memandangi sekeliling desa ini.
"Zero, apa kau tidak merasa lelah? Duduklah di sini bersamaku," ucapku sembari kutepuk sebelahku yang masih kosong.
Akan tetapi, Zero mengabaikan panggilanku. Dia tetap berdiri dengan tatapannya yang terus menatap sekeliling.
"Hei, Zero ..."
"Apa kau tidak merasa heran dengan desa ini?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mengernyitkan dahi, "Memangnya kenapa?"
"Sejak tadi kita berkeliling tapi tidak ada satu pun penduduk desa yang terlihat berlalu lalang. Tapi aku yakin mereka berada di dalam rumah seharian. Yang membuatku semakin heran, kenapa orang-orang yang kita temui, semuanya menyuruh kita untuk meninggalkan desa ini."
Sebenarnya aku pun memiliki pemikiran yang sama dengan Zero, namun aku hanya terdiam, aku tidak tahu jawaban apa yang harus aku berikan atas pertanyaan Zero ini karena aku juga merasa heran sepertinya.
Malam semakin larut, suara lolongan anjing dan sunyinya desa ini membuatku mulai merasa takut. Namun berbeda dengan Zero, tampaknya dia tidak merasa takut sama sekali. Dia sedang bersandar pada sebuah kursi yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempatku berbaring saat ini. Ya, aku merasakan lelah yang amat sangat sehingga tanpa meminta izin pada pemiliknya terlebih dahulu, aku memberanikan diri untuk merebahkan tubuh di salah satu teras rumah penduduk desa ini.
Aku menatap wajah Zero, matanya terpejam dengan rapat yang menandakan dia tengah tertidur. Berbeda sekali denganku, sedikit pun aku tidak merasa mengantuk.
Kriiieeeeet!
Sebuah suara yang berasal dari pintu rumah ini membuatku tersentak. Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya dan seorang anak laki-laki keluar dari dalam rumah.
Aku merasa malu karena pemilik rumah ini melihatku berbaring di teras rumahnya, aku bahkan tidak meminta izin padanya terlebih dahulu. Wanita itu menatap dengan penuh heran padaku.
"Ma-Maafkan aku, Aku dan temanku sangat kelelahan karena itu kami beristirahat sebentar di sini," ucapku, mengutarakan yang sebenarnya.
Wanita paruh baya itu tersenyum ramah seolah dia tidak keberatan karena kami beristirahat di teras rumahnya tanpa permisi. "Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan," balasnya, yang seketika membuatku mengembuskan napas lega.
Setelah wanita itu dengan ramahnya berkata demikian padaku, tiba-tiba dia melanjutkan langkahnya dan berjalan meninggalkan rumah, begitu pun dengan anak laki-laki yang tampaknya merupakan putranya.
"Kalian mau ke mana?"
Sejujurnya aku merasa heran dengan prilaku ibu dan anak itu, tengah malam seperti ini mereka keluar dari rumah. Entah ke mana mereka akan pergi? Rasa keingintahuanku yang mulai naik ke permukaan, membuat pertanyaan itu terlontar dengan sendirinya dari mulutku.
"Aku akan berjalan-jalan dengan putraku," jawab sang ibu sembari melempar senyum.
"Berjalan-jalan? Di tengah malam seperti ini?"
"Kenapa anda terkejut? Lihatlah, di sini sangat ramai. Semua orang keluar dari rumah mereka."
Detik itu juga aku menatap sekeliling dan seperti yang dikatakan oleh ibu itu, satu per satu penduduk desa ini keluar dari rumah mereka, sehingga suasana menjadi begitu ramai. Mereka tengah sibuk melakukan aktivitas seolah-olah sekarang siang hari.
"Hei, Zero, bangunlah," panggilku berusaha membangunkan Zero karena menurutku dia juga harus melihat kejadian ini.
Tidak perlu menunggu waktu yang lama hingga Zero membuka kedua matanya. Dia lalu menatap ke arahku sambil memasang raut datar.
Aku pun menunjuk ke arah penduduk yang sedang berlalu lalang dengan jari telunjuk, "Lihatlah, mereka semua keluar rumah, di sini menjadi ramai sekali."
Zero ikut menggulirkan mata untuk menatap sekeliling. "Hm, jadi begitu, mereka baru keluar rumah jika malam hari."
Aku mengangguk, "Bukankah ini sangat aneh? Seharusnya sekarang ini waktunya mereka untuk tidur."
"Sudahlah, abaikan saja mereka. Mungkin ini kebiasaan mereka."
Zero bangun dari posisi duduknya dan dengan abai serta tak mempedulikanku, dia tiba-tiba melangkahkan kakinya. Aku bergegas mengikutinya karena tidak mungkin aku mau ditinggal seorang diri di sini, di tempat asing yang penduduknya sangat aneh ini.
"Kalian mau pergi ke mana?"
Pertanyaan dari ibu paruh baya pemilik rumah ini, membuatku mengalihkan pandangan yang sejak tadi menatap ke arah Zero.
"Hm, apa di sini ada restoran atau rumah makan?" Tanya Zero. Oh, benar juga kami memang belum makan sejak tadi jadi wajar jika Zero menanyakannya. Pasti dia juga sama laparnya denganku.
"Ada. Di sebelah sana, kami akan mengantar kalian," ucap ibu itu berbaik hati.
Aku mendelik kea rah Zero yang tidak menyahut sedikit pun. Sehingga aku yang menggantikannya menanggapi ucapan ibu baik hati tersebut. "Terima kasih, Bu."
Pada awalnya, aku mengira penduduk desa ini sangat cuek dan tidak perduli kepada orang lain, tetapi melihat kebaikan dari ibu itu, membuatku tersadar bahwa semua pemikiranku ternyata salah besar.
Aku mengikuti langkah ibu dan putranya yang berjalan di depanku, namun aku segera menghentikan langkah ketika menyadari Zero sama sekali tidak mengikuti kami. Dengan kesal, aku berbalik badan dan menatap ke arah Zero. Zero sedang berdiri di tempatnya semula dan tengah menatap ke arah rumah-rumah penduduk.
"Ada apa, Zero? Ayo, pergi! Apa kau tidak merasa lapar?"
Zero sama sekali tidak menanggapi perkataanku, membuatku semakin merasa kesal padanya. Dia memang terkadang semenyebalkan ini.
"Hai, Zero ... Kau dengar tidak?"
"Aku melihat sebuah bayangan memasuki rumah ini. ketika aku menatap rumah-rumah yang lain, aku melihat begitu banyak bayangan memasuki rumah-rumah penduduk itu."
"Haah? Bayangan apa maksudmu?" Aku sama sekali tidak mengerti yang dikatakan Zero karena aku tak merasa melihat bayangan yang dimaksudnya.
"Sudahlah. Mungkin aku salah lihat. Ayo pergi! Aku sudah muak mendengar suara perutmu yang berisik itu."
Seketika itu juga aku merasakan panas pada wajah. Aku yakin sekali saat ini wajahku pasti berwarna merah menyala. Aku sangat malu karena memang benar yang dikatakan Zero, sejak tadi perutku terus mengeluarkan suara yang sangat memalukan. Meskipun aku rasa itu merupakan sesuatu yang wajar, karena seharian ini aku belum memakan apa pun.
Zero berjalan mengikuti ibu paruh baya itu, begitu pun dengan aku.
"Ini tempat makannya, kalian makanlah di sini."
Perkataan itulah yang terlontar dari mulut ibu itu begitu kami tiba di depan sebuah rumah makan. Meskipun kami melihat dari luar, tapi terlihat dengan jelas betapa ramainya rumah makan itu. Banyak penduduk desa ini yang sedang makan di rumah makan tersebut.
"Kami pergi dulu," pamit ibu itu.
"Iya, terima kasih sudah mengantar kami kemari."
Setelah menyunggingkan seulas senyum, ibu beserta putranya itu pergi meninggalkan kami. Tanpa ragu kami berdua pun memasuki rumah makan dan memesan beberapa makanan.
Rasa lapar yang aku rasakan membuatku memakan makanan itu dengan lahap, namun berbeda dengan Zero. Dia terlihat tidak menyentuh makanannya sedikit pun. Tatapannya hanya tertuju ke sekeliling tempat ini, entah apa yang sedang dia pikirkan? Membuatku semakin yakin bahwa dia memang orang yang sangat aneh. Aku mengabaikan dia dan dengan lahap terus menyantap makananku.